Komitmen Memerangi Korupsi
Oleh: Bambang Soesatyo
PERGANTIAN Kabareskrim Polri menjadi sangat relevan untuk
mempertanyakan sikap dan posisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam
memerangi korupsi. Kemauan politik presiden-wakil presiden harus tercermin
dalam ketegasan pemerintahan dan rakyat melihat nyata. Dalam perang melawan
korupsi, pemerintah tak boleh ambivalen. Kegaduhan yang disulut oleh isu rotasi
perwira tinggi di Mabes Polri sudah berakhir.
Sebelumnya muncul anggapan bahwa rotasi perwira tinggi tersebut
tidak akan terjadi bila tidak ada insiden menyeusul penggeledahan oleh
Bareskrim di kantor PT Pelindo II, belum lama ini. Penggeledahan itu bukanlah
insiden melainkan bagian dari proses penegakan hukum. Penggeledahan menimbulkan
insiden karena reaksi berlebihan yang dipertontonkan pemerintah.
Reaksi pertama tercemin dari dialog terbuka via telepon seluler
antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil dan Dirut Pelindo II, RJ
Lino. Reaksi berlebihan berikutnya terjadi ketika Wapres Jusuf Kalla
menghubungi Kabareskrim (saat itu) Komjen Budi Waseso.
Kepada Buwas, Kalla minta penjelasan mengenai duduk persoalan yang
menjadi dasar Bareskrim menggeledah kantor Pelindo. Kalla juga minta tidak ada
pemidanaan terhadap kebijakan korporasi. Ultimatum Lino juga dinilai tidak
etis, yakni ketika ia terkejut karena kantornya digeledah.
Lantas siapa yang membuat gaduh? Jelas bukan peristiwa
penggeledahan tersebut melainkan reaksi berlebihan pemerintah terhadap
penggeledahan itu. Kasus itu mulai diselidiki setelah Presiden Joko Widodo
marah karena dwelling time di Tanjng Priok masih terbilang lama.
Setelah mendalami kasus itu, Bareskrim menyinyalir terjadinya praktik
pencucian uang pada kasus dugaan korupsi dalam pengadaan 10 unit crane pemindah
peti kemas. Polisi pun sudah memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan tersangka.
Masalah dwell time itulah yang merusak perekonomian nasional
karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Benih keraguan atas komitmen Presiden
itu sudah muncul, dan kasus pencopotan Komjen Buwas hanya melengkapi benih
keragu-raguan itu.
Misalnya pemerintahan Joko Widodo berasumsi bahwa penghapusan
remisi untuk terpidana korupsi adalah tindakan diskriminatif. Untuk menghapus
kesan diskrimasi itu, remisi bagi terpidana korupsi diberikan walaupun harus
selektif.
Berangkat dari asumsi itu, Menkumham Yasonna H Laoly pun
melonggarkan syarat pemberian remisi kepada koruptor. Maka, berkait HUT Ke-70
RI, kementeriannya memberikan remisi kepada 1.938 dari 2.786 narapidana kasus
korupsi.
Perhatian Publik
Beberapa di antaranya adalah narapidana kasus korupsi yang cukup
menjadi perhatian publik. Antara lain, terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan;
terpidana kasus penerima suap di lingkungan SKK Migas Deviardi, terpidana kasus
wisma atlet Muhammad Nazaruddin dan terpidana kasus korupsi PLTS Kemenakertrans
Neneng Sriwahyuni.
Apa yang dilakukan Menteri Yasonna jelas-jelas mempertontonkan
ambivalensi , terutama bila dikaitkan dengan upaya pencapaian target perang
melawan korupsi dan urgensi mengenai efek jera. Kelonggaran syarat remisi itu
sudah pasti diterima sebagai kabar suka cita oleh terpidana korupsi yang kini
mendekam di penjara. Lebih dari itu, kelonggaran mendapatkan remisi itu pun
akan ditanggapi sebagai tantangan oleh calon koruptor maupun koruptor yang
belum terjerat.
Mereka akan makin berani korupsi. Asumsinya, kalau terjerat dan
dihukum, bukankah nantinya mendapatkan remisi? Efek jera bagi koruptor dengan
sendirinya sudah dihilangkan oleh kelonggarkan syarat remisi bagi mereka.
Demi tumbuhnya efek jera, Presiden Joko Widodo seharusnya
memerintah Menkumham Yasonna untuk patuh pada PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Cukup dengan
cara seperti, rakyat akan percaya pada komitmen Presiden dalam memerangi
korupsi. []
SUARA MERDEKA, 5 Oktober 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi
III DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar