Hukum Mengonsumsi Kepompong
Kepompong merupakan hewan yang berasal dari
ulat dan dapat bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Kepompong biasa kita temukan
di dedaunan atau di batang pohon selama masa tunggunya untuk berubah menjadi
kupu-kupu.
Saking banyak ditemukannya hewan ini,
sebagian masyarakat tidak menyia-nyiakan keberadaan kepompong, bahkan sampai
menjadikannya sebagai lauk makanan, maka tersajilah ragam menu semisal oseng
kepompong, kepompong goreng, dan berbagai jenis masakan lainnya yang dianggap
bermanfaat.
Menanggapi fenomena di atas, sebenarnya
mengonsumsi kepompong apakah merupakan hal yang diperbolehkan atau justru
diharamkan?
Kepompong dalam istilah Arab dikenal dengan
nama Asari’. Hewan ini tergolong sebagai hewan kecil yang melata di bumi atau
biasa disebut dengan hasyarat. Para ulama mengategorikan segala jenis hasyarat
sebagai hewan yang haram untuk dikonsumsi sebab dianggap sebagai hewan yang
menjijikkan (mustakhbats) menurut cara pandang orang Arab, termasuk kepompong ini.
Status kepompong yang haram untuk dikonsumsi secara tegas dijelaskan dalam
kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra:
الأساريع
: بفتح الهمزة ، لدود
أحمر يكون في البقل ينسلخ فيصير فراشا - وقال قوم : الأساريع دود حمر الرؤوس ، بيض الأجساد ، تكون في الرمل
يشبه بها أصابع النساء
الحكم
: يحرم أكلها لأنهامن الحشرات
“Al-Asari’(kepompong) merupakan nama bagi
jenis ulat merah yang berada di tumbuh-tumbuhan yang berubah bentuk
(bermetamorfosis) menjadi kupu-kupu. Sebagian kaum berpandangan bahwa al-asari’
merupakan ulat yang yang berkepala merah dan bertubuh putih ketika berada di
pasir, hewan ini mirip dengan jari-jari wanita. Haram mengonsumsi hewan ini
karena termasuk golongan hewan hasyarat” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat
al-Hayawan al-Kubra, juz I, hal. 42)
Berdasarkan referensi tersebut maka dapat
dipahami bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat berupa memanfaatkan
kepompong sebagai salah satu jenis makanan adalah hal yang tidak dapat
dibenarkan secara syara’.
Sedangkan memperjual-belikan makanan
kepompong ini juga merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syara’ sebab
termasuk i’anah alal maksiyat yang berarti ikut andil dalam perbuatan
maksiat (dalam hal ini adalah mengonsumsi kepompong). Sebab dengan adanya
penjualan kepompong maka akan menyebabkan orang lain ikut mengonsumsi
kepompong, dan hal tersebut jelas tidak diperbolehkan.
Berbeda halnya ketika penjualan kepompong
bukan untuk dikonsumsi orang, tapi dalam bentuk lain yang diperbolehkan oleh
syara’, misalnya menjual kepompong sebagai pakan burung. Penjualan kepompong
dengan tujuan tersebut dapat dibenarkan. Dalam disiplin fiqih, penjualan
kepompong dalam contoh yang diperbolehkan tersebut bukan tergolong akad bai’
(jual-beli) tapi tergolong sebagai bentuk naqlul yad (perpindahan kepemilikan),
sebab kepompong secara fiqih tidak layak untuk dijadikan sebagai komoditas jual
beli (mal) tapi dikategorikan sebagai ikhtishas (kepemilikan) karena kepompong
termasuk bagian dari hasyarat. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar