Kamis, 22 Oktober 2015

Berpolitik Sambil Memegang Tasbih di Tahun 1952



Berpolitik Sambil Memegang Tasbih


Keluarnya NU dari Masyumi pada tahun 1952 bukan saja karena tidak mendapatkan jatah kursi dalam Kabinet Wilopo, terutama Menteri Agama yang selama ini menjadi andalan NU. Ada hal lain yang lebih menyakitkan dari itu.

Kira-kira dua tahun sebelumnya, dalam Kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta, Muhammad Saleh, Wali Kota Gudeg yang juga tokoh Masyumi menyindir para kiai dengan mengatakan bahwa urusan politik tidak bisa dibicarakan sambil memegang-megang tasbih. Katanya, masalah politik lebih luas dari pada sekeliling pondok pesantren.

Ucapan itu ditanggapi serius oleh para tokoh NU. Bahkan Delegasi NU pada saat itu sontak mengajukan protes dan mendesak ucapan itu ditarik kembali. Karena Muhammad Saleh berkelit, 30-an anggota delegasi NU pun keluar dari ruang Kongres.

Pelecehan terhadap ulama yang mewakili NU pada jabatan politik memang menyakitkan. Para lawan politik NU meremehkan para kiai dan santri yang berpolitik lantaran tidak mengenyam pendidikan formal warisan Belanda. Memang setelah diberlakukan Politik Etis dimana pemerintah kolonial “berpura-pura” memperhatikan pendidikan kaum pribumi, para kiai dan kaum pesantren tetap memerankan diri sebagai pihak oposisi dan lebih memilih jalur pendidikan pesantren.

Puncaknya pada tahun 1952 itu, KH Idham Chalid mengungkapkan kekesalannya atas seseorang berlatarbelakang pendidikan MULO (SLTP) Belanda. Orang tersebut mengataakan, seorang lulusan HIS (SD Belanda) masih unggul ketimbang lulusan Tsanawiyah (setara SLTP).

Di Masyumi sendiri dalam perkembangannya, setelah tahun 1949, kedudukan Majelis Syuro yang diisi oleh para kiai tadinya merupakan badan legislatif partai diubah menjadi sekedar penasihat saja. H Zainul Arifin yang dalam Muktamar NU di Palembang 1 Mei 1952 sebagai terpilih sebagai anggota Dewan Presedium PBNU dan kemudian memimpin Delegasi NU keluar dari Masyumi geram mengatakan: “Majelis syuro yang didominasi ulama NU ibarat cincin permata bagi Masyumi, yang hanya dikenakan jika pergi pesta, dan ketika tidak digunakan pasti disimpan lagi di laci terkunci.”

Orang-orang lulusan sekolah Belanda, termasuk kelompok Islam modernis melecehkan kemampuan para lulusan pesantren. Kelompok Natsir terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya dengan gaya tradisional dari para kiai dengan menyebut kiai “tidak sejalan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.”

Ketika resmi keluar dari Masyumi tahun 1952 itu dan menyiapkan “gerbong politik sendiri” para elit Masyumi gamang. Berbagai propaganda dilontarkan. NU dikatakan sebagai kelompok ekstrim kanan dan memecah-belah persatuan umat Islam.

Namun pada Pemilu 1955 NU tampil percaya diri sebagai perwakilan kelompok muslim tradisional, dan nyatanya suara NU sangat lumayan. NU menjadi salah satu pemenang Pemilu. []

(A. Khoirul Anam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar