Hukum Menjawab Salam dalam
Hati
Memberikan salam kepada saudara Muslim adalah
anjuran. Rasulullah ﷺ bahkan mewajibkan
kita untuk menjawab salam, minimal dengan perkataan yang sama, dan lebih baik
dengan perkataan yang lebih baik.
Suatu hari ada teman yang sedang sibuk dengan
gadget-nya. Ia mungkin sedang main game online atau sedang membalas chat lewat
aplikasi berbagi pesan. Beberapa saat kemudian datanglah temannya dengan
memberikan salam.
Alih-alih menjawab, teman yang sedang sibuk
dengan smartphone-nya tersebut malah diam saja dan melanjutkan kesibukannya
dengan gadget-nya.
Teman yang memberikan salam tersebut agak
kesal karena salamnya diabaikan begitu saja. Saat ditanya, teman yang
mengabaikan salam itu menjawab bahwa salamnya sudah dijawab dalam hati.
Lalu bagaimana jika kita menjawab salam dalam
hati; apakah yang demikian diperbolehkan dan mendapatkan keutamaan-keutamaan
atau menggugurkan kewajiban menjawab salam?
Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar an-Nawawi
menyebutkan bahwa orang yang masih mendapatkan keutamaan atau menggugurkan
kewajiban saat menjawab salam adalah minimal suaranya terdengar oleh muslim
lain walaupun lirih.
Namun jika suaranya tidak sampai terdengar
oleh orang lain, maka kewajiban menjawab salam tersebut masih ada.
فصل: وأقل السلام الذى يصير به مسلما مؤديا سنة السلام أن يرفع
صوته بحيث يسمع المسلم عليه ،فإن لم يسمعه لم يكن آتيا بالسلام ،فلا يجب
الرد عليه،وأقل ما يسقط به فرض رد السلام أن يرفع صوته بحيث يسمع المسلم
،فإن لم يسمعه لم يسقط عنه فرض الرد ،ذكرهما المتولى وغيره
Artinya, “Pasal: Salam yang paling sedikit
(minimal), yang menjadikan seorang muslim mendapatkan keutamaan dan kesunahan
mengucapkan salam adalah dengan mengeraskan suaranya sekiranya muslim lain
(yang diberi salam) dapat mendengarnya. Jika muslim yang lain tidak dapat
mendengarnya maka salam tersebut tidak bisa diketegorikan sebagai salam (yang
disunnahkan), dan tidak wajib menjawab salam tersebut. Sedangkan menjawab salam
yang minimalis, yang menjadikan seseorang (yang diberikan salam) gugur
kewajibannya untuk menjawab salam adalah dengan mengeraskan suaranya sekiranya
muslim lain mendengar. Jika tidak mendengar, maka kewjiban menjawab salam
tersebut tidak gugur. Hal ini sebagaimana pendapat al-Mutawalli dan ulama
lain.” (Imam an-Nawawi, al-Adzkâr an-Nawâwî, [Beirut: Dar Fikr, 2004], h. 262)
Imam an-Nawawi mengutip pendapat Abu Muhammad
al-Qadhi Husain dan Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dan beberapa ulama Syafi’iyah
yang lain menyebutkan bahwa hendaknya menjawab salam itu langsung setelah salam
diucapkan. Jika ada jeda yang terlalu lama, maka jawaban salam tersebut tidak
terhitung sebagai jawaban dan tidak menggugurkan kewajiban menjawab salam.
قال
الإمام أبو محمد القاضي حسين ، والإمام أبو الحسن الواحدي وغيرهما من أصحابنا :
ويشترط أن يكون الجواب على الفور ، فإن أخره ثم رد لم يعد جوابا ، وكان آثما بترك
الرد
Artinya, “Imam Abu Muhammad al-Qadhi Husain
dan Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dan para ulama syafiiyah yang lain berpendapat
bahwa disyaratkan jawaban salam itu segera (langsung setelah diucapkan salam).
Jika jawaban salam itu diakhir-akhirkan (ditunda-tunda) kemudian baru
menjawabnya setelah beberapa lama, maka tidak dianggap sebagai jawaban. Dan
orang yang menunda jawaban salam tersebut berdosa karena dianggap meninggalkan
kewajiban menjawab salam.” (Imam an-Nawawi, al-Adzkâr an-Nawâwî, [Beirut: Dar
Fikr, 2004], h. 262)
Oleh karena itu, jika ada orang yang
memberikan salam kepada kita, hendaknya kita menyambutnya dengan baik, dengan
cara menjawabnya dengan suara yang jelas dan jangan ditunda-tunda. Karena salam
adalah sebuah ungkapan doa dari orang lain kepada kita. Salah satu cara untuk
membalas doa tersebut adalah menjawabnya. Wallahu A’lam. []
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat
Kajian Tafsir dan Hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar