Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama
Oleh: Azyumardi Azra
Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama termasuk di antara
sejumlah kebebasan lain yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat bagi adanya
kebebasan beragama, yakni mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan agama.
Tetapi bagi sebagian kalangan di Eropa dan di Amerika Utara,
kebebasan berekspresi dan sejumlah kebebasan lain terlihat mengkhawatirkan.
Kasus terakhir yang sering dikutip adalah serangan beberapa Muslim terhadap
kantor majalah satiris Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu.
Menghadapi kejadian tidak menyenangkan ini, pertanyaannya adalah
apakah mungkin menjamin kebebasan berpendapat dan pada saat yang sama tetap
memberikan penghargaan kepada agama. Bagaimana demokrasi yang menjamin
kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang terkait satu sama lain dapat
berjalan lebih harmonis.
Masalah dan isu tentang peristiwa terkait dengan kejadian, wacana,
dan persepsi yang berkembang menjadi salah satu tema pokok dalam "Warsaw
Dialogue for Democracy (WDD)", Warsawa, Polandia (22-24/10/2015). Penulis
Resonansi ini mendapat kesempatan baik turut berbicara pada Panel III WDD tentang
"Freedom of Expression and Respect for Freedom of Religion or
Belief".
Menurut penulis, terkait peristiwa Charlie Hebdo dan sejumlah
kasus lain seperti kartun koran Denmark Jyllen Posten, Islam dan kaum Muslim
secara ngebyah uyah sering dipersepsikan di Barat sebagai dogmatis, tidak
toleran, dan tidak cocok dengan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan
kebebasan lain yang dinyatakan dalam DUHAM.
Persepsi ini tidak sepenuhnya salah. Banyak negara berpenduduk
mayoritas Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika memiliki catatan
buruk tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Tidak kurang
memprihatinkan, banyak negara Muslim, khususnya di dunia Arab, terus
menunjukkan defisit demokrasi. Gelombang demokrasi yang lazim disebut sebagai
Arab Spring (Musim Semi Arab) kini malah berganti dengan Arab
Winter (Musim Dingin Arab) ketika transisi dan konsolidasi demokrasi
terlihat kian menjauh.
Negara-negara ini sejak dari Libya, Mesir, Yaman atau Suriah terus
mengalami gejolak kekerasan dan perang --instabilitas politik yang
mengakibatkan eksodus pengungsi dari Suriah, Libya, Irak, dan Afghanistan ke
Eropa. Hanya Tunisia yang berhasil melakukan transisi damai dan konsolidasi
demokrasi.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan ajaran Alquran yang
menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Begitu juga dengan
praktik Nabi Muhammad SAW yang ketika menjadi pemimpin negara Madinah
menerapkan Piagam Madinah yang memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan
beragama kepada kaum Muslim maupun Yahudi --dengan demikian mencakup golongan
non-Muslim lain.
Lebih jauh, menurut penulis Resonansi ini di depan audiens WDD,
ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak teraktualisasinya kebebasan
berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan lain sesuai DUHAM, dan juga
merajalelanya defisit demokrasi di negara-negara tersebut.
Pertama adalah sistem politik. Sejak masa pasca-Perang Dunia II
banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim berada di bawah kekuasaan
otoritarianisme rezim-rezim militerisme, tribalisme, teokrasi, dan oligarki
keluarga. Sampai muncul gelombang demokrasi sejak akhir 2010, rezim-rezim
penguasa melakukan represi terhadap warganya.
Kekerasan atas nama negara mendapat tantangan dari aktor
nonnegara, yakni kelompok Islamis radikal yang melakukan aksi kekerasan dan
terorisme. Hasilnya adalah lingkaran kekerasan dan teror yang tidak bisa
dihentikan.
Faktor kedua adalah kuatnya sektarianisme agama, kabilah, dan
politik. Sektarianisme ini terjadi di antara sesama kaum Sunni atau sesama kaum
Syi’i atau di antara kaum Sunni umumnya dengan kaum Syi’i. Lingkaran
sektarianisme ini juga seolah tidak bisa diakhiri, bahkan sebaliknya meningkat
di Suriah dan Yaman. Masing-masing pihak didukung negara; golongan Sunni
didukung Arab Saudi dan Qatar khususnya, sedangkan kaum Syi’i didukung Iran.
Dalam keadaan seperti itu, faktor ketiga adalah absennya civil
society (masyarakat madani atau masyarakat sipil) yang mutlak untuk
menjadi kekuatan pengimbang dan sekaligus sebagai mediasi antara negara dan
masyarakat luas. Civil society telah sepenuh dikooptasi negara dan
tercerai berai.
Tidak ada cara instan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika
kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama dan demokrasi bisa berjaya,
konsolidasi demokrasi menjadi keharusan --meski memerlukan waktu lama. Begitu
juga revitalisasi masyarakat madani mutlak dilakukan.
Tak kurang pentingnya adalah mengurangi sektarianisme agama dengan
mengembangkan Islam wasathiyah --Islam jalan tengah yang inklusif, akomodatif,
dan toleran baik intra-Islam maupun antaragama.
Dalam sesi penutup, Mr Wojciech Ponikiewski, direktur untuk Urusan
PBB dan HAM Kemenlu Polandia menyimpulkan, kebebasan berekspresi seyogianya
terus dijaga bersamaan dengan penguatan rasa hormat kepada agama. Karena itu,
penggunaan kebebasan berekspresi untuk melecehkan agama merupakan tindakan
kontraproduktif. []
REPUBLIKA, 29 Oktober 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar