Setahun
Nawacita Politik
Oleh:
Azyumardi Azra
Setahun
Nawacita. Hasil apa saja yang dicapai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla selama satu tahun ini, khususnya dalam bidang
politik? Tolok ukur yang berdasar adalah Nawacita, khususnya menyangkut politik
yang menjadi kerangka dasar pemerintahan Jokowi-Kalla. Dari Sembilan Gatra
Nawacita, setidaknya ada lima yang terkait langsung dengan politik. Pencapaian
tiap-tiap gatra itu terlihat masih jauh dari harapan.
Gatra
pertama Nawacita terkait politik adalah menghadirkan kembali negara untuk
melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman bagi semua warga negara
melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan
pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan
nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Tanpa
perlu melakukan penelitian, banyak warga merasakan negara belum hadir
sepenuhnya untuk melindungi dan memberikan rasa aman. Kasus semacam Tolikara
dan Singkil memperlihatkan, negara terlambat mengantisipasi terjadinya gangguan
terhadap rasa aman para warga yang khususnya berbeda agama dan aliran.
Politik
luar negeri Indonesia tampaknya paling adem ayem, dan karena itu mendapat
banyak sorotan di tingkat internasional. Banyak kalangan menilai pemerintah
Jokowi terlalu melihat ke dalam; cenderung mengabaikan peran Indonesia yang
justru diharapkan banyak kalangan internasional. Indonesia menurut mereka harus
memainkan peran lebih besar sesuai kebesarannya.
Gatra
kedua Nawacita terkait politik menyatakan ingin membuat negara tidak absen
dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
tepercaya dengan memberikan prioritas pada pemulihan kepercayaan publik pada
institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi
sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Gatra Nawacita itu terkait
dengan gatra Nawacita lain yang menyatakan menolak negara (menjadi) lemah
dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi
bermartabat dan tepercaya.
Dalam
konteks kedua gatra Nawacita ini terlihat pencapaian campur aduk pemerintahan
Jokowi-Kalla. Pada satu segi, pemerintahan mulai berhasil mengonsolidasikan
kekuasaannya melalui pergeseran perimbangan kekuatan koalisi antarpartai dan
antarfraksi di DPR. Ini misalnya dengan mendekatnya Partai Amanat Nasional yang
semula bergabung dengan Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat.
Namun, di
pihak lain, ada indikasi masalah di dalam Koalisi Indonesia Hebat, khususnya
PDI-P yang sering tidak sejalan dengan Presiden Jokowi.
Konsolidasi
demokrasi juga belum terlihat di lembaga perwakilan. Banyak anggota DPR masih
menampilkan kinerja mengecewakan; mereka lebih sibuk dengan usaha peningkatan
tunjangan dan insentif daripada legislasi. Karena itu sulit diharapkan mereka
dapat lebih berkontribusi untuk penguatan tata kelola negara-bangsa Indonesia
lebih baik.
Pada segi
lain, banyak warga merasa kecewa dan boleh jadi kian kehilangan harapan pada
Presiden ketika sampai pada upaya penciptaan tata kelola pemerintah bersih dan
bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Presiden Jokowi sejauh ini
cenderung belum sepenuhnya berpihak pada pemberantasan KKN sampai ke
akar-akarnya.
Sikap
Presiden itu terlihat ketika beberapa komisioner dan pegawai KPK dikriminalisasikan.
Selanjutnya, ketika sejumlah anggota DPR mengusulkan revisi UU KPK, yang
ironisnya diprakarsai kalangan PDI-P, Presiden hanya berhasil ”menegosiasi”
penundaan pembahasan dan tidak menghentikannya sama sekali.
Setelah
setahun pemerintahan Jokowi-Kalla, banyak warga merasakan lembaga penegak
hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, masih belum bersih dari
KKN dan pelanggaran hukum lain.
Gatra
politik Nawacita lain menyatakan maksud pemerintah Jokowi-Kalla memperteguh
kebinekaan memperkuat restorasi Indonesia melalui kebijakan memperkuat
pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Sejauh
ini upaya penguatan kebinekaan masih lebih merupakan jargon daripada kenyataan.
Kebinekaan semestinya dipahami sebagai ”bineka tunggal ika”, dan harus
dipandang secara integratif dengan UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Keempat
prinsip dasar itu merupakan faktor pemersatu dalam kehidupan
berbangsa-bernegara. Karena itu, peneguhan kebinekaan harus simultan dengan
penguatan keikaan dan sekaligus dengan ketiga faktor pemersatu lainnya.
Mempertimbangkan
pencapaian pemerintahan Jokowi-Kalla setahun ini, yang masih jauh dari harapan,
masa empat tahun ke depan masih tetap merupakan periode penuh tantangan. Pada
saat yang sama peluang besar untuk kinerja lebih tetap pula terbuka.
Berhasil
diatasi atau tidaknya tantangan itu banyak bergantung pada Presiden sendiri.
Secara internal pemerintahan, Presiden perlu membuat kabinet lebih kompak dan
tertib. Para menteri semestinya berorientasi semata pada pencapaian kinerja
daripada berpolemik sesama anggota kabinet di depan publik. Jika tidak, agaknya
tidak banyak kemajuan yang bisa diharapkan publik ke depan. []
KOMPAS,
20 Oktober 2015
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014
dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar