Peta Baru yang Pengaruhi Hubungan Dua
Oleh: Dahlan Iskan
Peta Timur Tengah kelihatannya akan berubah total. Bisa lebih damai? Atau akan lebih kisruh? Masih harus kita lihat perkembangannya. Yang jelas, Amerika Serikat (AS) tampaknya sudah sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan lama tidak bisa dipakai lagi. Cara yang dipakai selama 30 tahun terakhir ini dinilai tidak menunjukkan gejala ke arah damai.
Di bawah Presiden Barack Obama yang juga
pemenang Nobel Perdamaian, AS tampaknya memilih banting setir. Berteman dengan
Arab Saudi, sekaligus berteman dengan musuh utamanya yang bernama Israel,
sambil bermusuhan dengan musuh dua negara itu, yakni Iran, dianggap terbukti
tidak bisa menyelesaikan masalah Timur Tengah. Bahkan terus mengancam
ketenangan dunia. Terutama oleh terorisme.
Kini AS justru terlihat akan memilih berteman
dengan Iran, musuh besarnya selama 30 tahun itu. Dengan dukungan PBB dan Eropa,
AS menyepakati perjanjian tentang nuklir Iran. Ini jalan awal menuju dicabutnya
embargo pada Iran. Juga awal normalisasi hubungan dengan negara-negara Barat.
Bahkan, Prancis seperti sudah tidak sabar untuk membuka hubungan itu.
Risiko besar memang sedang diambil Obama. Di
dalam negeri Obama akan ditentang habis lawan politiknya. Di luar negeri Obama
akan dimusuhi sekutu lamanya, Israel dan sekaligus Arab Saudi.
Untuk menghadapi oposisi di dalam negeri, Obama
tentu akan menggunakan alasan yang sangat masuk akal. Akal sehat orang Amerika
akan setuju dengan alasan Obama ini: semua sumber teroris di Barat justru
datang dari jalur yang dekat dengan aliran Wahabi yang asalnya dari Arab Saudi.
Tidak ada aksi teror di AS dan Eropa yang terkait dengan Iran atau aliran
Syiahnya.
Akal sehat publik Amerika akan bisa menerima
fakta itu. Mereka bukan orang yang ideologis atau emosional. Tapi, Obama tetap
saja harus kerja keras meyakinkan mereka. Oposisi di AS kini tidak hanya datang
dari Partai Republik, tapi juga dari dalam Demokrat sendiri. Satu sayap kuat di
Demokrat kini lagi mempersoalkan kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Lebih
dari 55 persen pendapatan baru Amerika dikuasai hanya oleh 10 persen orang
kaya. Itu pun lebih didominasi 1 persen di dalam 10 persen itu. Inilah
kesenjangan ekonomi terjelek sejak tahun 1928 di AS.
Soal hubungan dengan sekutu lamanya, Arab
Saudi, Obama kelihatannya sudah tidak ada beban apa-apa. Amerika sudah tidak
takut apa-apa lagi. Praktis, sebenarnya kini Amerika bahkan sudah tidak
membutuhkan Saudi. Dulu AS memang takut diembargo minyak oleh Saudi. Ekonomi AS
sangat bergantung pada minyak mentah Saudi.
Kini? Amerika tidak memerlukan minyak Saudi.
Tidak lagi. Amerika kini sudah punya sumber energi sendiri. Bahkan lebih
bersih. Dan lebih murah: shale gas.
Sejak AS menemukan shale gas (gas dari celah
bebatuan) beberapa tahun lalu, kini ekonominya tumbuh sangat bagus. Sumber
energinya sangat murah. Ketika Tiongkok, Jepang, dan Eropa harus membeli gas
dengan harga paling rendah 9 dolar/mmbtu, harga gas di AS hanya 3 dolar/mmbtu.
Hanya sepertiganya.
Praktis AS tidak perlu Saudi lagi. Bahkan, kini
AS bisa-bisa melihat Saudi sebagai penghambat utama demokratisasi dunia. Sistem
kerajaannya yang tidak demokratis, sistem sosialnya yang sangat menghambat
peran perempuan, dan network-nya dengan kelompok-kelompok radikal bisa jadi
membuat AS akan sangat kritis terhadap Saudi.
Selama ini AS dikecam sebagai penganut standar
ganda. Pejuang demokrasi, tapi melindungi Saudi yang tidak demokratis. Semua
itu dilakukan AS semata-mata demi mendapat minyak dari Saudi. Kini, setelah AS
tidak membutuhkan minyak Saudi lagi, ke depan peta itu bisa berubah total.
Apakah menjauhnya AS dari Saudi sambil
mendekatkan diri ke Iran itu akan menimbulkan ketegangan internal di kawasan
tersebut? Antara blok Arab yang beraliran Sunni dan blok Iran/Parsi yang
beraliran Syiah. Atau ketegangan hanya akan lebih mencekam di internal
masing-masing negara Arab? Terutama akibat tuntutan demokratisasi dari dalam
negeri masing-masing.
Kalau saja kelak terjadi demokratisasi di
negara-negara kerajaan itu, siapa yang akan jadi pemenang pemilu di Bahrain dan
Arab Saudi? Belum tentu kelompok Sunni dan Wahabi yang menang. Bisa jadi akan
seperti Iraq sekarang.
Bagi kita di Indonesia, sebenarnya semua itu
urusan politik. Bukan urusan agama. Tapi, mau tidak mau Islam terbawa-bawa.
Apalagi kalau sampai membawa-bawa Sunni dan Syiah sebagai kemasan pertentangan.
Islam pernah mengalami kemajuan ilmu
pengetahuan luar biasa. Melebihi dunia Barat. Yakni di saat pemerintahan
Abbasiyah di wilayah yang sekarang disebut Baghdad. Itu tahun 1300-an. Di saat
rajanya mengatakan ”setetes tinta untuk ilmu lebih mulia daripada setetes darah
untuk perang”. Saat itu terjadi kerja sama yang sangat erat antara suku Arab
yang Sunni dan suku Persia yang Syiah. Tidak ada situasi saling menjelekkan,
saling mengafirkan, dan saling menyerang.
Abbasiyah memang belajar banyak dari keruntuhan
kerajaan Islam yang amat kuat sebelumnya: Umayyah. Yang beribu kota di Damaskus
(Syria) saat ini. Pada zaman inilah Islam berkembang sampai ke Andalusia
(Spanyol). Dan juga sampai Persia dan India. Artinya, banyak wilayah non-Arab
yang menjadi Islam.
Tapi, sikap raja-raja Umayyah yang menjadikan
umat Islam non-Arab sebagai umat Islam kelas dua, menurut sebagian ahli
sejarah, membuat kerajaan itu akhirnya mudah dijatuhkan Abbasiyah. Tentu
raja-raja Abbasiyah juga dari suku Arab, tapi mengakomodasi suku lain non-Arab
sangat bagus. Termasuk mengakomodasi suku Persia, tetangganya di selatan yang
notabene Syiah.
Waktu itu Sunni bisa sangat rukun dengan Syiah.
Islam menjadi sangat maju. Mengalahkan kemajuan Barat. Energi tidak habis untuk
bertengkar. Energi lebih banyak untuk berkarya.
Dengan kemungkinan terjadinya peta baru di
sana, kita yang jauh dari Timur Tengah ingin melihat kembali kemungkinan
terjadinya kerukunan dua suku utama di kawasan itu. Demi nama harum Islam,
kedamaian dunia, dan kesejahteraan umat manusia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar