KHUTBAH JUMAT
Ancaman-ancaman bagi Orang Kikir
Khutbah I
الْحمد
للهِ اْلقَائِل: ۨالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا
لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ. والصلاةُ والسلامُ على النَّبِيِّ الهُدَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا كَرِيْمًا وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى مُبِيْنًا. أما بعد. فَيَا عِبَادَ اللهِ!
أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ:
اَلظُّلْمُ
ظُلُمَاتٌ يَّوْمَ الْقِيَامَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالفَحْشَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ
يُحِبُّ الفَحْشَ وَلاَ التَّفَحُّش، وَإِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ
أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيْعَةِ فَقَطَعُوْا،
وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فبَخِلُوْا، وأمرهم بِالْفُجُوْرِ فَفَجَرُوْا". رواه
أحمد وأبو داود
Hadirin, jamaah Jumat hafidhakumullah,
Marilah kita senantiasa meningkatkan rasa
takwa kita kepada Allah subhanahu wata’ala, dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya! Allah subhanahu wata’ala sudah
berjanji, bahwa bagi orang yang mau bertakwa, maka dirinya akan dianugerahi
solusi atau jalan keluar dari segala permasalahan. Jangan takut dengan sesuatu
yang belum terjadi! Karena hakikatnya, semua hal yang ada di dunia ini,
senantiasa tidak akan pernah lepas dari genggaman taqdir-Nya. Termasuk dalam
urusan dunia. Ibarat air sungai yang mengalir. Apa yang kita keluarkan dan
ikhtiarkan senantiasa akan berganti dengan sesuatu yang lebih baik. Itu semua
adalah tanda-tanda anugerah dari-Nya. Oleh karena itu, tidak patut bagi kita,
bersifat berat tangan dari melakukan amal shalih selama di dunia ini. Yakinlah!
Bahwa Allah subhanahu wata’ala pasti tidak akan menyia-nyiakan itu semua.
Sungguh, Allah subhanahu wata’ala Maha Kaya lagi Maha Mengetahui.
Sidang Jumat yang semoga dirahmati Allah!
Ada sebuah maqalah atau kutipan bijak dari
Sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhah yang cukup menarik. Isi dari
maqalah ini merupakan inti tema khutbah kali ini. Maqalah itu berbunyi:
الْبَخْيْلُ
يَعِيْشُ عِيْشَ الْفُقَرَاء، وَيُحَاسَبُ حِسَابَ اْلأَغْنِيَاء
“Orang kikir hidup (di dunia) bagai orang
fakir, namun kelak (di akhirat) ia akan dihisab sebagai orang kaya (hartawan).”
Hadirin hafidhakumullah,
Dalam bahasa keseharian kita, orang yang
bakhil (kikir) itu seolah sama pengertiannya dengan seseorang yang sebenarnya
kaya tapi berlagak miskin/fakir. Mau dikelompokkan sebagai bagian dari orang
fakir, tidak pantas, karena ia termasuk orang yang berada dan berkecukupan.
Namun, ketika hendak dikelompokkan sebagai orang kaya, kesehariannya
menunjukkan tabiat layaknya orang yang fakir. Gaya hidup seperti ini dicela
oleh syariat, karena pihak yang berlaku demikian, hakikatnya bermaksud
menghindarkan diri dari hartanya untuk tidak jatuh diberikan atau didermakan
membantu orang lain.
Syekh Nawawi al-Bantani, di dalam Kitab
Nashaihu al-’Ibad, halaman 63, beliau menukil keterangan dari para ahli hikmah,
bahwa perilaku kikir merupakan bagian dari karakter hayawani. Beliau menukil
sebuah pernyataan:
الْبُخْلُ
مَحْوُ صِفَاتِ اْلإِنْسَانِيَّةِ وَإِثْبَاتُ عَادَاتِ اْلحَيَوَانِيَّة
"Kikir itu menghapus karakter
kemanusiaan dan meneguhkan karakter kebinatangan.”
Bagaimana tidak menghapus karakter
kemanusiaan? Orang yang kikir punya rasa tega dengan melihat saudara yang ada
di kanan kirinya masih kekurangan, sementara ia bergelimang harta. Tabiat orang
yang kikir adalah senantiasa memperhitungkan bahwa harta yang dikeluarkan,
tidak boleh keluar secara cuma-cuma, melainkan harus ada imbal baliknya. Ia
senantiasa berfikir bahwa pengeluaran materi harus sebanding dengan manfaat
yang didapatkan. Padahal, pengeluaran yang dimaksud di sini adalah pengeluaran
yang bersifat sosial.
Andaikan prinsip pengeluaran sedemikian rupa itu
berhubungan dengan masalah kerja atau produksi, maka hal tersebut bisa
dibenarkan. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan urusan sosial, kemudian ia
berorientasi pada imbal balik berupa pemasukan, maka itulah hakikatnya kikir
yang dicela. Dan sebagaimana ungkapan yang dinukil oleh Syekh Nawawi Banten di
atas tadi, tabiat terakhir dapat meneguhkan karakteristik hewan, karena
ketiadaan mau berbagi dengan sesama. Mengapa demikian?
Karena hewan tidak memiliki hati dan aqal.
Apa yang dia dapat harus dinikmati untuk dirinya sendiri. Lain halnya dengan
watak dasar manusia, dengan anugerah hati dan akal yang dimilikinya, ia dapat
merasakan dan mau berbagi penderitaan dengan orang lain. Itulah sebabnya, bila
hati dan akal tidak digunakan, maka sama artinya dengan telah mengitsbatkan
diri orang tersebut layaknya berkarakter hewani.
Sidang Jumat hafidhakumullah,
Allah subhanahu wata’ala memberikan ancaman
kepada orang yang kikir itu dengan beragam ancaman.
Pertama, kelak di hari kiamat, ia akan
dikalungi dengan harta yang dikikirkannya.
وَلَا
يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ
خَيْرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ
يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلِلهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Dan jangan sekali-kali orang-orang yang
kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira
bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa
(harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari
Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah
Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (QS Ali Imran [3] : 180).
Kedua, kelak mereka akan diadzab dengan adzab
yang hina.
Di dalam QS Al-Nisa [4] ayat 37, Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
الَّذِيْنَ
يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ
اللهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ
“(yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang
lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah
kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang
menghinakan.” (QS Al-Nisa [4]: 37)
Ketiga, Allah Mahakaya dan tidak butuh dengan
kekayaan orang yang kikir.
Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam
QS Al-Hadid [57] ayat 24:
الَّذِيْنَ
يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ ۗوَمَنْ يَّتَوَلَّ فَاِنَّ
اللّٰهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
“Yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh
orang lain berbuat kikir. Barangsiapa berpaling (dari perintah-perintah Allah),
maka sesungguhnya Allah, Dia Maha Kaya, Maha Terpuji.”
Keempat, kebakhilan akan menjadi bagian dari
kegelapan di hari kiamat.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud rahimahullah, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اَلظُّلْمُ
ظُلُمَاتٌ يَّوْمَ الْقِيَامَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالفَحْشَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ
يُحِبُّ الفَحْشَ وَلاَ التَّفَحُّش، وَإِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ
أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيْعَةِ فَقَطَعُوْا،
وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فبَخِلُوْا، وأمرهم بِالْفُجُوْرِ فَفَجَرُوْا".
رواه أحمد وأبو داود
“Sifat aniaya itu akan menjadi kegelapan
kelak di hari kiamat. Takutlah kalian dari perbuatan tabu, karena sesungguhnya
Allah Ta’ala tidak menyukai perbuatan tabu atau keji! Dan takutlah kalian dari
kikir! Karena sesungguhnya kekikiran merupakan sebab rusaknya kaum sebelum
kalian. Ketika kekikiran memerintahkan mereka harus dengan memutus silaturahim,
maka memilih memutusnya. Ketika kekikiran memerintahkan bakhil, mereka bakhil.
Ketika kekikiran memerintahkan berbuat tidak terpuji (fujur), mereka berlaku
tak terpuji.” HR. Abu Dawud.
Kelima, Nabi senantiasa berdoa agar dijauhkan
dari sifat kikir.
Di dalam sebuah hadits, disampaikan sebuah
penjelasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berdoa:
اللهُمَّ
إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ اْلهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْز واْلكَسَلِ، وَالبُخْلِ
والجُبْنِِ، وضَلْعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَة الرِِّجَالِ... ".متفق عليه
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
rasa prihatin dan susah, dari sifat lemah dan malas, dari sifat kikir dan
pengecut, dari belitan utang dan tunduk pada seseorang.” HR. Bukhari-Muslim.
Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas
secara tidak langsung menunjukkan pengertian, bahwa hendaknya kita menjauhi
sifat kikir itu di antara sifat-sifat lainnya yang dicela. Maka dari itulah,
kita tidak heran bila kemudian sahabat beliau, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib
mengatakan sebuah maqalah:
عَجِبْتُ
لِلْبَخِيْلِ يَسْتَعْجِلُ الْفَقْرَ الَّذِي مِنْهُ هَرَبَ، وَيَفُوْتُهُ
اْلغَنِى الَّذِي إِيَّاهُ طَلَبَ، فَيَعِيْشُ فِي الدُّنْيّا عِيْشَ
الْفُقَرَاءِ، وَيُحَاسَبُ فِي اْلآخِرَةِ حِسَابَ اْلأَغْنِيَاءِ
“Aku heran dengan orang yang bakhil. Ia menyegerakan
kefakiran yang karenanya ia berusaha lari dan memilih meninggalkan rasa
kecukupan yang selama ini ia cari-cari. Ia hidup di dunia sebagai orang fakir
padahal kelak di akhirat ia dihisab sebagai orang kaya.”
Sidang Jumat yang semoga dirahmati Allah,
Walhasil, tidak patut bagi kita untuk berlaku
kikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sebentar lagi akan kita peringati
hari kelahirannya, telah banyak memberi suri tauladan mengenai jiwa sosial ini.
Untuk itu, sebagai umatnya, seyogyanya kita mencontoh akhlak dan teladan beliau
ini. Karena bagaimanapun, kelak di hari kiamat, kita membutuhkan syafaat dari
beliau. Bagaimana kita mau mendapatkan syafaat, bila kita tidak meneladani apa
yang telah beliau sampaikan dan banyak kesempatan.
أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الَّرحِيم. لَّقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي
اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan
Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar