Rabu, 21 Oktober 2015

Quraish Shihab: Perkawinan



Perkawinan
Oleh: M. Quraish Shihab

Ada naluri dalam diri makhluk yang mendorongnya untuk “bertemu” dengan pasangannya. Ia merupakan desakan yang menggelisahkan bila dibendung, tetapi mengakibatkan mudharat bila disalurkan tanpa aturan. Dari sini, Islam sebagai agama fitrah (QS. ar-Rûm [30]: 30), memberi aneka tuntunan tentang perkawinan.

Ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud melakukan beberapa kegiatan yang tidak sejalan dengan fitrah, antara lain enggan menikah, Nabi saw. menegur dengan menyatakan bahwa: Nikah adalah sunahku, dan siapa yang tidak senang mengikuti sunahku maka dia tidak termasuk umatku. 

Maksud beliau, keterikatan dalam hubungan suami istri adalah salah satu cara hidup beliau, maka siapa yang mengekang  dorongan seksualnya sehingga tidak menyalurkannya melalui pernikahan yang sah, demikian juga yang bermaksud meraih kebebasan memenuhi dorongan itu tanpa pernikahan yang sah,  maka dia tidak termasuk kelompok umat Islam.

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Ketentuan Allah menyangkut hal ini bukan saja tecermin pada ketetapan-Nya tentang siapa yang boleh dan tidak boleh dinikahi, atau rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan-Nya, tetapi bahkan dalam redaksi yang digunakan dalam akad. Nabi saw. bersabda sebagai pesan kepada calon suami, “Saling wasiat-mewasiatilah menyangkut perempuan (istri) karena kalian menerimanya dengan amanat dari Allah dan menjadi halal hubungan kalian dengan kalimat Allah.”

Hanya dua kalimat yang digunakan Allah dalam kitab suci al-Qur’an untuk menggambarkan perkawinan yang sah. Yaitu nikâh yang makna dasarnya adalah “penyatuan” dan zawâj yang berarti “keberpasangan”.

Dengan nikah diharapkan jiwa raga, cita-cita dan harapan, serta upaya dan kesungguhan suami istri menyatu karena mereka telah dinikahkan. Tetapi penyatuan itu bukan peleburan, karena masing-masing memiliki “aku”/ kepribadian dan identitasnya sehingga pada hakikatnya mereka menjadi pasangan yang tidak dapat berfungsi, kecuali bila bersama pasangannya.

Dari sini juga Islam menuntun agar pasangan memiliki kesetaraan demi mempermudah, bahkan mewujudkan penyatuan dan keberpasangan itu. Kesetaraan itu antara lain dalam agama dan pandangan hidup, tingkat pendidikan dan budaya, bahkan status sosial dan usia. Di sisi lain musyawarah diperintahkan-Nya bukan saja dalam kehidupan keluarga besar—bangsa—(QS. asy-Syûrâ [42]: 38), tetapi juga keluarga kecil—suami isteri—(QS. al-Baqarah [2]: 233). Bagaimana mungkin musyawarah akan “nyambung” jika kesetaraan tidak wujud?

Apabila nikâh dan zawâj yang dimaksud telah terpenuhi, maka ketika itu akan lahir sakînah yang merupakan tujuan akhir dari setiap perkawinan.

Sakinah adalah ketenangan yang didahului oleh gejolak. Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan memban­tunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah maka manusia kawin, berkeluarga, bahkan bemasyarakat dan berbangsa. Jika demikian, keberpasangan manusia bukan hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih daripada itu. Ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu didambakan oleh suami setiap saat, termasuk saat dia meninggalkan rumah dan anak istrinya, dan dibutuhkan pula oleh istri, lebih-lebih saat suami meninggalkannya keluar rumah.

Bahwa sakinah harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat-saat di mana gejolak, bahkan kesalahpahaman dapat terjadi, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. Ia tertanggulangi bila agama, yakni tuntunan-tuntunannya, dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga, atau dengan kata lain, bila agama berperan dengan baik dalam kehidupan keluarga. Demikian, wa Allah A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar