Empat
Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Menjadi Muadzin Pertama
Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Majikannya, Umayyah bin Khalaf, adalah salah satu elit musyrik Makkah yang sangat menentang Rasulullah dan dakwah Islam. Bilal mulai tertarik dengan Islam ketika sering mendengar Umayyah bin Khalaf dan teman-temannya ‘membicarakan’ Rasulullah dan Islam.
Singkat cerita,
akhirnya Bilal menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ummayah bin
Khalaf yang mengetahui budaknya masuk Islam marah besar. Berbagai macam
tindakan kasar dan sadis dilakukan untuk memurtadkan Bilal. Mulai menjemur
Bilal di padang pasir tanpa pakaian hingga menjatuhinya batu besar. Tapi bilal
tetap keukeuh dengan keyakinan barunya, Islam.
Abu Bakar
memerdekakan Bilal bin Rabah setelah mengetahui keadaannya yang begitu malang.
Semenjak itu, Bilal selalu berada di dekat Rasulullah. Ia ikut berhijrah
bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya. Tempat tinggal Bilal pun tidak
jauh dengan rumah Rasulullah ketika di Madinah. Bilal menjadi ahlu shuffah dan
tinggal di emperan Masjid Nabawi bersama para sahabat lainnya, sementara
Rasulullah tinggal di sebuah bilik yang masih menyambung dengan Masjid Nabawi.
Di dalam Islam, semua
manusia itu memiliki derajat yang sama. Hanya ketakwaannya lah yang membuat
mereka mulia di sisi Allah, bukan warna kulit, suku, atau rasnya. Hal itu lah
yang dialami Bilal. Meskipun ia berkulit hitam, berambut keriting, dan berlatar
belakang budak namun Bilal lah yang dipilih Rasulullah untuk mengemban tugas
yang mulia, yaitu menjadi muadzin pertama.
Tentu saja ada
omongan miring terkait hal ini. Terutama saat Bilal mengumandangkan adzan di
atas Ka’bah ketika peristiwa Fathu Makkah. Kata mereka, apakah pantas budak hitam
adzan di atas Ka’bah.
Lantas apa yang
menyebabkan Bilal dipilih untuk menjadi muadzin pertama? Merujuk buku
Ash-Shuffah (Yakhsyallah Mansur, 2015), setidaknya ada empat alasan mengapa
Bilal diangkat menjadi penyeru umat Islam untuk shalat untuk yang pertama
kalinya. Pertama, Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Mungkin ini
menjadi faktor pertama mengapa Rasulullah memberikan tugas kepada Bilal untuk
menjadi muadzin pertama dalam Islam. Dikisahkan bahwa siapapun akan bergetar
hatinya manakala mendengar Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan atau membaca
Al-Qur’an.
Kedua, Bilal sangat
menghayati kalimat-kalimat adzan. Ketika Bilal masih menjadi budak Ummayah bin
Khalaf, dia disika dengan siksaan yang sangat keras agar keluar dari Islam.
Mulai diseret dan dijemur di padang pasir dengan tanpa pakaian hingga dijatuhi
batu besar tepat di atas dadanya. Bilal bergeming. Dia bahkan terus mengucapkan
ahad, ahad, ahad, ketika disika.
Pengangkatan Bilal
sebagai muadzin pertama merupakan penghargaan kepadanya. Mengapa? Karena apa
yang diucapkan Bilal ketika disiksa –ahad, ahad, ahad- memiliki unsur persamaan
dengan kalimat-kalimat adzan, yaitu tauhid atau meng-esakan Allah.
Ketiga, Bilal
memiliki kesiplinan yang tinggi. Adzan dikumandangkan lima kali dalam sehari
semalam. Waktunya pun sudah ditetapkan atau menjelang dilaksanakannya shalat
fardhu. Untuk itu, diperlukan orang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi
untuk mengemban tugas sebagai muadzin. Dan Bilal bin Rabah adalah orang yang
memiliki kedisplinan yang tinggi itu.
Empat, Bilal memiliki
keberanian. Untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal dakwah Islam, maka
diperlukan keberanian yang tinggi. Maklum saja, prinsip tauhid yang ada dalam
kalimat adzan tentu saja bertentangan dengan kondisi masyarakat pada saat itu,
dimana kemusyrikan dan penolakan terhadap Islam masih kencang. Bilal sudah
terbukti memiliki keberanian yang tinggi. Disiksa sekeras apapun saat menjadi
budak, dia tetap memegang teguh keyakinannya, Islam.
Bilal terus
mengumandangkan adzan. Namun saat Rasulullah wafat, dia tidak bersedia lagi
menjadi muadzan. Alasannya, Bilal air matanya pasti akan bercucuran manakala
sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” sehingga membuatnya
tidak kuasanya melanjutkan adzan. Bilal mengaku kenangan lamanya bersama
Rasulullah akan muncul ketika sampai pada kalimat itu.
Khalifah Abu Bakar
mencoba merayu Bilal untuk adzan lagi, namun usahanya tidak berhasil. Bilal
bersedia untuk mengumandangkan adzan lagi ketika Khalifah Umar bin Khattab tiba
di Yerusalem. Atas permintaan umat Islam, Khalifah Umar meminta Bilal untuk
adzan sekali lagi saja. Bilal akhirnya naik mimbar dan adzan. Semua yang hadir
menangis tersedu sedan mendengar adzan Bilal lagi, termasuk Khalifah Umar. Dan
itu menjadi adzan terakhir Bilal. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar