Selasa, 20 Oktober 2015

BamSoet: Setahun Nawacita



Setahun Nawacita
Oleh: Bambang Soesatyo

Sembilan program prioritas atau Nawacita seharusnya menjadi penunjuk arah pembangunan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Namun, tepat setahun usia pemerintahan kedua pemimpin itu, ke mana bangsa dan negara ini akan melangkah sama sekali tidak jelas. Jokowi-JK menawarkan Nawacita sebagai jalan perubahan, sekaligus melanjutkan semangat perjuangan serta cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Nawacita yang dijanjikan kedua pemimpin masih bisa dibaca pada berbagai dokumen publik. Ketika situasi negara aman dan terkendali seperti sekarang ini, perhatian publik tentu terfokus pada kinerja ekonomi pemerintah.

Pada dokumen Nawacita, target pembangunan ekonomi itu setindaknya tercantum pada poin 3 (Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan); poin 6 (Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa Asia lainnya); dan poin 7 (Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik).

Jokowi-JK coba merealisasikan komitmen membangun dari pinggiran (poin 3) dengan kebijakan alokasi Dana Desa sebesar Rp20 triliun pada 2015 ini. Namun, tentang peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing (poin 6), serta mewujudkan kemandirian ekonomi (poin 7) memang patut diperdebatkan.

Niat meningkatkan produktivitas dan daya saing sebenarnya sudah dimentahkan oleh Jokowi-JK sendiri, ketika keduanya menaikkan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) pada November 2014. Langkah ini menyebabkan biaya produksi naik. Dampak ikutannya adalah naiknya harga barang dan tarif jasa. Ketika upah tidak ikut dinaikkan, yang terjadi berikutnya adalah menurunnya konsumsi masyarakat.

Kalau biaya produksi tinggi, sangat sulit untuk memompa produktivitas masyarakat. Apalagi, suku bunga di dalam negeri pun masih terbilang sangat tinggi. Karena biaya produksi yang mahal itu, masyarakat enggan merealisasikan kegiatan-kegiatan produktif. Pertama, karena daya saingnya pasti rendah menghadapi produk impor. Kedua, tidak ada yang mau berspekulasi ketika permintaan pasar sedang lesu.

Karena itu, KUR (Kredit usaha rakyat) sekali pun tidak diminati komunitas pengusaha kecil. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi II dan III yang diumumkan baru-baru ini, Jokowi-JK coba menurunkan biaya produksi dalam negeri. Langkah yang dipilih adalah menurunkan harga energi.

Namun, keadaan sudah cukup memburuk. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah terjadi di berbagai sektor usaha. Lagi pula, upaya menurunkan biaya produksi itu tidak akan efektif jika tidak diikuti dengan penurunan suku bunga. Cita-cita Jokowi-JK mewujudkan kemandirian di bidang ekonomi (poin 7) mulai dipertanyakan. Pasalnya, pemerintahan sekarang ini benar-benar mengandalkan kekuatan asing.

Pada sejumlah proyek infrastruktur strategis, Jokowi-JK mengundang kehadiran modal asing. Dalam sejumlah lawatan keluar negeri, Presiden Jokowi lebih mengedepankan aspek promosi investasi dan mengundang modal asing. Hasilnya, China sudah memberi komitmen investasi hingga USD100 miliar (sekitar Rp1.300 triliun) untuk mendanai proyek infrastruktur di Indonesia.

China setidaknya sudah memenangkan dua proyek besar. Pertama, proyek pembangkit listrik hidro di Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Proyek pembangki t listrik senilai USD17,8 miliar ini berkapasitas 6.080 MW. Nota kesepahaman kerja sama proyek ini ditandatangani Presiden Jokowi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Beijing, November 2014.

Proyek kedua yang sempat heboh adalah kereta cepat Jakarta- Bandung. Proyek bernilai Rp73 triliun ini akan dibiayai oleh Bank Pembangunan China (CDB). China mengalahkan Jepang, karena Beijing mau memenuhi persyaratan yang diajukan Indonesia. Syarat itu tidak menggunakan APBN dan China tidak meminta jaminan dari pemerintah RI.

Dari perjalanannya ke Timur Tengah, Presiden juga mendapatkan komitmen investasi. Perusahaan minyak nasional Arab Saudi, Aramco, menunjukkan minat membangun kilang minyak di Indonesia senilai USD10 miliar.

Kabinet Bermasalah

Kalau nantinya akan begitu banyak modal asing yang mewarnai perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, Indonesia sesungguhnya tidak mandiri. Ekonomi Indonesia tumbuh dan berkembang berkat ikatan dengan modal asing. Ikatan itu tidak gratis. Kalau investasi China terpenuhi semua, akan ada belasan ribu pekerja China yang masuk Indonesia.

Di mana kemandirian ekonomi itu? Nawacita Jokowi-JK juga menjanjikan pemerintahan yang efektif. Janji itu terbaca pada poin 2 (Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan)

Fakta berbicara lain. Baru beberapa bulan memerintah, masyarakat sudah merasakan pemerintahan ini belum sepenuhnya efektif. Dalam konteks Nawacita, pemerintah dalam beberapa peristiwa telah mangkir dari tugas ”membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.”

Dalam pengelolaan kehidupan politik terkait kepartaian, terjadi campur tangan ala negara kekuasaan totaliter, seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly seakan tak mampu memahami kedudukannya, apakah orang partai yang subjektif ataukah pejabat pengelola kehidupan kepartaian yang objektif dalam suatu sistem politik yang demokratis.

Dalam bidang ekonomi, ada beberapa indikator yang menggambarkan rendahnya efektivitas itu. Mulai dari lonjakan harga beras pada periode Februari- Maret 2015 yang kemudian berlanjut dengan kelangkaan daging sapi pasca idul fitri tahun ini. Gambarannya semakin buruk ketika masyarakat melihat fakta tentang penyerapan anggaran yang sangat lamban, ditambah dengan faktor kejatuhan (depresiasi) rupiah yang membuat banyak orang cemas.

Dalam bidang ketatanegaraan, Presiden dan Wapres tampak keteteran. Kisruh KPK versus Polri yang berlarut-larut menumbuhkan kesan bahwa Presiden tidak mampu mengendalikan sepak terjang pimpinan beberapa institusi negara. Kesan ini kemudian terkonfirmasi oleh disharmoni anggota Kabinet Kerja, yang justru terjadi beberapa hari setelah reshuffle kabinet.

Menteri Koordinator mengkritik program yang menjadi prioritas Presiden. Sang Menko pun mendapat perlawanan dari para menteri dan seorang direktur BUMN. Ada menteri yang menantang Wapres berdebat. Dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport, para menteri kembali melancarkan perang kata-kata.

Apa yang sedang terjadi di tubuh Kabinet Kerja akhirakhir ini sungguh sulit dipahami dan kegaduhan pun tak terhindarkan. Semua ini menjadi tontonan masyarakat. Harap digarisbawahi oleh Presiden bahwa kali ini, kegaduhan itu justru bersumber dari Istana, tepatnya dari Kabinet Kerja yang dikomandani sendiri oleh Presiden Jokowi.

Wajar jika kemudian publik curiga, Istana tengah memainkan manajemen konflik karena kegaduhan itu dibiarkan berlarut-larut. Persoalannya bukan semata- mata siapa yang paling benar dan siapa yang salah.

Keprihatinan banyak kalangan lebih tertuju pada soal soliditas kabinet yang sudah barang tentu sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan Presiden Jokowi. Manajemen konflik di tubuh kabinet kerja bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada umumnya, dan dunia usaha pada khususnya.

Contohnya, dalam kasus proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Investor sempat ragu dan mempertanyakan kepastian tentang target daya. Soalnya, seorang menko mengatakan paling realistis untuk lima tahun ke depan adalah target 16.000 MW, sementara presiden bersikukuh pada target 35.000 MW.

Nawacita yang dijanjikan Jokowi-JK memang ideal sebagai penunjuk arah pembangunan nasional. Namun, beberapa fakta yang sudah tersaji di ruang publik dalam setahun belakangan ini melahirkan persepsi bahwa pembangunan nasional terkesan tanpa arah. []

Koran SINDO, 19 Oktober 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar