Jumat, 30 Oktober 2015

(Do'a of the Day) 17 Muharram 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma laka aslamtu wa bika aamantu wa 'alaika tawakkaltu wa ilaika anabtu wa bika khaashamtu.

Ya Allah, hanya kepada-Mulah aku berserah diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali dan hanya kepada-Mu aku mengadu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Ponpes of the Day) Pondok Pesantren Jamsaren, Serengan, Surakarta - Jawa Tengah



Jamsaren: Pesantren Tertua di Surakarta


Bila Pondok Pesantren Jamsaren diklaim sebagai pondok pesantren tertua di Pulau Jawa, barangkali memang ada benarnya. Sebab, pondok pesantren yang berlokasi di Jalan Veteran 263 Serengan Solo ini sudah berdiri sekitar tahun 1750.

Semula, pondok pesantren yang didirikan pada masa pemerintahan Pakubuwono IV ini hanya berupa surau kecil. Kala itu, PB IV mendatangkan para ulama, di antaranya Kiai Jamsari (Banyumas), Kiai Hasan Gabudan dan lain sebagainya. Nama Jamsaren itu juga diambil dari nama kediaman Kiai Jamsari yang kemudian diabadikan hingga sekarang.

Namun sayangnya, meskipun pernah disinggahi banyak ulama besar Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), Pondok Jamsaren hampir tak terlihat lagi kultur ke-Aswajaannya. Hal ini menurut penghulu kraton disebabkan karena pada perkembangannya jarang ada ulama, khususnya dari golongan ulama Aswaja, yang mau mendekat ke kraton, seperti yang dilakukan wali songo atau ulama kraton zaman dulu.

“Ada semacam terputusnya rantai mata sejarah pada pondok ini,” kata Tafsir Anom, KRT Muh. Muhtarom kepada NU Online, Sabtu (9/2) lalu.

Pondok Jamsaren juga pernah mengalami masa vakum. Vakumnya pondok pada 1830 disebabkan terjadinya operasi tentara Belanda. Operasi itu dimulai lantaran Belanda kalah perang dengan Pangeran Diponegoro pada 1825 di Yogyakarta. Karena kalah, Belanda melancarkan serangkaian tipu muslihat dan selanjutnya berhasil menjebak Pangeran Diponegoro. Karena itu pada 1830, para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro di Surakarta dan PB VI bersembunyi dan keluar dari Surakarta ke daerah lain, termasuk Kiai Jamsari II (putra Kiai Jamsari) dan santrinya.

Setelah sekitar 50 tahun kosong, seorang kiai alim dari Klaten yang merupakan keturunan pembantu Pangeran Diponegoro, Kiai H Idris membangun kembali surau, yang kemudian menjadi pesanren, tersebut. Bangunan pondok dibuat lebih lengkap dan diperluas dari kondisi semula. Bersamaan itu pula Sunan Pakubuwono X mendirikan Madrasah,yang diberi nama Madrasah Mamba'ul 'Ulum Surakarta.

Materi yang diajarkan adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning) berbahasa Arab dan diterjemahkan dengan bahasa Jawa Pegon (bahasa yang disesuaikan dengan susunan bahasa Arab), seperti Nahwu Shorof, Tajwid, Qiroah, Tafsir, Fiqh, Hadits, Mantiq, Tarikh dan Tasawwuf. Metode pengajaran pun dengan cara sorogan (maju satu per satu), sebagian yang lain dengan cara wekton atau blandongan (cara berkelompok), masing-masing membawa kitab sendiri.

Para santri tidak hanya datang dari Solo sekitar, tetapi juga datang dari daerah lain di Pulau Jawa, di antaranya Tegal, Semarang, Banten, Jombang, dan Mojokerto. Pada 1908, mushala pondok pesantren diganti dengan bangunan masjid tembok dan berlangsung hingga sekarang. Pada 1913, sistem pengajian sorogan diganti dengan sistem kelas.

Mencetak Ulama dan Pemimpin Besar

Dalam perkembangannya, pada tahun 1923 M, KH. Idris wafat (dimakamkan di pajang Makam Haji) kemudian diganti oleh KH. Abu Amar (Kyai Jamsari/Kyai Ngabei projowijoto). Pada tahun 1965 KH.'Abu Umar wafat. Beliau digantikan oleh putranya, yang salah satunya di ganti oleh KH. Ali Darokah sebagai ketua.

Pondok jamaren mulai thun 1965-1997, secara langsung dipimpin oleh KH. Ali Darokah yang dibantu oleh pengurus pondok. dimana struktur pondok terdiri dari lurah pondok, sekretaris. bendahara, wali santri pondok, staf pengajar, staf keamanan, dan staf dakwah. Pada tanggal 8 juli 1997 KH. Ali Darokah wafat. Sepeninggal beliau pengelolaan Pondok diserahkan kepada pengurus harian pondok dan pengurus pelaksana harian pondok.

Pada periode ini selain pengajian sistem kelas dengan materi pelajaran agama juga diberi materi pelajaran umum untuk menunjang prestasi santri. Pada tahun pertama santri diwajibkan untuk menghapal juz 'Amma sebagai alah satu bekal santri dalam kehidupan bermasyarakat kelak. 

Sebagai salah satu institusi pendidikan yang telah ditempa oleh perubahan zaman selama berpuluh-puluh tahun, maka dalam mensikapi dunia pendidikan pada dekade ini. Pondok Pesantren Jamsaren menawarkan suatu alternatif sitem pendidikan dimana santri digembleng dengan pengetahuan pendidikan agama islam di pesantren, di sisi lain santri menuntut ilmu pengetahuan umum di sekolah formal dengan harapan agar kelak menjadi profesional muda yang berjiwa Ulama dan pemimpin yang berguna bagi bangsa, agama dan negara.

Beberapa nama besar pernah lahir dari pondok ini, di antaranya Munawir Sazali (mantan Menteri Agama RI) dan Miftah Farid (Ketua MUI Jabar). Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Jamsaren kemudian bekerja sama dengan Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta. []

(Ajie Najmuddin)

Azyumardi: Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama



Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama
Oleh: Azyumardi Azra

Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama termasuk di antara sejumlah kebebasan lain yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat bagi adanya kebebasan beragama, yakni mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan agama.

Tetapi bagi sebagian kalangan di Eropa dan di Amerika Utara, kebebasan berekspresi dan sejumlah kebebasan lain terlihat mengkhawatirkan. Kasus terakhir yang sering dikutip adalah serangan beberapa Muslim terhadap kantor majalah satiris Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu.

Menghadapi kejadian tidak menyenangkan ini, pertanyaannya adalah apakah mungkin menjamin kebebasan berpendapat dan pada saat yang sama tetap memberikan penghargaan kepada agama. Bagaimana demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang terkait satu sama lain dapat berjalan lebih harmonis.

Masalah dan isu tentang peristiwa terkait dengan kejadian, wacana, dan persepsi yang berkembang menjadi salah satu tema pokok dalam "Warsaw Dialogue for Democracy (WDD)", Warsawa, Polandia (22-24/10/2015). Penulis Resonansi ini mendapat kesempatan baik turut berbicara pada Panel III WDD tentang "Freedom of Expression and Respect for Freedom of Religion or Belief".

Menurut penulis, terkait peristiwa Charlie Hebdo dan sejumlah kasus lain seperti kartun koran Denmark Jyllen Posten, Islam dan kaum Muslim secara ngebyah uyah sering dipersepsikan di Barat sebagai dogmatis, tidak toleran, dan tidak cocok dengan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan lain yang dinyatakan dalam DUHAM.

Persepsi ini tidak sepenuhnya salah. Banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika memiliki catatan buruk tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Tidak kurang memprihatinkan, banyak negara Muslim, khususnya di dunia Arab, terus menunjukkan defisit demokrasi. Gelombang demokrasi yang lazim disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab) kini malah berganti dengan Arab Winter (Musim Dingin Arab) ketika transisi dan konsolidasi demokrasi terlihat kian menjauh.

Negara-negara ini sejak dari Libya, Mesir, Yaman atau Suriah terus mengalami gejolak kekerasan dan perang --instabilitas politik yang mengakibatkan eksodus pengungsi dari Suriah, Libya, Irak, dan Afghanistan ke Eropa. Hanya Tunisia yang berhasil melakukan transisi damai dan konsolidasi demokrasi.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan ajaran Alquran yang menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Begitu juga dengan praktik Nabi Muhammad SAW yang ketika menjadi pemimpin negara Madinah menerapkan Piagam Madinah yang memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama kepada kaum Muslim maupun Yahudi --dengan demikian mencakup golongan non-Muslim lain.

Lebih jauh, menurut penulis Resonansi ini di depan audiens WDD, ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak teraktualisasinya kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan lain sesuai DUHAM, dan juga merajalelanya defisit demokrasi di negara-negara tersebut.

Pertama adalah sistem politik. Sejak masa pasca-Perang Dunia II banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim berada di bawah kekuasaan otoritarianisme rezim-rezim militerisme, tribalisme, teokrasi, dan oligarki keluarga. Sampai muncul gelombang demokrasi sejak akhir 2010, rezim-rezim penguasa melakukan represi terhadap warganya.

Kekerasan atas nama negara mendapat tantangan dari aktor nonnegara, yakni kelompok Islamis radikal yang melakukan aksi kekerasan dan terorisme. Hasilnya adalah lingkaran kekerasan dan teror yang tidak bisa dihentikan.

Faktor kedua adalah kuatnya sektarianisme agama, kabilah, dan politik. Sektarianisme ini terjadi di antara sesama kaum Sunni atau sesama kaum Syi’i atau di antara kaum Sunni umumnya dengan kaum Syi’i. Lingkaran sektarianisme ini juga seolah tidak bisa diakhiri, bahkan sebaliknya meningkat di Suriah dan Yaman. Masing-masing pihak didukung negara; golongan Sunni didukung Arab Saudi dan Qatar khususnya, sedangkan kaum Syi’i didukung Iran.

Dalam keadaan seperti itu, faktor ketiga adalah absennya civil society (masyarakat madani atau masyarakat sipil) yang mutlak untuk menjadi kekuatan pengimbang dan sekaligus sebagai mediasi antara negara dan masyarakat luas. Civil society telah sepenuh dikooptasi negara dan tercerai berai.
Tidak ada cara instan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama dan demokrasi bisa berjaya, konsolidasi demokrasi menjadi keharusan --meski memerlukan waktu lama. Begitu juga revitalisasi masyarakat madani mutlak dilakukan.

Tak kurang pentingnya adalah mengurangi sektarianisme agama dengan mengembangkan Islam wasathiyah --Islam jalan tengah yang inklusif, akomodatif, dan toleran baik intra-Islam maupun antaragama.

Dalam sesi penutup, Mr Wojciech Ponikiewski, direktur untuk Urusan PBB dan HAM Kemenlu Polandia menyimpulkan, kebebasan berekspresi seyogianya terus dijaga bersamaan dengan penguatan rasa hormat kepada agama. Karena itu, penggunaan kebebasan berekspresi untuk melecehkan agama merupakan tindakan kontraproduktif. []

REPUBLIKA, 29 Oktober 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

(Ngaji of the Day) Pengertian Haji Mabrur dan Tandanya



Pengertian Haji Mabrur dan Tandanya

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Setiap orang yang berhaji berharap mendapatkan haji yang mabrur dan diampuni segala dosanya. Pertanyaan yang ingin saya sampaikan kepada redaksi bahtsul masail NU Online adalah apakah haji mabrur itu dan bagaimana kita mengetahui bahwa haji sesesorang itu dianggap mabrur atau bagaimana ciri-cirinya? Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih banyak. Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Fadli – Medan

Jawaban:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi orang yang sudah mampu atau telah memenuhi segala persyaratannya. Pergi haji juga bisa berarti jihad di jalan Allah; mencurahkan harta, tenaga, meninggalkan keluarga dan negara menuju ke Tanah Haram untuk memenuhi panggilan-Nya.

Bahkan di Indonesia orang yang mau berangkat haji harus mengantre terlebih dulu sampai bertahun-tahun karena memang adanya keterbatasan kuota untuk jamaah haji sehingga butuh kesabaran ekstra. Mereka yang pergi haji jelas berharap mendapatkan haji yang mabrur karena balasan haji mabrur adalah surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

الْحَجَّةُ الْمَبْرُورَةُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR An-Nasa’i)

Perihal mabrur, ada banyak pendapat ulama. Pertama, haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri kemaksiatan, dan kata “al-mabrur” itu diambil dari kata al-birr yang artinya ketaatan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan penuh ketaatan sehingga tidak tercampur dengan dosa. Pendapat ini menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi, dipandang sebagai pendapat yang paling sahih.

قَالَ النَّوَوِيّ مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يَقْتَصِر لِصَاحِبِهَا مِنْ الْجَزَاء عَلَى تَكْفِير بَعْض ذُنُوبه لَا بُدّ أَنْ يَدْخُل الْجَنَّة قَالَ : وَالْأَصَحّ الْأَشْهَر أَنَّ الْحَجّ الْمَبْرُور الَّذِي لَا يُخَالِطهُ إِثْم مَأْخُوذ مِنْ الْبِرّ وَهُوَ الطَّاعَة
“Menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi makna hadits “Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga”  adalah bahwa ganjaran bagi orang dengan haji mabrur tidak hanya sebatas penghapusan sebagian dosa. Mabrur itu yang mengharuskan ia masuk surga. Imam Nawawi berkata: ‘Yang paling sahih dan masyhur adalah bahwa haji mabrur yang bersih dari dosa itu diambil dari al-birr (kebaikan) yaitu ketaatan”. (Lihat, Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, Halb-Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, cet ke-2, 1406 H/1986 H, juz, V, h. 112).

Kedua, bahwa haji mabrur adalah haji maqbul (diterima) dan dibalas dengan al-birr (kebaikan) yaitu pahala.

Sedang bukti bahwa haji seseorang itu maqbul atau mabrur adalah ia kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi perbuatan maksiat.

وَقِيلَ : هُوَ الْمَقْبُولُ الْمُقَابَلُ بِالْبِرِّ وَهُوَ الثَّوَابُ، وَمِنْ عَلَامَةِ الْقَبُولِ أَنْ يَرْجِعَ خَيْرًا مِمَّا كَانَ وَلَا يُعَاوِد الْمَعَاصِي

“Ada pendapat yang mengatakan: ‘Haji mabrur adalah haji yang diterima yang dibalas dengan kebaikan yaitu pahala. Sedangkan pertanda diterimanya haji seseorang adalah kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi melakukan kemaksiatan.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Ketiga, haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya. Keempat, haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi kemaksiatan. Jika kita cermati dengan seksama maka pendapat ketiga dan keempat ini pada dasarnya sudah tercakup dalam pendapat sebelumnya.

وَقِيلَ هُوَ الَّذِي لَا رِيَاءَ فِيهِ وَقِيلَ : هُوَ الَّذِي لَا يَتَعَقَّبهُ مَعْصِيَةٌ وَهُمَا دَاخِلَانِ فِيمَا قَبْلهُمَا 

“Ada ulama yang mengatakan haji mabrur adalah haji yang tidak ada unsur riya` di dalamnya. Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah yang tidak diiringi dengan kemaksiatan. Kedua pandangan ini masuk ke dalam kategori pandangan sebelumnya.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Antara pendapat satu dan yang lainnya pada dasarnya saling berkait-kelindan dan mendukung satu sama lain. Intinya haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan pelbagai ketentuannya sesempurna mungkin. Demikian sebagaimana disimpulkan al-Qurthubi.

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ : الْأَقْوَالُ الَّتِي ذُكِرَتْ فِي تَفْسِيرِهِ مُتَقَارِبَةٌ وَأَنَّهُ الْحَجُّ الَّذِي وُفَّتْ أَحْكَامُه وَوَقَعَ مَوْقِعًا لِمَا طُلِبَ مِنْ الْمُكَلَّف عَلَى وَجْهِ الْأَكْمَلِ

“Al-Qurthubi berkata: ‘Bahwa pelbagai pendapat tentang penjelasan haji mabrur yang telah dikemukakan itu saling berdekatan. Kesimpulannya haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuanya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya (mukallaf) sebagaimana yang dituntut darinya”. (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Lantas bagaimana dengan tanda atau ciri haji mabrur? Dengan mengacu pada penjelasan di atas, maka salah satu tanda hajinya seseorang mabrur adalah ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya, dan tidak mengulangi perbuatan maksiat atau dosa.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Bagi orang yang belum berhaji semoga cepat diberi kemudahan oleh Allah untuk menunaikannya dan mendapatkan haji mabrur. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU