Kalau Ibu Muslimat
Ini Pulang ke Jombang, NU akan Menjadi Organisasi Lokal
Kalimat di atas
mungkin agak berlebihan. Namun ini sekaligus kritik terhadap model penulisan
sejarah konvensional yang cenderung menceritakan zaman dengan latar belakang riwayat
hidup para pemimpin besarnya, yang itu kebanyakan adalah laki-laki.
Ini tentang Ibu Nyai
Sholihah, putri KH Bisri Syansuri dan menantu dari KH Hasyim Asy’ari. Namun
bukan soal keturunan orang besar itu yang akan diceritakan, tapi soal
ketangguhannya. Di NU, siapa keturunan siapa itu penting, tapi mengandalkan
balung gede saja tidak cukup.
Ketika suaminya, KH
Wahid Hasyim, meninggal dunia dalam satu kecelakaan di Cimahi pada 1953, ia
mempunyai lima orang anak yang masih kecil-kecil, ditambah satu lagi yang
masih berada di kandungan.
Tak tega, KH Bisri
Sjansuri meminta puterinya itu kembali ke Jombang, agar Gus Dur dan
adik-adiknya juga bisa dirawat bersama keluarga. Tapi Nyai Sholihah menolak,
dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di Jakarta.
Ia juga tidak menikah
lagi. Dalam tradisi pesantren ketika itu, sudah lumrah jika istri kiai (yang
suaminya meninggal), ia akan segera menikah (dinikahkan) lagi dengan santri
senior/kiai lain. Kenapa tidak menikah lagi? Kira-kira ini juga bukan sosok
Wahid Hasyim suaminya yang tak tergantikan, tapi ada urusan yang belum kelar,
yang komunikasinya akan “terputus” kalau ia menikah lagi dengan lelaki lain.
Wahid Hasyim
meninggal dalam usia yang sangat muda. Tapi ketika itu ia sudah memegang banyak
sekali urusan. Kalau kita membaca sejarah kemerdekaan Indonesia dan perumusan
Undang-Undang Dasar 1945, di situ pasti selalu ada nama Wahid Hasyim.
Kiai Wahid Hasyim
berperan penting, bukan saja sebagai pimpinan NU, tapi juga sebagai
konsolidator pergerakan NU ke Ibu Jakarta, dan konsolidasi ini harus
dilanjutkan. Nyai Sholihah mengambil peran ini.
Rumahnya di Martaman
menjadi tempat pertemuannya dengan para tokoh pergerakan nasional, teman-teman
seperjuangan suaminya. Rumah ini juga menjadi tempat rapat-rapat penting NU
terkait peristiwa-peristiwa penting nasional.
Posisi rumah ini juga
berdekatan dengan rumah tokoh-tokoh penting, tidak perlu disebutkan di sini.
Rumah ini sekarang menjadi kantor Wahid Institute (Wahid Foundation), dan harus
saya sebutkan berada tepat berhadapan dengan kampus A UNUSIA Jakarta.
Rumah ini juga
menjadi tempat persinggahan ayahnya, KH Bisri Syansuri, ketika menjadi Rais Aam
NU. Gus Dur bercerita, waktu yang diperlukan untuk mengantar kakeknya ke kantor
PBNU hanya sepuluh menit. Ketika itu, para pengurus NU sudah terbiasa telat,
tapi kakeknya selalu datang tepat waktu.
Dari rumah itu, Nyai
Sholihah juga yang mengajarkan para kader Muslimat merintis panti asuhan, rumah
bersalin, majelis taklim, dan lembaga-lembaga pendidikan.
Lalu bagaimana Nyai
Sholihah menghidupi keenam anaknya? Ia berjualan beras. “Saya bisa mendapat
keuntungan Rp2,50 alias seringgit tiap kuintalnya,” ujarnya. Tidak hanya beras,
ia juga sempat mencoba menjadi makelar mobil dan pemasok material bangunan. []
(A. Khoirul Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar