Berpolitik Sambil
Memegang Tasbih
Keluarnya NU dari
Masyumi pada tahun 1952 bukan saja karena tidak mendapatkan jatah kursi dalam
Kabinet Wilopo, terutama Menteri Agama yang selama ini menjadi andalan NU. Ada
hal lain yang lebih menyakitkan dari itu.
Kira-kira dua tahun
sebelumnya, dalam Kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta, Muhammad Saleh,
Wali Kota Gudeg yang juga tokoh Masyumi menyindir para kiai dengan mengatakan
bahwa urusan politik tidak bisa dibicarakan sambil memegang-megang tasbih.
Katanya, masalah politik lebih luas dari pada sekeliling pondok pesantren.
Ucapan itu ditanggapi
serius oleh para tokoh NU. Bahkan Delegasi NU pada saat itu sontak mengajukan
protes dan mendesak ucapan itu ditarik kembali. Karena Muhammad Saleh berkelit,
30-an anggota delegasi NU pun keluar dari ruang Kongres.
Pelecehan terhadap
ulama yang mewakili NU pada jabatan politik memang menyakitkan. Para lawan
politik NU meremehkan para kiai dan santri yang berpolitik lantaran tidak
mengenyam pendidikan formal warisan Belanda. Memang setelah diberlakukan
Politik Etis dimana pemerintah kolonial “berpura-pura” memperhatikan pendidikan
kaum pribumi, para kiai dan kaum pesantren tetap memerankan diri sebagai pihak
oposisi dan lebih memilih jalur pendidikan pesantren.
Puncaknya pada tahun
1952 itu, KH Idham Chalid mengungkapkan kekesalannya atas seseorang
berlatarbelakang pendidikan MULO (SLTP) Belanda. Orang tersebut mengataakan,
seorang lulusan HIS (SD Belanda) masih unggul ketimbang lulusan Tsanawiyah
(setara SLTP).
Di Masyumi sendiri
dalam perkembangannya, setelah tahun 1949, kedudukan Majelis Syuro yang diisi
oleh para kiai tadinya merupakan badan legislatif partai diubah menjadi sekedar
penasihat saja. H Zainul Arifin yang dalam Muktamar NU di Palembang 1 Mei 1952
sebagai terpilih sebagai anggota Dewan Presedium PBNU dan kemudian memimpin
Delegasi NU keluar dari Masyumi geram mengatakan: “Majelis syuro yang
didominasi ulama NU ibarat cincin permata bagi Masyumi, yang hanya dikenakan
jika pergi pesta, dan ketika tidak digunakan pasti disimpan lagi di laci
terkunci.”
Orang-orang lulusan
sekolah Belanda, termasuk kelompok Islam modernis melecehkan kemampuan para
lulusan pesantren. Kelompok Natsir terang-terangan mengungkapkan
ketidaksukaannya dengan gaya tradisional dari para kiai dengan menyebut kiai
“tidak sejalan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.”
Ketika resmi keluar
dari Masyumi tahun 1952 itu dan menyiapkan “gerbong politik sendiri” para elit
Masyumi gamang. Berbagai propaganda dilontarkan. NU dikatakan sebagai kelompok
ekstrim kanan dan memecah-belah persatuan umat Islam.
Namun pada Pemilu
1955 NU tampil percaya diri sebagai perwakilan kelompok muslim tradisional, dan
nyatanya suara NU sangat lumayan. NU menjadi salah satu pemenang Pemilu. []
(A. Khoirul Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar