Kamis, 01 Oktober 2015

Buya Syafii: Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (II)



Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Angka-angka dan kecenderungan politik berikut ini akan menolong kita untuk lebih memahami lebih dekat kompleksitas krisis Suriah ini. Penduduk Suriah berjumlah 23 juta terdiri dari Suni Arab 60 persen, Arab-Alawiyin 12 persen (al-Assad berada dalam kelompok ini), Suni-Kurdi 9 persen, Kristen Ortodoks 9 persen, Kristen Armenia 4 persen, Druz Arab 3 persen, Arab-Ismaili 2 persen, dan etnis Turki-Sirkasia-Yahudi-Yunani 1 persen.

Peta ini menggambarkan bahwa jumlah golongan Suni (Arab dan Kurdi) adalah 69 persen. Faksi Suni ini sebagian melawan rezim al-Assad, sebagian yang lain mendukung berdasarkan kepentingan dan keamanan masing-masing. Kelompok Alawiyun juga tidak semua sebagai pendukung rezim al-Assad, bahkan ada yang melawannya.

Di antara tokoh Alawiyun pembangkang adalah artis Suriah, Fadwa Soliman, yang pusat perlawanannya ada di Kota Homs. Penduduk Kristen sebagian mendukung al-Assad demi perlindungan yang mereka dapatkan karena takut terhadap kaum Salafi yang muncul di era Musim Semi Arab yang bisa mengancam mereka. Sebagian yang lain menjadi kelompok oposisi yang bergabung dengan Free Syrian Army (Tentara Suriah Merdeka) yang Kristen.

Kelompok Salafi yang Suni bahkan mengatakan bahwa kaum Alawiyun adalah kafir. Sikap Suni-Kurdi berdiri sebagai golongan ketiga yang tidak aktif mendukung atau melawan pemerintah. Mereka telah memiliki semacam otonomi di wilayah Suriah utara dan timur laut. Faksi Druz yang kecil yang tinggal di selatan Provinsi Sweida bersikap oposisi terhadap rezim al-Assad.

Etnik Turki Suriah umumnya berada di belakang kaum pemberontak. Kemudian ada pula sekitar 500 ribu Suni-Palestina-Arab di Suriah. Mereka terbelah: pendukung rezim atau menjadi bagian dari kelompok perlawanan.

Demikian rumitnya peta krisis Suriah ini. Sektarianisme telah semakin krisis yang semula dipicu oleh cita-cita kebebasan yang murni melawan sistem politik otoritarian al-Assad. Saya tidak punya catatan terperinci tentang persentase para pengungsi yang berasal dari berbagai kelompok dan sekte di atas.

Yang jelas, semua pengungsi adalah manusia menderita yang minta ditolong, tidak peduli apa latar belakang mereka. Dari sisi inilah kita menilai sikap negara-negara Arab yang kaya minyak, tetapi mengunci pintu untuk para pengungsi sebagai sesuatu yang tidak beradab. Negara-negara yang telah menampung para pengungsi adalah Turki sebanyak 1.939.999, jiwa, negara kecil Lebanon 1.172.753, Irak 249.726, Yordania 629.245, dan Mesir 132.375. Adapun Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab: nol. Menurut beberapa sumber dan sudah menerima beberapa pengungsi, menurut sumber yang lain, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Angka-angka untuk Eropa: Jerman 105 ribu jiwa, Inggris 5.102, Prancis 500, dan Yunani 88.204. Swedia 40 ribu, Austria 18 ribu, Armenia 17 ribu, Italia 4.600, Bulgaria 4.500, Rumania 1.300, Polandia 150. Kemudian untuk negara Barat lainnya, Amerika Serikat 1.500, Kanada 2.374. Untuk Amerika Latin, Brasil 2.077, Kolombia 100, Uruguay 100, Meksiko 30.

Hingga 29 Agustus 2015, pengungsi yang terdaftar pada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) atau Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, sejumlah 4.088.078. Rakyat Suriah yang tewas sejak Maret 2011 lebih dari 220 ribu. Cobalah tuan dan puan bayangkan, sekiranya pengungsi Indonesia yang berserakan di berbagai belahan dunia akibat perang saudara, misalnya, apa yang bisa kita perbuat dan katakan, kecuali merintih, meraung, dan putus asa. Mungkin dari perspektif inilah Bung Karno dulu tidak melakukan perlawanan saat tentara dan kekuatan sipil bersama-sama mendongkel posisi kepresidenannya.

Sebab, jika dia hanya memikirkan kedudukannya dan memberikan perlawanan, pendukungnya di kalangan sipil masih cukup banyak, di samping dukungan Angkatan Laut, terutama KKO dan Angkatan Udara. Tetapi pasti akibatnya perang saudara dengan korban yang tak terhingga akan meledak. Bung Karno tidak rela jika Indonesia berantakan.

Al-Assad tidak mau belajar dari Bung Karno. Demi kekuasaan, dia tega melihat Suriah menjadi abu dan berlumur darah, sementara negara-negara Arab yang kaya lebih suka sebagai penonton.

Oleh sebab itu, dengan belajar dari krisis Suriah, kita rakyat Indonesia wajib menjaga keutuhan bangsa, dan pemimpin kita jangan berlagak pilon. Jika kita tidak pandai-pandai memelihara dan menjaga bangsa ini, tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan tetap utuh untuk selama-lamanya. Percikan api neraka Suriah jangan sampai menjalar ke bagian dunia lainnya. Semoga. []

REPUBLIKA, 29 September 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar