Ragam Pendapat Ulama soal
Mengucapkan Selamat Natal
Menjelang perayaan Natal seperti ini,
biasanya muncul perdebatan di tengah masyarakat tentang hukum seorang Muslim
mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani atau siapa saja yang
memperingatinya. Tidak jarang, perdebatan itu menimbulkan percekcokan, bahkan
vonis kafir (takfîr).
Untuk menjawab hukumnya, penulis akan
mengupasnya dalam beberapa poin. Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits
Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan
mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad shallallahu
’alaihi wasallam hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum
ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan
orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).
Kedua, karena tidak ada
ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan
hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang
berlaku kaidah:
لَا
يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak
boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh
diingkari.
Ketiga, dengan demikian,
baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya
berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir
terkait dengan hukum permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat.
Pertama, sebagian ulama,
meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh
Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan
selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.
Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di
antaranya: Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat
72:
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di
surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang
Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian
palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya,
dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian,
mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.
Di samping itu, mereka juga berpedoman pada
hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka
dia termasuk bagian kaum tersebut." (HR. Abu Daud, nomor 4031).
Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal
berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka.
Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.
Kedua, sebagian ulama,
meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh
Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis
Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat
Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu
wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa
ta’ala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang
tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan
selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim
yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.
Selain itu, mereka juga berpegangan kepada
hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik:
كَانَ
غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ،
فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ:
أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang
senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya
untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata:
“Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di
dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu
'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)
Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar
berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai
pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).
Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada
umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka.
Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada
mereka, sehingga diperbolehkan.
Dari pemaparan di atas, bisa diambil
kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada
yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan
untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam
ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan.
Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan,
maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan
Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu
anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’
(Quds/Palestina):
هَذَا
مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ
مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ
كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ.
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar,
pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau
memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan
juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak
boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609). []
Ustadz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar