Rabu, 07 Oktober 2015

BamSoet: Komitmen Memerangi Korupsi



Komitmen Memerangi Korupsi
Oleh: Bambang Soesatyo

PERGANTIAN Kabareskrim Polri menjadi sangat relevan untuk mempertanyakan sikap dan posisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam memerangi korupsi. Kemauan politik presiden-wakil presiden harus tercermin dalam ketegasan pemerintahan dan rakyat melihat nyata. Dalam perang melawan korupsi, pemerintah tak boleh ambivalen. Kegaduhan yang disulut oleh isu rotasi perwira tinggi di Mabes Polri sudah berakhir.

Sebelumnya muncul anggapan bahwa rotasi perwira tinggi tersebut tidak akan terjadi bila tidak ada insiden menyeusul penggeledahan oleh Bareskrim di kantor PT Pelindo II, belum lama ini. Penggeledahan itu bukanlah insiden melainkan bagian dari proses penegakan hukum. Penggeledahan menimbulkan insiden karena reaksi berlebihan yang dipertontonkan pemerintah.

Reaksi pertama tercemin dari dialog terbuka via telepon seluler antara Menteri PPN/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil dan Dirut Pelindo II, RJ Lino. Reaksi berlebihan berikutnya terjadi ketika Wapres Jusuf Kalla menghubungi Kabareskrim (saat itu) Komjen Budi Waseso.

Kepada Buwas, Kalla minta penjelasan mengenai duduk persoalan yang menjadi dasar Bareskrim menggeledah kantor Pelindo. Kalla juga minta tidak ada pemidanaan terhadap kebijakan korporasi. Ultimatum Lino juga dinilai tidak etis, yakni ketika ia terkejut karena kantornya digeledah.

Lantas siapa yang membuat gaduh? Jelas bukan peristiwa penggeledahan tersebut melainkan reaksi berlebihan pemerintah terhadap penggeledahan itu. Kasus itu mulai diselidiki setelah Presiden Joko Widodo marah karena dwelling time di Tanjng Priok masih terbilang lama.

Setelah mendalami kasus itu, Bareskrim menyinyalir terjadinya praktik pencucian uang pada kasus dugaan korupsi dalam pengadaan 10 unit crane pemindah peti kemas. Polisi pun sudah memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan tersangka.

Masalah dwell time itulah yang merusak perekonomian nasional karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Benih keraguan atas komitmen Presiden itu sudah muncul, dan kasus pencopotan Komjen Buwas hanya melengkapi benih keragu-raguan itu.

Misalnya pemerintahan Joko Widodo berasumsi bahwa penghapusan remisi untuk terpidana korupsi adalah tindakan diskriminatif. Untuk menghapus kesan diskrimasi itu, remisi bagi terpidana korupsi diberikan walaupun harus selektif.

Berangkat dari asumsi itu, Menkumham Yasonna H Laoly pun melonggarkan syarat pemberian remisi kepada koruptor. Maka, berkait HUT Ke-70 RI, kementeriannya memberikan remisi kepada 1.938 dari 2.786 narapidana kasus korupsi.

Perhatian Publik

Beberapa di antaranya adalah narapidana kasus korupsi yang cukup menjadi perhatian publik. Antara lain, terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan; terpidana kasus penerima suap di lingkungan SKK Migas Deviardi, terpidana kasus wisma atlet Muhammad Nazaruddin dan terpidana kasus korupsi PLTS Kemenakertrans Neneng Sriwahyuni.

Apa yang dilakukan Menteri Yasonna jelas-jelas mempertontonkan ambivalensi , terutama bila dikaitkan dengan upaya pencapaian target perang melawan korupsi dan urgensi mengenai efek jera. Kelonggaran syarat remisi itu sudah pasti diterima sebagai kabar suka cita oleh terpidana korupsi yang kini mendekam di penjara. Lebih dari itu, kelonggaran mendapatkan remisi itu pun akan ditanggapi sebagai tantangan oleh calon koruptor maupun koruptor yang belum terjerat.

Mereka akan makin berani korupsi. Asumsinya, kalau terjerat dan dihukum, bukankah nantinya mendapatkan remisi? Efek jera bagi koruptor dengan sendirinya sudah dihilangkan oleh kelonggarkan syarat remisi bagi mereka.

Demi tumbuhnya efek jera, Presiden Joko Widodo seharusnya memerintah Menkumham Yasonna untuk patuh pada PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Cukup dengan cara seperti, rakyat akan percaya pada komitmen Presiden dalam memerangi korupsi. []

SUARA MERDEKA, 5 Oktober 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi III DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar