Perkawinan
Oleh: M. Quraish Shihab
Ada
naluri dalam diri makhluk yang mendorongnya untuk “bertemu” dengan pasangannya.
Ia merupakan desakan yang menggelisahkan bila dibendung, tetapi mengakibatkan
mudharat bila disalurkan tanpa aturan. Dari sini, Islam sebagai agama fitrah
(QS. ar-Rûm [30]: 30), memberi aneka tuntunan tentang perkawinan.
Ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud melakukan
beberapa kegiatan yang tidak sejalan dengan fitrah, antara lain enggan menikah,
Nabi saw. menegur dengan menyatakan bahwa: Nikah adalah sunahku, dan siapa
yang tidak senang mengikuti sunahku maka dia tidak termasuk umatku.
Maksud beliau, keterikatan dalam hubungan suami istri adalah salah
satu cara hidup beliau, maka siapa yang mengekang dorongan seksualnya
sehingga tidak menyalurkannya melalui pernikahan yang sah, demikian juga yang
bermaksud meraih kebebasan memenuhi dorongan itu tanpa pernikahan yang sah,
maka dia tidak termasuk kelompok umat Islam.
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Ketentuan Allah menyangkut
hal ini bukan saja tecermin pada ketetapan-Nya tentang siapa yang boleh dan
tidak boleh dinikahi, atau rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan-Nya, tetapi
bahkan dalam redaksi yang digunakan dalam akad. Nabi saw. bersabda sebagai
pesan kepada calon suami, “Saling wasiat-mewasiatilah menyangkut perempuan
(istri) karena kalian menerimanya dengan amanat dari Allah dan menjadi halal
hubungan kalian dengan kalimat Allah.”
Hanya dua kalimat yang digunakan Allah dalam kitab suci al-Qur’an
untuk menggambarkan perkawinan yang sah. Yaitu nikâh yang makna
dasarnya adalah “penyatuan” dan zawâj yang berarti “keberpasangan”.
Dengan nikah diharapkan jiwa raga, cita-cita dan
harapan, serta upaya dan kesungguhan suami istri menyatu karena mereka
telah dinikahkan. Tetapi penyatuan itu bukan peleburan, karena masing-masing
memiliki “aku”/ kepribadian dan identitasnya sehingga pada hakikatnya mereka
menjadi pasangan yang tidak dapat berfungsi, kecuali bila bersama
pasangannya.
Dari sini juga Islam menuntun agar pasangan memiliki kesetaraan
demi mempermudah, bahkan mewujudkan penyatuan dan keberpasangan itu. Kesetaraan
itu antara lain dalam agama dan pandangan hidup, tingkat pendidikan dan budaya,
bahkan status sosial dan usia. Di sisi lain musyawarah diperintahkan-Nya bukan
saja dalam kehidupan keluarga besar—bangsa—(QS. asy-Syûrâ [42]: 38), tetapi
juga keluarga kecil—suami isteri—(QS. al-Baqarah [2]: 233). Bagaimana mungkin
musyawarah akan “nyambung” jika kesetaraan tidak wujud?
Apabila nikâh dan zawâj yang dimaksud telah
terpenuhi, maka ketika itu akan lahir sakînah yang merupakan tujuan
akhir dari setiap perkawinan.
Sakinah adalah ketenangan yang didahului oleh gejolak.
Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan
membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan.
Karena alasan-alasan inilah maka manusia kawin, berkeluarga, bahkan
bemasyarakat dan berbangsa. Jika demikian, keberpasangan manusia bukan hanya
didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih daripada itu. Ia adalah
dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu didambakan
oleh suami setiap saat, termasuk saat dia meninggalkan rumah dan anak istrinya,
dan dibutuhkan pula oleh istri, lebih-lebih saat suami meninggalkannya keluar
rumah.
Bahwa sakinah harus didahului oleh gejolak, menunjukkan
bahwa ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap
rumah tangga ada saat-saat di mana gejolak, bahkan kesalahpahaman dapat
terjadi, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. Ia
tertanggulangi bila agama, yakni tuntunan-tuntunannya, dipahami dan dihayati
oleh anggota keluarga, atau dengan kata lain, bila agama berperan dengan baik
dalam kehidupan keluarga. Demikian, wa Allah A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar