Rasulullah,
Hilful Fudhul dan Upaya Menegakkan Keadilan
Pada zaman Jahiliyah,
yang kuat adalah yang berkuasa. Mereka bebas melakukan apa saja. Termasuk
mengambil sesuatu yang bukan haknya. Menindas mereka yang tidak punya aliansi.
Dan melanggar hak-hak orang lain. Keadilan hanya milik mereka, sementara orang
yang lemah dan tidak memiliki aliansi dengan suku lain tidak berhak mendapatkan
keadilan.
Keadaan tersebut
terus terjadi hingga terjadi perang antara Kinanah yang didukung Quraisy
melawan Hawazin–ada juga yang menyebut dengan Qais dan Aylan. Perang ini
dinamakan Perang Fijar karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram
dan bulan suci. Pemicu perang ini adalah terbunuh seorang laki-laki Amir dari
suku Hawazin dari Najd oleh seorang Kinanah yang tidak bertanggung jawab dan
melarikan diri ke Khaibar.
Tidak terima dengan
itu, suku Hawazin lantas menyerang Kinanah. Quraisy yang secara langsung tidak
terlibat dalam peristiwa itu ikut terlibat karena bagaimanapun Kinanah adalah
sekutunya. Peperangan hanya terjadi sekitar lima hari, namun konflik dan
ketegangan antara kedua pihak tersebut berlangsung selama tiga atau empat
tahun.
Pada saat peristiwa
itu, Rasulullah berusia 15 tahun. Ia ikut serta dalam Perang Fijar bersama
dengan paman-pamannya. Karenanya usianya yang masih belia, ia hanya diizinkan
untuk mengumpulkan panah-panah musuh yang meleset dan digunakan untuk menyerang
balik. Namun suatu hari ketika keadaan Quraisy terdesak, Rasulullah diizinkan
untuk menunjukkan kemampuannya memanah.
Ditambah dengan
sebuah peristiwa yang mengusik rasa keadilan bersama yang terjadi beberapa hari
setelah Perang Fijar berakhir. Dimana seorang dari Bani Sahm mengambil barang
dagangan miliki seorang pedagang dari Yaman di Zabid tanpa membayarnya. Meski
tidak memiliki kekuatan aliansi kesukuan karena memang orang asing di Makkah,
pedagang Yaman tersebut menyerukan kepada Quraisy –sebagai yang paling
dihormati di Makkah- untuk menegakkan keadilan bagi orang yang terdzalimi.
Merujuk buku
Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Martin Lings, 2012),
kejadian-kejadian itu lah yang menjadi titik balik bagi suku, kabilah, klan dan
kelompok masyarakat di wilayah Makkah untuk membuat hukum bersama. Mereka sadar
bahwa keadaan seperti ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Mereka mulai
memikirkan bagaimana caranya agar perang tidak terjadi lagi di tanah haram dan
di bulan yang suci. Bagaimana caranya agar yang salah dihukum meski orang
tersebut dari klannya sendiri. Dan bagaimana caranya agar keadilan ditegakkan
di atas segalanya.
Maka kemudian
diadakan sebuah pertemuan bersama yang dihadiri banyak pihak. Ada Bani Hasyim,
Bani Muthalib, Bani Asad (Asad bin Abdul Uzza), Bani Zuhrah (Zuhrah bin Kilab),
dan Bani Taim (Taimi bin Murrah). Hanya Bani Naufal dan Bani Abdul Syam yang
tidak hadir. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an, seseorang dari Bani
Taim yang paling kaya di Makkah pada saat itu.
Mereka berdikusi
serius untuk merumuskan suatu kesepakatan yang bisa dijadikan pijakan bersama
untuk menegakkan keadilan. Maka disepakati lah sebuah kesepakatan bersama,
Perjanjian Kehormatan (Hilful Fudhul). Melalui perjanjian ini, para pemimpin
kabilah sepakat bahwa keadilan harus ditegakkan. Pihak yang terdzalimi dan
teraniaya harus dibela. Dan pihak yang mendzalimi dan menganiaya harus dilawan
bersama.
Rasulullah yang saat
itu berusia 15 tahun hadir bersama pamannya Zubair dari Bani Hasyim. Belia pun
ikut berikrar untuk ikut serta menegakkan keadilan bagi siapapun yang teraniaya
dan terdzalimi. Pun dengan Abu Bakar. Dia hadir pula bersama dengan bapaknya,
Abu Quhafah dari Bani Taim.
Rasulullah sendiri
sangat menghormati Perjanjian Kehormatan (Hilful Fudhul) tersebut. Dalam sebuah
sabdanya, Rasulullah menyatakan bahwa kalau seandainya ia mendapatkan undangan
untuk menghadiri perjanjian tersebut pada masa Islam, maka ia akan memenuhinya.
“Aku pernah mengikuti
perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang
lebih disukai dari pada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk
perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya,” kata Rasulullah,
sebagaimana dikutip dari buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfuri, 2012). []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar