Kamis, 12 Desember 2019

(Ngaji of the Day) Rasulullah, Hilful Fudhul dan Upaya Menegakkan Keadilan


Rasulullah, Hilful Fudhul dan Upaya Menegakkan Keadilan

Pada zaman Jahiliyah, yang kuat adalah yang berkuasa. Mereka bebas melakukan apa saja. Termasuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Menindas mereka yang tidak punya aliansi. Dan melanggar hak-hak orang lain. Keadilan hanya milik mereka, sementara orang yang lemah dan tidak memiliki aliansi dengan suku lain tidak berhak mendapatkan keadilan.

Keadaan tersebut terus terjadi hingga terjadi perang antara Kinanah yang didukung Quraisy melawan Hawazin–ada juga yang menyebut dengan Qais dan Aylan. Perang ini dinamakan Perang Fijar karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan suci. Pemicu perang ini adalah terbunuh seorang laki-laki Amir dari suku Hawazin dari Najd oleh seorang Kinanah yang tidak bertanggung jawab dan melarikan diri ke Khaibar.

Tidak terima dengan itu, suku Hawazin lantas menyerang Kinanah. Quraisy yang secara langsung tidak terlibat dalam peristiwa itu ikut terlibat karena bagaimanapun Kinanah adalah sekutunya. Peperangan hanya terjadi sekitar lima hari, namun konflik dan ketegangan antara kedua pihak tersebut berlangsung selama tiga atau empat tahun.

Pada saat peristiwa itu, Rasulullah berusia 15 tahun. Ia ikut serta dalam Perang Fijar bersama dengan paman-pamannya. Karenanya usianya yang masih belia, ia hanya diizinkan untuk mengumpulkan panah-panah musuh yang meleset dan digunakan untuk menyerang balik. Namun suatu hari ketika keadaan Quraisy terdesak, Rasulullah diizinkan untuk menunjukkan kemampuannya memanah.

Ditambah dengan sebuah peristiwa yang mengusik rasa keadilan bersama yang terjadi beberapa hari setelah Perang Fijar berakhir. Dimana seorang dari Bani Sahm mengambil barang dagangan miliki seorang pedagang dari Yaman di Zabid tanpa membayarnya. Meski tidak memiliki kekuatan aliansi kesukuan karena memang orang asing di Makkah, pedagang Yaman tersebut menyerukan kepada Quraisy –sebagai yang paling dihormati di Makkah- untuk menegakkan keadilan bagi orang yang terdzalimi.

Merujuk buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Martin Lings, 2012), kejadian-kejadian itu lah yang menjadi titik balik bagi suku, kabilah, klan dan kelompok masyarakat di wilayah Makkah untuk membuat hukum bersama. Mereka sadar bahwa keadaan seperti ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Mereka mulai memikirkan bagaimana caranya agar perang tidak terjadi lagi di tanah haram dan di bulan yang suci. Bagaimana caranya agar yang salah dihukum meski orang tersebut dari klannya sendiri. Dan bagaimana caranya agar keadilan ditegakkan di atas segalanya.

Maka kemudian diadakan sebuah pertemuan bersama yang dihadiri banyak pihak. Ada Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad (Asad bin Abdul Uzza), Bani Zuhrah (Zuhrah bin Kilab), dan Bani Taim (Taimi bin Murrah). Hanya Bani Naufal dan Bani Abdul Syam yang tidak hadir. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an, seseorang dari Bani Taim yang paling kaya di Makkah pada saat itu.

Mereka berdikusi serius untuk merumuskan suatu kesepakatan yang bisa dijadikan pijakan bersama untuk menegakkan keadilan. Maka disepakati lah sebuah kesepakatan bersama, Perjanjian Kehormatan (Hilful Fudhul). Melalui perjanjian ini, para pemimpin kabilah sepakat bahwa keadilan harus ditegakkan. Pihak yang terdzalimi dan teraniaya harus dibela. Dan pihak yang mendzalimi dan menganiaya harus dilawan bersama.

Rasulullah yang saat itu berusia 15 tahun hadir bersama pamannya Zubair dari Bani Hasyim. Belia pun ikut berikrar untuk ikut serta menegakkan keadilan bagi siapapun yang teraniaya dan terdzalimi. Pun dengan Abu Bakar. Dia hadir pula bersama dengan bapaknya, Abu Quhafah dari Bani Taim.

Rasulullah sendiri sangat menghormati Perjanjian Kehormatan (Hilful Fudhul) tersebut. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah menyatakan bahwa kalau seandainya ia mendapatkan undangan untuk menghadiri perjanjian tersebut pada masa Islam, maka ia akan memenuhinya.

“Aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih disukai dari pada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya,” kata Rasulullah, sebagaimana dikutip dari buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012). []

(A Muchlishon Rochmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar