Arah Transformasi Pendidikan
Oleh: Yudi Latif
LANGKAH apa yang harus diambil rezim pendidikan baru saat ruang
publik disapu kelatahan wacana tentang era disrupsi, dengan ultimatum ancaman
'daya sintas' tanpa jalan keluar yang terang?
Diperlukan kejernihan pikiran, bahwa sepanjang sejarah peradaban
manusia, kehidupan sesungguhnya telah berkali-kali mengalami disrupsi.
Zaman batu berakhir bukan karena batunya habis, melainkan karena
penemuan teknologi perunggu sebagai 'pengubah permainan' (game changer). Zaman
perunggu berakhir bukan karena perunggu habis, melainkan karena penemuan
teknologi besi sebagai pengubah permainan, dan seterusnya.
Kalaupun ada yang berbeda, hal itu terletak pada tingkat kerapatan
dan skala disrupsi yang ditimbulkan. Bila pada zaman dulu, jarak antardisrupsi
itu beringsut lambat--karena kelambanan penemuan teknologi baru, pada masa
kini, rentang antardisrupsi itu begitu rapat, dengan implikasi yang lebih luas
cakupannya dan dalam penetrasinya.
Dengan tendensi kerapatan dan intensitas disrupsi seperti itu, apa
implikasinya bagi dunia pendidikan? Apakah hal itu berarti akan mengubah
prinsip-prinsip pokok pendidikan, atau perubahan yang diperlukan terletak pada
pendekatan dan metodologinya saja?
Pertama-tama harus diinsafi bahwa dengan kerapatan dan intensitas
disrupsi, dunia pendidikan tidak bisa dikembangkan sebagai pabrik tenaga 'siap
pakai'.
Bila pendidikan terlalu fokus menyiapkan peserta didik untuk
menguasai keterampilan tertentu, kecepatan kedatangan teknologi baru akan
segera mengedaluwarsakan keterampilan yang diberikan. Dengan kata lain, daya
sintas dunia pendidikan tidak bisa mengandalkan pendekatan berbasis tantangan
dan ancaman (threat based), tetapi harus dikembangkan berbasis penguatan
kapabilitas (capability based).
Dunia pendidikan tidak disiapkan sebagai pemasok 'batu-bata',
hanya karena ledakan permintaan batu bata, tetapi pemasok 'tanah liat', yang
memiliki elastisitas untuk memenuhi ragam keperluan.
Itu sebabnya, mengapa ada tendensi di banyak negara, termasuk
Tiongkok, untuk mengubah kurikulum pembelajaran dari spesialisasi berlebihan
menuju penyiapan pembelajar generalis yang mampu berpikir independen dan
inovatif.
Dalam buku Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World
(2019), David Epstein, setelah melakukan studi komparatif secara ekstensif dan
lintas-profesi, menyimpulkan bahwa kepercayaan lama tentang perlunya menekuni
spesialisasi secara dini sebagai jalan menuju sukses ternyata hanyalah suatu
perkecualian (exception), bukan ketetapan (rule).
Dalam profesi dengan bidang permainan (ruang manuver) yang terbatas,
bersifat repetitif dan terukur dengan aturan yang tetap, fokus secara dini
dalam spesialisasi ini memang bisa mengantarkan sukses seperti yang diraih
Tiger Wood (dalam golf) dan Polgar bersaudara (dalam catur). Namun, dalam
profesi dengan bidang permainan yang kompleks, saling berhubungan, berubah
cepat dan sulit diprediksi, spesialisasi dini tidak menolong. Diperlukan range
berpikir yang lebih luas dan adaptif dengan konteks dan perubahan.
Disrupsi kehidupan akibat perkembangan artificial intelligence
(AI), big data, dan connectivity, menambah arti penting wawasan berpikir
generalis. Dengan adanya AI, keterampilan teknis-taktikal bisa ditangani lebih
baik oleh mesin. Yang dibutuhkan manusia justru kemampuan berpikir strategis
dengan pemikiran holistis.
Dengan big data dan connectivity, yangg diperlukan manusia adalah
daya analitis-sintetis dengan wawasan interdisiplin dan transdisiplin. Singkat
kata, kelebihan manusia atas mesin, dan yang perlu lebih ditekankan adalah
kemampuan melihat hutan secara keseluruhan ketimbang melihat satuan-satuan
pohon.
Semua ini ada implikasinya pada dunia pendidikan. Spesialisasi
secara dini harus dihindari. Hingga tingkat sekolah menengah tak perlu ada
penjurusan. Sebaliknya, sekolah harus memberi kesempatan pada peserta dididik
untuk mengenali berbagai disiplin ilmu. Spesialisasi bisa diperkenalkan pada
jenjang perguruan tinggi. Dengan mengenali berbagai disiplin ilmu di awal
pertumbuhan, pendidikan memberikan basis kapabilitas yang kuat.
Pendidikan berbasis kapabilitas menuntut penyiapan peserta didik
sebagai manusia pembelajar seumur hidup. Manusia yang selalu update dengan
perkembangan baru dengan kesediaan terus belajar memperbarui dirinya untuk bisa
menjawab segala macam tantangan.
Pada titik ini, kedatangan zaman baru tidak berarti mengubah
hakikat prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan seumur hidup (life long
education) justru harus dibudayakan lebih sungguh. Suhu pendidikan kita, Ki
Hadjar Dewantara, secara visioner mendefinisikan pendidikan sebagai proses
belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan
kehidupan (miko-kosmos dan makro-kosmos) sepanjang hidup.
Manusia pembelajar harus dibekali dengan dua macam kemampuan. Di
satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan angin
perubahan. Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh
diterjang angin. Yang pertama memerlukan daya kreatif. Yang kedua memerlukan
daya karakter.
Menumbuhkan mental kreatif
Dalam menumbuhkan manusia pembelajar yang kreatif, tugas dunia
pendidikan adalah menumbuhkan mental kreatif (creative mind). Mengikuti Peter H
Diamandis, MD (2018), setidaknya ada lima karakteristik mentalitas yang perlu
dibudayakan peserta didik.
Jiwa sungguh mencintai (passion) terhadap apa yang dirasa sebagai
bakat, minat, pilihan, dan impian seseorang. Kuncinya adalah mengupayakan
ketersingkapan potensi diri dengan mengalami secara langsung aktivitas
pengembaraan, ragam kegiatan dan percobaan (experiential learning).
Rasa ingin tahu (curiosity) dengan memfasilitasi proses
eksperimentasi dan penemuan. Peserta didik perlu diberikan keterampilan untuk
belajar mengajukan pertanyaan, hipotesis, mendesain eksperimentasi,
mengumpulkan data, dan merumuskan kesimpulan.
'Keliaran' imajinasi dengan membiarkan alam terkembang menjadi
guru. Program-program pengajaran yang terstruktur dengan basis hafalan bisa
mengerdilkan imajinasi. Perkembangan imajinasi siswa bisa difasilitasi dengan
permainan berselancar di dunia maya. Karya-karya sastra dan film superhero dan
science fiction juga bisa merangsang penjelajahan imajinasi.
Pikiran kritis (critical thinking) sebagai pelita hidup. Untuk
bisa mengarungi kehidupan era baru, dengan beragam ide yang saling
bertentangan, berebut klaim, misinformasi, berita negatif dan bohong, belajar
terampil berfikir kritis dapat membantu mengurangi kesesatan, kegaduhan, dan
pembodohan.
Keteguhan hati (persistence) untuk mengarungi percobaan dan
tantangan, bahwa segala percobaan dan impian itu memerlukan keuletan perjuangan
jangka panjang. Sekolah bisa memfasilitasi pengembangan keteguhan ini lewat
ajang kompetisi dalam semangat kolaborasi, juga dengan narasi figur-figur
ternama yang mampu bangkit dari kesulitan dan keterpurukan.
Menumbuhkan karakter
Usaha menumbuhkan kapabilitas kreatif peserta didik itu hanya bisa
menghasilkan karya dan luaran yang konstruktif dan produktif bila dibarengi
kekuatan karakter yang memberi landasan nilai integritas dan etos kerja.
Pendidikan karakter diperlukan untuk menempa siswa menjadi pribadi
baik (karakter pribadi) sekaligus warga negara baik (karakter kolektif). Antara
karakter pribadi dan karakter kolektif bisa dibedakan, tetapi tidak bisa
dipisahkan.
Tentang bagaimana menjadi pribadi yang baik, Thomas Lickona
(2011), menengarai ada 9 nilai inti karakter pribadi yang harus ditumbuhkan:
keberanian (courage), keadilan (justice), kebaikan hati (benevolence), rasa
terima kasih (gratitude), dan kebijaksanaan (wisdom), wawas diri (reflection),
rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), serta pengendalian diri
(temperance).
Tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik, Jonathan Haidt
(2012), menengarai ada 6 nilai inti moral publik sebagai basis karakter
kolektif kewargaan: peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama
(care), rasa keadilan dan kepantasan (fairness), kebebasan dengan menjunjung
tinggi hak-hak dasar manusia (liberty). Lalu, kesetiaan pada institusi, tradisi
dan konsensus bersama (loyalty), respek terhadap otoritas yang disepakati
bersama (authority), serta menghormati nilai-nilai yang dipandang paling
'mulia' (santinctity). Dalam konteks Indonesia, keenam nilai inti moral publik
itu terkadung dalam Pancasila.
Pergeseran pendekatan
Semuanya itu memerlukan pergeseran atau penyesuaian pada
pendekatan dan metodologi pendidikan. Menurut Christiaan Henny (2016), ada
beberapa hal yang patut diperhatikan sebagai karakteristik pendekatan dan
metodologi pendidikan masa depan.
Aktivitas belajar di ruang kelas mengalami pembalikan (flipped
classroom). Dengan fasilitas e-learning, pelajar bisa memiliki lebih banyak
kesempatan belajar pada aneka tempat dan waktu, juga bisa belajar jarak jauh
dan belajar sendiri.
Dengan demikian, aktivitas di ruang kelas bisa kebalikan dari
pendekatan pembelajaran konvensional. Aspek-aspek teoritis yang biasanya
disampaikan di ruang kelas bisa dipelajari di luar kelas; sebaliknya
aspek-aspek praktis yang biasanya menjadi pekerjaan rumah justru dikerjakan di
ruang kelas secara interaktif. Ruang kelas menjadi wahana mendiskusikan hal-hal
yang belum jelas, juga menjadi ajang kerja kelompok untuk mengaitkan hal-hal
yang teoritis ke dalam praktik.
Pembelajaran mengalami personalisasi (personalizing learning).
Para pelajar akan belajar dengan alat-alat pembelajaran sesuai dengan
kapabilitas dirinya. Pelajar yang memiliki kecakapan di atas rata-rata pada
subjek-subjek tertentu akan ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang lebih
berat, sedangkan pelajar yang mengalami kesulitan akan mendapatkan kesempatan
yang lebih banyak hingga bisa mencapai level yang dikehendaki. Pelajar akan
mendapatkan peneguhan secara positif, yang bisa mengatasi kehilangan
kepercayaan diri. Guru-guru akan dapat mengenali secara lebih jelas, pelajar
mana yang memerlukan bantuan dalam bidang apa.
Keterbukaan pilihan bebas (free choice). Meskipun setiap subjek
yang dijarkan mengarah pada tujuan yang sama, jalan yang ditempuh oleh pelajar
untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbeda. Pelajar akan bisa memodifikasi
proses belajar dengan alat-alat pembelajaran yang dirasa cocok dengannya.
Para pelajar akan belajar dengan beragam peralatan, program, dan
teknik sesuai dengan preferensinya. Untuk itu, pelajar harus disertakan dalam
penyusunan kurikulum. Guru lebih berperan sebagai mentor pendamping, pengarah,
pendorong, dan penghubung siswa dengan dunia luar.
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Mengikuti
kencederungan pilihan karier pekerjaan di era baru, yang tidak terlalu terikat
(freelance), para pelajar hari ini harus diadaptasikan pada praktik
pembelajaran dan pekerjaan berbasis proyek. Mereka harus belajar bagaimana
menerapkan keterampilannya dalam jangka pendek pada ragam situasi.
Hal ini harus mulai diperkenalkan pada sekolah menengah. Pada
jenjang ini, kreterampilan berorganisasi, kolaborasi, dan pengaturan waktu juga
dapat diajarkan sebagai modal dasar untuk dikembangkan pada karir akademik
selanjutnya.
Perluasan pengalaman lapangan (field experience) karena teknologi
dapat memfasilitasi secara lebih efisien pembelajaran aspek-aspek teoritis pada
domain tertentu, kurikulum akan memberi ruang pagi pengembangan keterampilan
dalam pengalaman langsung.
Sekolah/universitas akan menyediakan kesempatan yang lebih luas
untuk meraih keterampilan dalam dunia nyata sesuai dengan preferensinya.
Kurikulum akan menciptakan lebih banyak ruang bagi pelajar untuk menjalani
permagangan, proyek kolaborasi, dan mentoring.
Teknologi bisa menolong aktivitas belajar mandiri di luar kelas
manakala peserta didik memiliki budaya belajar dan literasi yang kuat.
Untuk itu, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada
olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis,
dan meneliti dalam kerangka budi pekerti.
Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau
sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi
kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar.
Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk
menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.
Budaya baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media
digital dengan muatan pesan yang serba ringkas dan instan. Tanpa tradisi
membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru untuk memahami dan
mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif
(filsafat, ideologi, sejarah, agama, sastra, dan lain-lain). Padahal, pengetahuan
naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.
Oleh karena itu, kemunculan era disrupsi jangan jadi pembenar
untuk menelantarkan kapasitas literasi. Pendidikan sekolah dasar menjadi
tumpuan untuk membudayakan minat baca, tradisi menulis, dan menutur. Tanpa daya
interpretasi, daya baca, daya tulis, dan daya menutur, perkembangan kreativitas
manusia tidak meliliki landasan yang kuat. Oleh karena itu, harus disediakan
wahana bagi anak-anak untuk membaca atas pilihannya sendiri.
Sekolah hanya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sejalan dengan
misi pendidikan budi-pekerti. Setelah membaca, anak-anak juga harus dilatih
untuk menuturkan apa yang mereka tangkap dari bahan bacaan. Latihan menutur
bukan sekadar membantu mengingat, melainkan juga melatih kepercayaan diri,
serta pembiasaan saling mendengar dan saling mengapresiasi sesama peserta
didik.
Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada
enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika
yang rumit. Negara seperti Finlandia dengan prestasi pendidikan yang hebat pun
mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar. Pada tingkat ini,
cukuplah diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagi dasar kecapakan hidup,
yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. pelajaran matematika bolehlah
mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.
Pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran
menulis tidak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, tetapi subjek
tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis
merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan
mencipta. Tak mengherankan, saat AS menyadari penurunan daya saing, solusi
kurikulumnya justru mewajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar
dan menengah (Godzich, 1994).
Semua pergeseran dalam pendekatan dan metodologi pendidikan itu
harus seiring dengan transformasi pendidikan karakter. Untuk itu, kurikulum
pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa untuk
mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik, kehalusan
perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial,
sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan
(nasionalisme), dan gotong-royong. Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah
memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan,
pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaan, dan
kemanusiaan.
Pengembangan karakter merupakan pendekatan holistis yang
menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil kehidupan
siswa. Dalam pendidikan karakter, moral itu ditangkap (caught) dengan
keteladan, bukan diajarkan (taught) dengan hafalan. Cara mengajarkannya tidak
terisolasi dalam mata pelajaran tersendiri, tetapi melekat dengan seluruh
rangkaian kurikulum dan melibatkan peran komunitas.
Sifat-sifat karakter yang dikehendaki harus merembesi lingkungan
belajar siswa baik dalam kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria, lapangan
olahraga, dan tempat-tempat lainnya, yang kemudian terhubung dengan praktis
moral dalam realitas masyarakat.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu benih
harapan. Bila masyarakat dilanda kekisruhan, kemandekan, dan keterpurukan, dan
tak tahu kunci emansipasinya, jurus pemungkasnya adalah pendidikan. Pendidikan
benih harapah harus memprioritaskan pengembangkan manusia pembelajar yang
kreatif dan berkarakter.
Proses pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas berbasis
keragaman kecerdasan insani dengan panduan kompas nilai yang dapat menjaga
keselarasannya dengan tertib kosmos dan harmoni dunia. Dengan cara itu, menurut
Ki Hadjar Dewantara, manusia pembelajar bisa, "mangaju-aju salira,
mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa" (membahagiakan diri,
membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan). []
MEDIA INDONESIA, 18 Desember 2019
Yudi Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar