Rabu, 18 Desember 2019

Kalau Ibu Muslimat Ini Pulang ke Jombang, NU akan Menjadi Organisasi Lokal


Kalau Ibu Muslimat Ini Pulang ke Jombang, NU akan Menjadi Organisasi Lokal

Kalimat di atas mungkin agak berlebihan. Namun ini sekaligus kritik terhadap model penulisan sejarah konvensional yang cenderung menceritakan zaman dengan latar belakang riwayat hidup para pemimpin besarnya, yang itu kebanyakan adalah laki-laki.

Ini tentang Ibu Nyai Sholihah, putri KH Bisri Syansuri dan menantu dari KH Hasyim Asy’ari. Namun bukan soal keturunan orang besar itu yang akan diceritakan, tapi soal ketangguhannya. Di NU, siapa keturunan siapa itu penting, tapi mengandalkan balung gede saja tidak cukup.

Ketika suaminya, KH Wahid Hasyim, meninggal dunia dalam satu kecelakaan di Cimahi pada 1953, ia mempunyai  lima orang anak yang masih kecil-kecil, ditambah satu lagi yang masih berada di kandungan.

Tak tega, KH Bisri Sjansuri meminta puterinya itu kembali ke Jombang, agar Gus Dur dan adik-adiknya juga bisa dirawat bersama keluarga. Tapi Nyai Sholihah menolak, dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di Jakarta.

Ia juga tidak menikah lagi. Dalam tradisi pesantren ketika itu, sudah lumrah jika istri kiai (yang suaminya meninggal), ia akan segera menikah (dinikahkan) lagi dengan santri senior/kiai lain. Kenapa tidak menikah lagi? Kira-kira ini juga bukan sosok Wahid Hasyim suaminya yang tak tergantikan, tapi ada urusan yang belum kelar, yang komunikasinya akan “terputus” kalau ia menikah lagi dengan lelaki lain.

Wahid Hasyim meninggal dalam usia yang sangat muda. Tapi ketika itu ia sudah memegang banyak sekali urusan. Kalau kita membaca sejarah kemerdekaan Indonesia dan perumusan Undang-Undang Dasar 1945, di situ pasti selalu ada nama Wahid Hasyim.

Kiai Wahid Hasyim berperan penting, bukan saja sebagai pimpinan NU, tapi juga sebagai konsolidator pergerakan NU ke Ibu Jakarta, dan konsolidasi ini harus dilanjutkan. Nyai Sholihah mengambil peran ini.

Rumahnya di Martaman menjadi tempat pertemuannya dengan para tokoh pergerakan nasional, teman-teman seperjuangan suaminya. Rumah ini juga menjadi tempat rapat-rapat penting NU terkait peristiwa-peristiwa penting nasional.

Posisi rumah ini juga berdekatan dengan rumah tokoh-tokoh penting, tidak perlu disebutkan di sini. Rumah ini sekarang menjadi kantor Wahid Institute (Wahid Foundation), dan harus saya sebutkan berada tepat berhadapan dengan kampus A UNUSIA Jakarta.

Rumah ini juga menjadi tempat persinggahan ayahnya, KH Bisri Syansuri, ketika menjadi Rais Aam NU. Gus Dur bercerita, waktu yang diperlukan untuk mengantar kakeknya ke kantor PBNU hanya sepuluh menit. Ketika itu, para pengurus NU sudah terbiasa telat, tapi kakeknya selalu datang tepat waktu.

Dari rumah itu, Nyai Sholihah juga yang mengajarkan para kader Muslimat merintis panti asuhan, rumah bersalin, majelis taklim, dan lembaga-lembaga pendidikan.

Lalu bagaimana Nyai Sholihah menghidupi keenam anaknya? Ia berjualan beras. “Saya bisa mendapat keuntungan Rp2,50 alias seringgit tiap kuintalnya,” ujarnya. Tidak hanya beras, ia juga sempat mencoba menjadi makelar mobil dan pemasok material bangunan. []

(A. Khoirul Anam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar