Standar Menjijikkan atau
Tidaknya Hewan adalah Orang Arab, Mengapa?
Allah menghalalkan berbagai macam jenis
makanan pada manusia dan mengharamkan sebagian jenis makanan yang lain. Salah
satu jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah berbagai macam
daging hewan. Dalam menjelaskan halal-haramnya mengonsumsi hewan, syariat ada
kalanya menyebutkan nama hewan tersebut lalu memberi status hukum
mengonsumsinya secara tegas. Misalnya, tentang halalnya ikan dan belalang dan
haramnya daging babi.
Dalam kesempatan lain, syariat juga tidak
menyebut nama hewan tertentu, melainkan kriteria-kriterianya. Seperti yang
terjadi pada haramnya hewan yang memiliki gigi taring (dzi nabin) dari beberapa
hewan buas dan memiliki kuku yang bercakar (dzi mikhlab) dari berbagai jenis
burung.
Adakalanya juga syariat menjelaskan halal-haram
suatu makanan dari jenis hewan tanpa menyebutkan nama spesifik hewan dan tanpa
menyebut pula kriterianya, melainkan berdasarkan sifat baik-buruknya suatu
makanan yang salah satunya mencakup terhadap berbagai macam jenis hewan. Hal
ini misalnya seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
يَسْأَلونَكَ
مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah
yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu (adalah
makanan) yang baik-baik’.” (QS. Al-Maidah Ayat: 4)
Dalam menjelaskan salah satu sifat orang
mukmin, Al-Qur’an juga menyinggung hal ini:
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
“Orang yang menghalalkan segala yang baik
bagi mereka dan dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS Al-A’raf
Ayat: 157)
Dalam berbagai kitab fiqih klasik dijelaskan
bahwa yang menjadi pijakan baik-buruknya suatu hewan sehingga layak dimakan
atau tidak adalah berdasarkan penilaian orang Arab, bukan berdasarkan penilaian
dari golongan selain Arab. Sehingga ketika terdapat pertentangan antara
penilaian orang Arab dengan penilaian orang selain dari bangsa Arab dalam
menilai suatu hewan tentang layak dimakan atau tidak, maka yang dimenangkan
adalah penilaian orang Arab.
Pertanyaannya, mengapa yang menjadi pijakan
penilaian baik-buruknya (menjijikkan atau tidak) suatu hewan ditentukan oleh
orang Arab? Mengapa masyarakat dari bangsa lain tidak berhak untuk memiliki
penilaiannya sendiri?
Dalam berbagai referensi disebutkan bahwa hal
tersebut disebabkan karena orang Arab-lah yang pertama kali mendapatkan
tuntutan syariat Islam dan kepada merekalah Rasulullah ﷺ menjadi utusan Allah,
serta dikarenakan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yang
tak lain agar mereka dapat memahaminya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam
kitab at-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghayah wa at-Taqrib:
وَكُلُّ
حَيَوَانٍ اِسْتَخْبَثَتْهُ اَلْعَرَبُ فَهُوَ حَرَامٌ اِلّا مَا وَرَدَ
اَلشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ, وَاعْتُبِرَ عُرْفُ الْعَرَبِ ِلأَنَّهُمْ اَلَّذِيْنَ
خُوطِبُوا بِالشَّرْعِ أَوَّلًا وَفِيْهِمْ بُعِثَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلاَّمَ وَنَزَلَ اَلْقُراَنُ.
“Setiap hewan yang dianggap menjijikkan
menurut orang Arab maka dihukumi haram kecuali hewan-hewan yang dijelaskan oleh
syara’ tentang kehalalannya. Kebiasaan orang Arab dijadikan pijakan tak lain
dikarenakan mereka adalah orang-orang yang pertama kali mendapatkan khitab
(tuntutan agama) oleh syara’ dan kepada merekalah Nabi Muhammad (pertama kali)
diutus dan Al-Qur’an turun.” (Syekh Musthofa Dib ad-Dimsyiqi, at-Tahdzib fi
Adillati Matni al-Ghayah wa at-Taqrib, hal. 239)
Alasan lain mengapa orang Arab yang menjadi
pijakan penialaian baik-buruknya sesuatu adalah dikarenakan mustahil sepakatnya
penilaian semua watak manusia dalam menilai menjijikkan atau tidaknya suatu
hewan. Status hukumnya menjadi relatif. Sehingga dalam menilai suatu hewan
harus berdasarkan penilaian golongan tertentu yang dalam hal ini adalah orang
Arab. Penjelasan tersebut seperti yang dijelaskan dalam kitab Hasyiyah
al-Bujairami ala al-Khatib:
ـ
(وَيُحِلُّ لَهُمْ
الطَّيِّبَاتِ) أَيْ الطَّيِّبَاتِ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ وَهُمْ الْعَرَبُ لَا
كُلِّ النَّاسِ لِاسْتِحَالَةِ اتِّفَاقِ طَبَائِعِ النَّاسِ عَلَى اسْتِطَابَةِ
حَيَوَانٍ أَوْ اسْتِخْبَاثِهِ
“Halal bagi manusia segala hewan yang
dianggap bagus, maksudnya dianggap bagus menurut sebagian orang yaitu orang
Arab, bukan dianggap bagus oleh semua orang, sebab mustahil sepakatnya semua
watak manusia dalam menentukan bagus atau menjijikkannya hewan.” (Syekh
Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz IV, hal.
406)
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut, maka
segala hewan yang dianggap baik oleh orang Arab maka dihukumi halal untuk
dimakan, meskipun tidak ada dalil Al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan secara
khusus tentang kehalalan hewan tersebut. Misal: halalnya mengonsumsi ayam,
bebek, dan hewan lainnya. Sebaliknya, segala hewan yang dianggap buruk atau
menjijikkan menurut pandangan orang Arab maka dihukumi haram untuk
mengonsumsinya, meskipun sebagian orang menganggap bahwa mengonsumsi hewan ini
bukanlah hal yang menjijikkan, misalnya seperti mengonsumsi hewan bekicot,
laron, kepompong, dan hewan-hewan lainnya yang dianggap buruk atau menjijikkan
untuk dikonsumsi. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar