Urgensi Akselerasi Pembangunan Manusia
Oleh: Bambang Soesatyo
GENERASI orang tua patut meradang karena standar pendidikan di dalam negeri digambarkan masih sangat memprihatinkan saat diperbandingkan dengan standar global. Kalau tidak ada pembaruan di sektor pendidikan, masa depan orang muda Indonesia suram karena tidak kompeten dan tidak kompetitif. Maka itu, hasil survei PISA 2018 harus menjadi faktor pendorong kesadaran bersama tentang urgensi mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Menjadi benar bahwa sekarang adalah era atau periode bagi Indonesia mengejar ketertinggalan atau keterlambatan di sejumlah sektor. Selama dua dekade sejak reformasi 1998, energi bangsa ini nyaris habis terkuras untuk membenahi pembaruan sistem politik, dan mengeliminasi budaya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Tidak ada yang salah dengan semua itu.
Namun, patut untuk disesalkan karena ada beberapa aspek lain yang juga sangat penting dan bersifat mendasar namun hanya dikerjakan dengan skala ala kadarnya. Salah satunya adalah aspek pembangunan dan pengembangan kualitas SDM. Semua orang memang telah menyadari pentingnya pembangunan SDM. Begitu juga dengan kesadaran tentang urgensi pembaruan sistem atau pola pendidikan. Tetapi, selama itu pula, isu pembangunan SDM hanya sebatas diomongkan.
Kesungguhan disertai rencana aksi mulai dipermanenkan ketika Presiden Joko Widodo menetapkan program prioritas yang akan dikerjakan untuk periode kedua (2019–2024) masa kepresidenannya. Seperti telah diketahui, pada periode pertama masa kepresidenannya, Joko Widodo telah berupaya mengejar ketertinggalan Indonesia.
Misalnya, kendati upaya mewujudkan good governance masih terseok-seok, upaya mengejar ketertinggalan di sektor infrastruktur mulai terlihat hasilnya. Namun, gambaran tentang progres pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandar udara, tol laut, hingga waduk dan realisasi proyek Palapa Ring timur-barat itu belum cukup. Dunia terus berubah dengan cepat, dan perubahan itu menuntut siapa saja untuk beradaptasi.
Karena itu, menjadi sangat relevan ketika Presiden Joko Widodo menetapkan pembangunan dan pengembangan kualitas SDM sebagai salah satu prioritas pembangunan lima tahun ke depan. “Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan, dan titik dimulainya pembangunan SDM adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak-anak sekolah,” kata Presiden saat memaparkan Visi Indonesia di Sentul, Bogor, pekan kedua Juli 2019.
Prioritas pembangunan dan pengembangan kualitas SDM seharusnya menyadarkan semua pemerintah daerah. Semua kepala daerah patut menanggapi rencana ini. Akan sangat ideal jika setiap daerah juga memprioritaskan pembangunan dan pengembangan kualitas SDM.
Setiap pemda bisa saja mengadopsi program ini sebagai politik pembangunan di daerahnya masing-masing. Diyakini bahwa menjadikan pembangunan SDM sebagai keutamaan akan mengundang simpati dan dukungan dari masyarakat setempat, sebab sejatinya setiap keluarga mendambakan anak-anak tumbuh sehat, kuat, dan cerdas.
Ada sejumlah aspek yang harus disentuh dalam program pembangunan dan pengembangan kualitas SDM, antara lain masalah kematian ibu, kematian bayi, bayi kurang gizi, dan masalah anak putus sekolah. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan per 2018 menyebutkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk atau menderita kurang gizi.
Kemudian, angka kematian ibu dan angka kematian bayi juga masih menjadi masalah yang memprihatinkan, karena belum mendekati target Millennium Development Goals (MDGs). Kasus anak putus sekolah masih terjadi di hampir semua provinsi. Juli 2019, pers melaporkan bahwa total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi mencapai 4,5 juta anak. Mau tak mau, rangkaian persoalan ini harus segera ditangani.
Terobosan dan Akselerasi
Gambaran tentang persoalan yang terkait dengan kualitas pendidikan orang muda Indonesia, praktis telah dilengkapi oleh hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) per 2018 yang dipublikasikan awal Desember 2019. Gambaran tentang Indonesia memang memprihatinkan. Survei PISA oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) digunakan sebagai rujukan menilai kualitas pendidikan, karena memotret 600.000 anak usia 15 tahun di 79 negara setiap tiga tahun.
Studi ini membandingkan pemahaman anak didik atas matematika, minat dan kemampuan baca, serta kinerja sains setiap anak. Tentang minat dan kemampuan membaca, menurut survei PISA itu, Indonesia di peringkat 74 (6 dari bawah) dengan skor 371. Tentang minat dan pemahaman matematika, Indonesia di peringkat 73 (7 dari bawah) dengan skor 379. Hasil survei PISA per 2018 itu memberi penjelasan bahwa kualitas pendidikan di dalam negeri menurun jika diperbandingkan dengan pemaparan PISA tahun 2015. Pada 2015, survei dilakukan di 70 negara, sedangkan tahun 2018 survei PISA di 79 negara.
Pemaparan PISA tentang standar kualitas pendidikan tingkat global ini sudah ditanggapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. "Hasil penilaian PISA menjadi masukan yang berharga untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang akan menjadi fokus Pemerintah selama lima tahun ke depan. Menekankan pentingnya kompetensi guna meningkatkan kualitas untuk menghadapi tantangan abad ke-21," kata Mendikbud Nadiem. Dia juga menekankan bahwa Indonesia harus berani berubah dan karena itu dia akan terus melakukan terobosan dalam bidang pendidikan.
Demi daya saing orang muda Indonesia untuk sekarang dan di masa depan, pembaruan di sektor pendidikan memang tak bisa lagi ditunda-tunda. Dengan begitu, bukan lagi sekadar masuk skala prioritas, pembangunan dan pengembangan kualitas SDM Indonesia bahkan harus diakselerasi melalui terobosan-terobosan yang akan digagas oleh pemerintah.
Urgensinya sudah sangat jelas, mengacu pada hasil survei PISA 2018 itu. Penetapan standar kualitas pendidikan nasional tidak lagi hanya cukup melihat ke dalam, tetapi harus juga melihat keluar. Ada standar global yang tak mungkin diingkari anak-anak usia sekolah di Indonesia. Sama halnya dengan ketika Indonesia tidak mungkin menghindar dari perubahan zaman yang ditandai oleh digitalisasi dan otomatisasi di era Industri 4.0 sekarang ini.
Maka harus ada kesediaan dari semua elemen masyarakat untuk memahami rencana terobosan dan akselerasi pembaruan di sektor pendidikan itu. Sejumlah hal pasti akan jadi perdebatan, terutama tentang asesmen dan kurikulum. Karena itu, menjadi sangat penting jika pemerintah cq Kemendikbud berdiskusi dengan melibatkan komunitas pendidik.
Selain itu, semua elemen masyarakat, terutama para orang tua, harus menerima kenyataan tentang kualitas pendidikan yang masih memprihatinkan itu. Kualitas pendidikan era terkini mengarahkan anak didik untuk membangun kompetensi agar kompetitif pada bidang keahliannya. Berangkat dari keprihatinan itu, para orang tua diharapkan lebih proaktif mendorong putra-putrinya untuk semakin giat belajar.
Semua pemerintah daerah pun harus menunjukkan kepedulian dan keprihatinan yang sama. Adalah salah kalau pembangunan dan pengembangan kualitas SDM, termasuk akselerasi pembaruan sistem pendidikan, diasumsikan sebagai masalah atau pekerjaan pemerintah pusat. Sebaliknya, justru pemerintah daerah-lah yang seharusnya menjadi motivator terdepan.
Sambil menunggu rencana program dan rencana aksi dari pusat, semua pemerintah daerah hendaknya segera menyiapkan program tingkat lokal yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan. Untuk membangun kompetensi, semua orang muda Indonesia harus mendapatkan akses yang sama dari dunia pendidikan. []
KORAN SINDO, 11 Desember 2019
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia,
Dewan Pakar Majelis Pimpinan Nasional KAHMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar