Muslimat NU dan
Kekerasan Pemilu 1971 (1)
Pemilu 1971 merupakan
pemilihan umum pertama di era Orde Baru. Pemilu ini melibatkan 10 kontestan
yang satu darinya menyebut diri golongan, bukan partai, yaitu Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didukung oleh ABRI, pegawai negeri,
profesi guru, aparat birokrasi dari atas hingga tingkat desa. Sembilan lainnya
adalah Partai NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti, IPKI, dan
Murba.
Pemilu 1971
dilaksanakan secara serentak pada 5 Juli 1971 untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD
Tingkat I Provinsi dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia.
Sejak Pemilu 5 Juli
1971 itu juga, masyarakat kita mengenal istilah Luber, yaitu asas pemilu yang
dijalankan secara Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Pengertian asas “bebas”,
salah satu dari Luber, menyebutkan bahwa setiap pemilih bebas menentukan
pilihannya menurut hati nuraninya tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari
siapa pun dan dengan cara apa pun. Tetapi, kata Usep Romli HM dalam artikelnya
Teror Orba di Pemilu 1971 yang diturunkan NU Online pada 31 Maret 2014, prinsip
tersebut sekadar jargon belaka. Karena pada praktiknya, asas tersebut tidak
berjalan di lapangan.
“Di setiap TPS, para
aparat sipil dan militer, siap siaga mengintimidasi warga agar jangan memilih
parpol. Hasilnya, tentu dapat diduga. Golkar meraih suara hampir 60%.
Memperoleh 260 kursi DPR-RI dari 450 kursi yang diperebutkan. Jumlah kursi DPR
sebenarnya 500. Tapi 100 kursi disisihkan untuk anggota DPR yang diangkat oleh
presiden. Dengan alokasi 25 kursi untuk ABRI (TNI), 75 kursi untuk kaum
profesional non-partai, yang hakikatnya masih Golkar juga. Partai NU memperoleh
58 kursi. Lebih baik daripada hasil pemilu 1955 (45 kursi). Yang
memprihatinkan, PNI (Partai Nasional Indonesia). Hanya mendapat 20 kursi.
Padahal pada tahun 1955, menjadi pemenang (95 kursi),” tulis Usep Romli.
Berikut ini urutan
perolehan suara pada Pemilu 1971
1. Sekber Golkar
62,8% suara (236 kursi DPR)
2. Partai Nahdlatul
Ulama (NU) dengan 18,6% suara (58 kursi).
3. Parmusi dengan
5,3% suara (24 kursi).
4. PNI dengan 6,9%
(20 kursi).
5. PSII dengan 2,3%
suara (10 kursi).
6. Parkindo dengan
1,3% suara (7 kursi).
7. Partai Katolik
dengan 1,1% suara (3 kursi).
8. Perti dengan 0,6%
suara (2 kursi).
9. IPKI dengan 0,6%
suara (0 kursi).
10.Murba dengan 0,08%
suara (0 kursi).
Meskipun perolehan
suara PNI lebih besar dari Parmusi, jumlah kursi yang didapat PNI lebih kecil
dari Parmusi. Hal ini terjadi karena sistem penghitungan suara didasarkan pada
UU No. 15 Tahun 1969 di mana semua kursi terbagi habis di setiap daerah
pemilihan. Dengan logika demikian, rasio perolehan kursi PNI dan Parmusi dapat
berterima.
“Cara ini ternyata
mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang
meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya
sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma,” dalam
catatan kpu.go.id dengan judul Pemilu 1971 yang dimuat pada 21 Februari 2008.
Sebelum pemilu
berlangsung pada 5 Juli, Sekber Golkar–alat politik rezim Orde Baru–yang
didukung ABRI dan birokrat pemerintah melakukan tekanan dan intimidasi guna memaksa
pendukung kontestan dari partai lain untuk mengalihkan dukungan suara ke
pihaknya. Mereka dengan segala cara kekerasan mencoba mempreteli kekuatan
politik PNI dan Partai NU sebagai partai besar pada pemilu sebelumnya, 1955,
setelah Partai Masyumi dibubarkan pada 1960 dan menyusul PKI pada 1966.
Walhasil, Pemilu 1971
merupakan wujud demokrasi semu, kata Ilham Khoiri dalam artikelnya Pemilu 1971,
Demokrasi Semu di Kompas.com pada 11 Januari 2014. Ia mengutip sejarahwan Anhar
Gonggong yang mengatakan bahwa Sekber Golkar sejak awal dipersiapkan oleh
pemerintah untuk menang. Pemilihan nama “Sekber Golkar” sendiri sudah mengecoh
yang seakan bukan kontestan pemilu. Padahal ia jelas-jelas adalah orpol. Golkar
adalah tulis Usep “peserta yang tak ingin disebut partai politik.”
“Mulai tumbuh gagasan
Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer sekaligus politik praktis penyokong
Orde Baru. Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama
dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara
(TPS) dijaga ketat polisi dan tentara. Saat itulah, mulai dikenal istilah
”serangan fajar”, yaitu pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum
datang ke TPS agar mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu,
walhasil Golkar pun menang telak,” tulis Ilham Khoiri. []
(bersambung…)
(Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar