Kamis, 30 September 2021

(Do'a of the Day) 23 Safar 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbanaa wa si'ta kulla syai-in rahmatan wa'ilman faghfir lilladziina taabuu wattaba'uu sabiilaka waqihim 'adzaabal jahiimi.

 

Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.

 

Juz 24, QS. Al Mu'min (40) ayat 7.

Guntur: Anatomi Pindah Ibu Kota

Anatomi Pindah Ibu Kota

Oleh: Guntur Soekarno

 

SEPANJANG sejarah Republik Indonesia, pindahnya ibu kota negara, baru sekali yaitu ke Yogyakarta pada tahun 1946, tanggal 3 Januari. Mengapa harus pindah? Menurut penuturan Komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Mangil Martowidjojo, karena situasi di Jakarta tidak kondusif lagi bagi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

 

Terutama setelah masuknya NICA (Netherlands-Indies Civil Administration/Pasukan Kolonialis Belanda), yang mendompleng pasukan Sekutu yang masuk ke Indonesia. Rombongan Bung Karno ke Yogyakarta dikawal oleh Mangil beserta rekannya yang berjumlah 14 orang. Berangkat dari kediaman Pegangsaan Timur 56, melalui Jalan Bonang lanjut ke halaman belakang di mana Kereta Api Luar Biasa (KLB) sudah siap untuk berangkat ke Yogyakarta sekitar pukul 18.00.

 

Selain rombongan Bung Karno, ternyata KLB mengangkut juga tumpangan istimewa, yaitu 2 mobil kepresidenan merek Buick 7 seat warna hitam dan De-Soto warna kuning. Seluruh rombongan tiba dengan selamat di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pagi hari.

 

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pihak kolonialis Belanda pada tahun 1949, ibu kota Republik kembali pindah ke Jakarta. Pada tahun 60-an Bung Karno, yang mempunyai daya analisis sangat kuat sehingga mampu melakukan forseeingahead ke depan, sudah menyimpulkan bahwa ibu kota Republik Indonesia di kemudian hari harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Mengingat Jakarta secara geografis dan geopolitik sudah tidak akan mampu lagi menanggung beban pertambahan penduduk yang sangat cepat dan fungsinya harus diubah menjadi kota khusus sosial politik.

 

Oleh sebab itu, Bung Karno tanpa terlalu berpikir formalistis yuridis memerintahkan agar ibu kota negara dipindahkan ke luar Jawa, yakni ke Kota Palangka Raya di Kalimantan. Atas perintah Presiden, perencanaan ibu kota baru segera dilaksanakan, dan setelah rampung dieksekusi pelaksanaannya.

 

Bung Karno sebagai presiden langsung terjun ke lapangan dan sebagai seorang sarjana sipil dan arsitek meninjau pelaksanaan di lapangan sehingga masterplan dan garis-garis besar pelaksanaannya sudah dapat terlaksana. Mobilisasi terhadap warga setempat juga dilaksanakan oleh Bung Karno secara pribadi. Termasuk untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Dayak setempat.

 

Ternyata, perpindahan ibu kota ke Palangka Raya mendapat dukungan penuh dari warga setempat, khususnya suku Dayak. Sebagai tanda dukungan dari suku Dayak, hampir setiap sebulan sekali mereka mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk bertukar pikiran dengan Presiden di Istana Merdeka. Mereka biasanya menginap di paviliun di samping Istana Negara Jakarta. Salah seorang utusan suku Dayak bernama Laura sudah kami anggap sebagai anggota keluarga, dan kami sapa dengan panggilan akrab Mbak Laura.

 

Namun sayang, pilihan Palangka Raya sebagai ibu kota Republik Indonesia di masa depan gagal. Karena, setelah Bung Karno memerintahkan dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata tanah di kawasan Palangka Raya merupakan tanah gambut yang tidak mungkin menahan beban bangunan pencakar langit yang rencananya akan dibangun di sana. Alhasil, Bung Karno terpaksa mengeluarkan keppres yang menyatakan Jakarta tetap menjadi ibu kota Republik Indonesia.

 

Kelanjutan rencana Bung Karno

 

Di era reformasi, ketika Joko Widodo menjadi Presiden RI, cita-cita Bung Karno untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan (Palangka Raya) ternyata juga menjadi gagasan dari Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Tapi bukan ke Palangka Raya seperti digagas Bung Karno, melainkan ke Kalimantan Timur.

 

Namun, untuk merealisasikan gagasannya itu, Presiden Jokowi perlu mendapat dukungan konkret dari partai-partai politik dan semua elemen masyarakat disertai payung hukum yang lebih kukuh berupa ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Karena, tanpa PPHN, tidak ada jaminan presiden terpilih tahun 2024 akan meneruskan gagasan pemindahan ibu kota negara tersebut di atas.

 

Menurut Wakil Ketua MPR Dr Ahmad Basarah, dukungan partai dan seluruh elemen masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR melakukan amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN (Dr Ahmad Basarah, Detiknews, 29 Agustus 2021). Jika kita ingin agar rencana pemindahan ibu kota negara berjalan keseluruhan hingga selesai, memang PPHN diperlukan. Tetapi, mengapa amendemen yang dilakukan hanya amendemen terbatas?

 

Lebih tepat dan lebih mantap bila amendemen yang dilakukan adalah amendemen total (menyeluruh) untuk kembali ke UUD asli, yaitu UUD Revolusi 45,yang jiwa dan semangatnya benar-benar bertujuan mendirikan suatu masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial atau masyarakat sosialis modern yang bersifat religius.

Di dalam UUD ‘45 yang asli tercantum perlu adanya GBHN, yang memberi arahan dan pedoman jangka panjang ke mana negara ini harus menuju. Ketika Bung Karno melontarkan gagasan pemindahan ibu kota, UUD ‘45 yang asli masih berlaku dan tidak diamendemen sehingga kedudukan hukumnya tegas dan jelas.

Pemindahan ibu kota negara, menurut Bung Karno diperlukan juga agar pusat kegiatan sosial politik dapat dipisahkan dari kegiatan dunia perdagangan sedemikian rupa sehingga Jakarta Raya dapat menjadi pusat perdagangan, begitu juga kota-kota seperti Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan Palembang dll.

 

Untuk menjadikan Palembang sebagai pusat perdagangan, khususnya perdagangan antarpulau, Bung Karno membangun jembatan yang saat itu dinamakan Jembatan Bung Karno. Jembatan tadi membentang di Sungai Musi, dengan bagian tengahnya dapat dinaikkan dan diturunkan melalui peralatan hidrolik. Dengan begitu, bila kapal-kapal dagang yang berukuran besar lalu-lalang di Sungai Musi, bagian tengah jembatan dapat dinaik-turunkan sesuai kebutuhan.

 

Sayang, sejak era Orde Baru, nama jembatan diganti menjadi Jembatan Ampera dan bagian tengahnya tidak berfungsi lagi karena rusak total. Hingga saat ini, kondisi tersebut tetap tidak berubah, Akibatnya kapal-kapal dagang berukuran besar tidak dapat lagi lalu-lalang di Sungai Musi, dan Palembang saat ini menjadi kota yang fungsinya campur aduk.

 

Dari peristiwa-peristiwa di atas, kita dapat memaklumi betapa pentingnya ibu kota negara harus dipindahkan ke luar Jawa, seperti rencana dari Presiden Jokowi, yaitu ke Kalimantan Timur, walaupun belum jelas di kota atau daerah mana. Apakah gagasan/rencana ini tepat bila dilaksanakan saat ini, di saat Indonesia sedang berperang melawan covid-19? Di samping itu, keadaan perekonomian masih sangat memprihatinkan.

 

Menurut kita kaum patriotis, hal tersebut masih dapat dimaklumi dan ditoleransi karena kita berpegang pada ajaran politik Bung Karno tentang Reform aksi dan Doels aksi, aksi kecil-kecilan dan aksi maksud tertinggi! (Soekarno: DBR-I). Contoh aksi kecil kecilan adalah pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digalakkan, pembangunan food estate termasuk pemindahan ibu kota negara. Adapun aksi maksud tertinggi adalah perang melawan setan siluman covid-19 dan rehabilitasi kondisi ekonomi. Oleh sebab itu, silakan go ahead untuk pindah ibu kota negara!! Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!! []

 

MEDIA INDONESIA, 23 September 2021

Guntur Soekarno | Pemerhati Sosial 

Azyumardi: Afghanistan: Kembalinya Taliban (5)

Afghanistan: Kembalinya Taliban (5)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Taliban telah membentuk pemerintahan (sementara?) Emirat Islam Afghanistan (7 September 2021). Banyak pemimpin negara dan kalangan masyarakat internasional kecewa dengan pemerintahan Taliban yang tidak inklusif.

 

Terdiri atas 33 jabatan puncak dan menteri, pemerintahan Taliban semua laki-laki; tidak ada wakil kaum perempuan. Rezim Taliban hampir semua dari suku Pashtun; semula tak ada pembagian kekuasaan dengan wakil suku atau kabilah Hazara, Turkish, Uzbek, atau Baluch.

 

Belakangan, direkrut wamen dari suku Hazara (etnis kedua terbesar, sekitar 20 persen dari penduduk Afghanistan). Secara keagamaan paham Taliban dari berbagai fraksi mendominasi; hampir tidak mencakup kelompok, mazhab, dan aliran lain.

 

Sebagian mereka pernah memegang jabatan tinggi pada pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001). Di antara generasi senior rezim Taliban Jiilid II, lima orang pernah ditahan di penjara Guantanamo atau masuk daftar hitam AS.

 

Sekitar 12 orang menteri, dari lapisan lebih muda yang tidak ikut pemerintahan Taliban Jilid I.

 

Dengan pemerintahan sementara Emirat Islam Afghanistan yang tidak inklusif, tampak sulit mewujudkan pemerintahan bersatu. Padahal, pemerintah diharapkan dapat membangun perdamaian berkelanjutan dan stabilitas politik.

 

Sejak Taliban membentuk pemerintahan interim (sementara) sampai sekarang, belum jelas arah langkah politik, sosial, budaya, dan agama yang mereka bakal tempuh.

 

Berbagai fenomena memperlihatkan gambaran bertolak belakang dengan pernyataan petinggi-petinggi Taliban ketika mereka mulai kembali menguasai Afghanistan; ada kabar positif, tapi juga ada gambaran suram.

 

Misalnya, pada satu pihak Taliban menyatakan, telah menguasai keamanan sepenuhnya, tetapi masih terjadi aksi penentangan.

 

Tampak budaya perang—bukan damai—tidak langsung tamat. Meski sporadis, ada kalangan warga atau kelompok suku atau kabilah Afghan yang berunjuk rasa damai terhadap Pemerintah Taliban atau melawan lewat aksi bersenjata.

 

Walau pemerintahan Taliban mengandung masalah, mereka harusnya dapat bekerja cepat menangani ekonomi yang terus memburuk. Keadaan ini bisa tambah parah karena tak lama lagi masuk musim gugur dan musim salju. 

 

PBB dan UNDP menyatakan, Afghanistan kini menghadapi kemiskinan universal—mencakup sebagian besar rakyatnya. Afghanistan telah di ambang atau tengah memasuki krisis kemanusiaan parah.

 

Meski pasar tradisional dan kedai sudah mulai buka dan pengunjung pasar terlihat ramai, pergerakan ekonomi berskala besar tidak terjadi. Ekonomi rakyat lebih merupakan kegiatan pasar bagi warga untuk bisa tetap menyintas.

 

Sementara itu, kegiatan ekonomi negara atau pemerintahan sangat minimal: kas negara kering karena banyak dibekukan; dulu pemasukan negara dan gerak ekonomi, terutama bersumber dari bantuan dan pembelanjaan berbagai lembaga internasional dan pemerintah asing.

 

Kontradiksi juga, misalnya terlihat di bidang pendidikan. Pada satu segi ada laporan, kampus perguruan tinggi dan sekolah atau madrasah mulai dibuka. Laporan juga menyatakan, mahasiswi perguruan tinggi diizinkan ikut kuliah walau mereka ditempatkan terpisah dari mahasiswa.

 

Namun, juga ada laporan sebaliknya dari sumber kredibel, pelajar perempuan belum diizinkan datang ke sekolah atau madrasah. Rezim Taliban menyebut bakal mengeluarkan ketentuan syari’iyah tentang pendidikan perempuan.

 

Juga ada laporan, perempuan boleh bekerja hanya pada pekerjaan yang tak tergantikan laki-laki. Selama pekerjaan tertentu bisa dikerjakan laki-laki, perempuan tidak diizinkan mengerjakan. Perempuan diarahkan bekerja mengurus rumah tangga dan keluarga.

 

Apakah ini pertanda Taliban akan sepenuhnya mengurung perempuan di ranah domestik seperti diterapkan pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001). Masih harus ditunggu perkembangan selanjutnya.

 

Sejauh ini, belum ada negara yang resmi mengakui, pemerintahan Emirat Islam Afghanistan. Qatar mungkin pengecualian. Sama dengan negara-negara lain, Qatar juga belum resmi mengakui pemerintahan Taliban Afghanistan.

 

Bedanya, Qatar Airways telah terbang ke Kabul, mengangkut juga warga Amerika atau Eropa yang belum terevakuasi pada tenggat 31 Agustus 2021.

 

Pemerintah Indonesia juga belum mengeluarkan pernyataan resmi. Bagaimana langkah pemerintah dan ormas Islam khususnya menyikapi perkembangan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban?

 

Pertanyaan ini penting diajukan mengingat Indonesia melalui beberapa pejabat tingginya dan ormas Islam adalah salah satu di antara sedikit pihak internasional, yang memiliki hubungan dan akses pada kalangan petinggi Taliban.

 

Pemerintah Indonesia sejak 2018 lewat Presiden Jokowi dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla aktif mengusahakan perdamaian antara pemerintah Presiden Ashraf Ghani dan Taliban.

 

Pak JK dan Menlu Retno Marsudi juga melakukan berbagai program kerja sama pendidikan dan pemberdayaan perempuan.

 

Kini, Indonesia perlu meningkatkan kembali upaya pembangunan perdamaian berkelanjutan di Afghanistan. Sangat sayang jika berbagai upaya yang telah dilakukan sebelumnya, lenyap tidak berbekas.  []

 

REPUBLIKA, 23 September 2021

(Ngaji of the Day) Bolehkah Mendhaifkan Hadits Shahih al-Bukhari-Muslim sebagaimana al-Albani?

Kontroversi Nashirudin al-Albani memang tak pernah berhenti diulas. Langkahnya yang gemar mengkritik dan mendhaifkan hadits shahih al-Bukhari dan shahih Muslim selalu menimbulkan hujatan dari para ulama. Bila kitab Shahih al-Bukhari sebagai kitab kumpulan hadits shahih terbaik saja beliau (al-Albani) ragukan keshahihannya, apalagi kitab-kitab kumpulan hadits lainnya?

 

Mari kita meneliti kembali “Bolehkah ulama kontemporer sebagaimana al-Albani berijtihad mendhaifkan dan menshahihkan hadits tanpa merujuk kepada pendapat ulama hadits terdahulu?”

 

Dalam ranah ini ada dua pendapat terkuat, yaitu:

 

Pertama, pintu penelitian (ijtihad) telah ditutup dan kita hanya boleh mengambil pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin) sebagai rujukan dalam menilai riwayat hadits. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Shalah, seorang tokoh besar ulama hadits dari abad keenam Hijriah. Pendapat itu beliau pegang karena alasan menurunnya kualitas para pelajar ilmu hadits di masanya dalam segi hafalan, keahlian, serta ketelitian dalam menilai derajat hadits.

 

“Ketika kita menemukan sebuah hadits dalam nukilan-nukilan kitab dengan sanad yang berderajat shahih—tetapi kita tidak menemukan hadits serupa dalam Shahih al-Bukhari dan Sahih Muslim; kita juga tidak menemukan penilaian hadits tersebut dari para ulama besar ilmu hadits yang masyhur—maka kita tidak boleh terburu-buru menilai shahih hadits tersebut. Karena zaman sekarang (abad keenam Hijriah) sudah sangat sulit memberikan derajat shahih pada sebuah hadits dengan sebatas mempertimbangkan sanadnya. Kita juga melihat (di zaman sekarang) tidak ada sanad hadits kecuali mereka merujuk sanadnya kepada kitab-kitab pedoman mereka. Di sisi lain, mereka (para pelajar hadits) juga lemah dalam persyaratan dhabt, ketelitian, dan kekuatan hafalan yang telah disyaratkan oleh ulama terdahulu (mutaqaddimin). Maka, satu-satunya cara menilai shahih dan hasan sebuah hadits adalah dengan merujuk pendapat para tokoh panutan ilmu hadits dalam kitab-kitab mereka yang bebas dari pemalsuan dan perubahan” (Utsman bin Abdurrahman Ibnu Shalah, Ma’rifat Anwa’ ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr tahun, 1986, hal. 17)

 

Ibnu Shalah juga menukil dalam kitabnya, “Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan, ‘Barang siapa yang datang membawa sebuah hadits yang tidak ditemukan pada kitab-kitab ulama besar ilmu hadits yang muktabar maka hadits tersebut tidak diterima.”

 

Al-Hafidz as-Sakhawi juga berkomentar, “Secara lahiriah, pendapat Ibnu Shalah ini juga mencakup larangan berijtihad menilai lemah (dhaif) sebuah hadits. Mungkin saja Ibnu Shalah berpendapat demikian agar oknum yang mengaku ulama tanpa landasan ilmu tidak ikut campur dalam ilmu ini (hadits)” (al-Hafidz Muhammad as-Sakhawi, Fath al-Mughits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol. 1, hal. 65).

 

Kedua, pintu penelitian hadits masih terbuka lebar sepanjang zaman. Akan tetapi, hanya boleh dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dalam ilmu hadits. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi,

 

“Barang siapa di zaman sekarang menemukan sebuah hadits yang shahih sanadnya dalam sebuah kitab atau dalam sebuah jilid kitab tertentu yang tidak dishahihkan oleh para pakar ulama Hadits yang dijadikan rujukan, menurut Syekh Taqiyuddin, kita tidak boleh menshahihkan hadits tersebut karena lemahnya kemampuan penduduk zaman sekarang. Sedangkan menurutku (an-Nawawi) yang paling tepat adalah diperbolehkan menshahihkan hadits tersebut bagi orang yang mampu dan kuat keilmuannya dalam ilmu hadits” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, at-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir an-Nadzir, Beirut: Dar Kitab al-Arabi, 1985, hal. 28)

 

Pendapat Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi ini didukung oleh banyak ulama hadits. Al-Hafidz al-Iraqi mengatakan, “Pendapat yang diunggulkan oleh an-Nawawi (kebolehan berijtihad dalam ilmu hadits bagi orang yang mampu) adalah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli hadits. Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak ulama periode akhir (muta’akhirin) yang menshahihkan beberapa hadits yang belum pernah diteliti oleh ulama-ulama terdahulu (mutaqaddimin)” (al-Hafidz al-‘Iraqi, at-Taqyid wa at-Tawdhih, Beirut: Dar Fikr al-Arabi, 2001, hal. 23).

 

Walhasil, menurut pendapat yang kuat penelitian derajat hadits hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kriteria mumpuni. Karena, pada dasarnya menjadi seorang ulama hadits tidaklah mudah dan persyaratannya sangat ketat. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz as-Sakhawi

 

“Menurut para pakar ilmu hadits yang dinamakan dengan al-Muhaddits (pakar hadits) secara umumnya adalah seseorang yang telah mencatat, membaca, mendengarkan, dan menghafalkan hadits Rasulullah, ia telah mengembara ke berbagai kota dan negara untuk mencari ilmu hadits, ia juga telah berhasil memahami dasar ilmu hadits, telah meneliti pembahasan yang ada pada kitab-kitab kumpulan sanad hadits (al-Masanid), kitab-kitab penelitian sanad hadits (al-‘Ilal), dan kitab-kitab sejarah ilmu hadits (at-Tawarikh) minimal sekitar seribu karya tulis ilmiah yang muktabar” (al-Hafidz Muhammad as-Sakhawi, Fath al-Mughits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol. 1 hal. 68).

 

Oleh karena itu, tokoh seperti Nashirudin al-Albani tidaklah tepat dijadikan figur dalam studi kritik hadits. Hal ini dikarenakan rekam jejak keilmuan beliau yang tidak diakui oleh mayoritas ulama hadits. Dr. Rif’at Fauzi Abdul Muthalib selaku ulama ahli hadits berpengaruh di negara Mesir berwasiat kepada kami “Menukil pendapat dan pemikiran Nashirudin al-Albani adalah aib dan kesalahan besar bagi seorang pelajar ilmu hadits. Hal ini dikarenakan ia lebih memilih pendapat seorang tokoh (Nashirudin al-Albani) yang tidak memiliki kapasitas dalam ilmu hadits dan meninggalkan pendapat para ulama terdahulu yang diakui keilmuannya.” []

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Rabu, 29 September 2021

(Do'a of the Day) 22 Safar 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbi hablii minashshaalihiina.

 

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

 

Juz 23, QS. Ash-Shaffat (37) ayat 100.

(Hikmah of the Day) Kekaguman Nabi Musa terhadap Umat Nabi Muhammad

Kemuliaan Nabi Muhammad seperti cahaya yang menerangi benda-benda di sekelilingnya. Dia-lah al-Musthafa (yang dipilih oleh Allah) menjadi kekasih dan utusan di bumi. Mengangkat derajat kaum lemah, melepaskan belenggu kemusyrikan, dan membawa ajaran rahmat bagi seluruh alam.

 

Umatnya adalah terbaik dibandingkan dengan umat-umat terdahulu. Pernyataan ini secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أمة أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).

 

Berita ini ternyata telah ada jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad . Salah satu nabi yang sangat mengagumi umat Nabi Muhammad adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Kekaguman Nabi Musa berawal ketika beliau membaca al-alwah (kitab) tentang keistimewaan sekelompok umat yang belum pernah ada sebelumnya. Ungkapan kekaguman Nabi Musa dijelaskan oleh Wahab Ibn Munabih seorang pemuka tabi’in ahli sejarah, dalam kitab Sabil al-Addikar karya Syekh Al-Habib Abdullah ‘Alawi Al-Haddad, sebagai berikut:

 

يا رب ما هذه الأمة المحمدية التي أجدها في الألواح؟ قال هم أمة أحمد يرضون مني باليسير من الرزق أعطيهم إياه وأرضى منهم باليسير من العمل أدخل أحدهم الجنة بشهادة أن لاإله إلاالله

 

Wahai Rab-ku! Siapakah umat Muhammadiyah (bangsa Nabi Muhammad) yang saya temukan di alwah? (wahyu kitab taurat yang tertulis dalam bentuk lembaran). Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad (Nabi Muhammad ). Mereka ridha dengan sedikit rezeki yang kami berikan. Kami pun ridha kepada mereka dengan sedikitnya amal. Sebagian dari mereka akan dimasukkan ke dalam surga dengan bersaksi tiada tuhan selain Allah.

 

قال فإني أجد في الألواح أمة يحشرون يوم القيامة وجوههم على صورة القمر ليلة البدر قال هم أمة أحمد أحشرهم يوم القيامة غرا محجلين من اثار الوضوء والسجود

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat kelak mereka berkumpul di hari kiamat wajah mereka bersinar sebagaimana rembulan”. Allah menjawab, “Mereka adalah umat Ahmad, kami kumpulkan mereka pada hari kiamat dengan keelokan, serta tanda dari bekas wudhu dan sujud.

 

قال فإني أجد في الألواح أمة يصلون في اليوم والليلة خمس صلوات في خمس ساعات من النهار وتفتح لهم أبواب السماء وتنزل عليهم الرحمة فاجعلهم أمتي قال هم أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat mereka mengerjakan shalat lima kali dalam sehari semalam. Dibuka pintu-pintu langit dan diturunkan rahmat bagi mereka. Jadikanlah mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة يصومون لك شهر رمضان فتغفر لهم ما كان قبل ذلك فاجعلهم أمتي قال هم أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat mereka berpuasa di bulan Ramadhan karena Engkau (Allah), dan Engkau ampuni dosa mereka yang telah lampau, jadikanlah mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة يحجون لك البيت الحرام لايقضون منه وطرا يعجون بالبكاء عجيجا ويضجون بالتلبية ضجيجا فاجعلهم أمتي قال هم أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat mereka haji ke Baitullah karena Engkau, mereka terus menerus mengutarakan hajatnya, menangis, dan meneriakkan lafal talbiyah, jadikan mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال فما تعطيهم على ذلك؟ قال أزيدهم المغفرة واشفعهم فيمن وراءهم

 

Nabi Musa berkata: “Apa yang Engkau berikan kepada mereka atas hal tersebut? Allah menjawab: “Kami tambahkan mereka ampunan dan akan aku beri pertolongan kepada mereka yaitu orang-orang setelah nya (pengikutnya).”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة إذا هم أحدهم بحسنة يعملها فلم يعملها كتبت له حسنة واحدة وإن عملها كتب له عشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف فاجعلهم أمتي قال تلك أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat, ketika berniat melakukan kebaikan dan belum sempat menjalankan maka ditulis baginya satu kebaikan. Dan ketika berhasil melaksankan baginya dicatat 10 hingga 700 lipat kebaikan, jadikanlah mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة إذا هم احدهم بالسيئة ثم لم يعملها لم تكتب عليه واحدة وإن عملها كتبت سيئة واحدة فاجعلهم أمتي قال تلك أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat, ketika berniat melakukan kejelekan kemudian tidak jadi melaksanakan maka tidak ditulis baginya satu kejelekan. Dan ketika melaksanakan dicatat satu kejelekan, jadikanlah mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة هم خير الناس يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ فاجعلهم أمتي قال هم أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat, mereka adalah sebaik-baik manusia yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, jadikanlah mereka umatku.” Allah menjawab: “Mereka adalah umat Ahmad.”

 

قال يا رب إني أجد في الألواح أمة يحشرون يوم القيامة على ثلاثة ثُلَلٍ: ثلة يدخلون الجنة بغير حساب وثلة يحاسبون حسابا يسيرا وثلة يُمَحَّصُوْنَ ثم يدخلون الجنة فاجعلهم أمتي قال تلك أمة أحمد

 

Nabi Musa berkata: “Sungguh aku menemukan di alwah segolongan umat mereka dikumpulkan pada hari kiamat atas tiga kelompok (1/3); 1/3 pertama mereka dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab (perhitungan amal); 1/3 kedua mereka dihisab dengan hisab yang ringan (mudah); 1/3 ketiga mereka dibersihkan dari dosa terlebih dahulu baru kemudian dimasukkan ke dalam surga. (Syekh Abdullah ‘Alawi Al-Haddad Al-Hadhramiy Asy-Syafiy, Sabil al-Addikar, tp. tt. hal.18-21).

 

Demikianlah sedikit contoh dari kekaguman nabi Musa terhadap umat Nabi Muhammad . sehingga menginginkan menjadi umatnya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:

 

Pertama, umat Nabi Muhammad adalah umat yang ridha dengan sedikit rezeki, oleh karenanya Allah ridha dengan amalan yang sedikit. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (mati dalam keadaan beragama Islam). Contoh keutamaan yang hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad adalah lailatul qadar, yaitu amalan satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

 

Kedua, umat Nabi Muhammad akan dikumpulkan pada hari kiamat dengan wajah-wajah bercahaya lagi indah. Demikian ini adalah bekas wudhu dan sujud selama di dunia.

 

Ketiga, umat Nabi Muhammad melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam. Keutamaannya adalah dibukanya pintu-pintu langit dan diturunkan rahmat kepada mereka. hal inilah yang menjadikan kagum nabi Musa ‘alaihissalam.

 

Keempat, umat Nabi Muhammad selalu mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang telah lampau sebagai balasan dari ibadah puasa di bulan Ramadhan.

 

Kelima, umat Nabi Muhammad akan mendapatkan banyak ampunan dan pertolongan dari Allah sebagai balasan pelaksanaan ibadah haji.

 

Keenam, niat kebaikan umat Nabi Muhammad adalah satu kebaikan, dan 10 hingga 700 lipat kebaikan jika dapat melaksanakan niat baiknya. Lain halnya jika berniat melaksanakan kejelekan yang tidak samapai dilaksnakan maka tidak mendapatkan dosa. Dan setiap kejelekan akan mendapatkan satu dosa atasnya.

 

Ketujuh, umat Nabi Muhammad adalah umat terbaik yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kedelapan, umat Nabi Muhammad akan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok umat yang akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab, dihisab dengan hisab yang mudah, dan segolongan yang lain adalah mengalami siksa sebagai pembersihan diri dari dosa-dosa baru kemudian dimasukkan ke dalam surga.

 

Kedelapan contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari keutamaan umat Nabi Muhammad . Semoga kita semua diakui sebagai umat Rasulullah Muhammad yang akan mendapatkan segala kemuliaan di sisi Allah sebagaimana yang dijelaskan oleh nabi Musa ‘alaihissalam. []

 

Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta

(Ngaji od the Day) Premi Asuransi sebagai Milik Bersama

Premi merupakan kewajiban penyerahan sebuah harta kepada pihak lain. Adakalanya penyerahan ini berupa pemberian cuma-cuma, dan adakalanya hanya merupakan amanah titipan agar dikelola dan disalurkankan sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati.

 

Konsep pemberian kepada orang lain dalam Islam dikenal melalui 11 istilah, yaitu wakaf, hibah, zakat, sedekah, nafaqah, 'athiyah, hadiah, ujrah (upah jasa), denda (iwadl bil maal), dan mewakilkan (tawkil). Di dalam jasa asuransi, istilah yang paling tepat dalam hal ini adalah tawkil (perwakilan).

 

Melalui konsep tawkil, maka sifat harta yang diserahkan oleh pihak yang mewakilkan (muwakkil) kepada wakil, harus disikapi sebagai berikut:

 

1. Pihak wakil kedudukannya sama dengan muwakkil dalam pengelolaan harta.

2. Wakil memiliki tanggung jawab penuh dalam mengelola harta yang diserahkan dan bertanggungjawab terhadap muwakkil (orang yang memberi amanah)

3. Wakil tidak boleh menyalahi amanah dari muwakkil khususnya dalam menyalurkan harta. Tidak boleh bagi wakil menyalurkannya di wilayah di luar bunyi amanah

4. Wakil tidak boleh menyalurkan harta amanah ke wilayah yang rawan dan bisa menyebabkan harta yang diwakilkan menjadi rusak/hangus

5. Hakikatnya adalah harta titipan masih milik muwakkil. Jadi, wakil tidak memiliki hak kepemilikan sama sekali dalam harta yang diamanahkan.

6. Bentuk pentasharufan (pengelolaan) harta ke wilayah lain yang sudah disepakati, harus sepengetahuan muwakkil

 

Inilah konsepsi dasar dari akad wakalah. Jadi, garis besarnya adalah bahwa dalam wakâlah, tidak ada perpindahan kepemilikan.

 

Dalam sebuah asuransi, wakâlah terjadi demi tertanggungnya resiko member yang bersama-sama bersepakat untuk mengadakan perjanjian saling tolong-menolong ini. Kesepakatan menanggung menandakan adanya akad kafâlah. Pengelolanya disebut kafîl yang terdiri dari perusahaan asuransi.

 

Pokok masalahnya adalah, bahwa yang dikelola merupakan harta bersama. Oleh karena rumitnya pengelolaan, maka berdasar kesepakatan, Si kafìl mendapatkan gaji dari harta tersebut, implementasi dari wakâlah bi al-ujrah (akad perwakilan berbasis gaji).

 

Sebagai pihak yang mendapatkan amanah, maka Kafîl memiliki kewajiban menjaga agar harta yang diamanahkan tidak habis di makan zakat atau habis hanya untuk menggaji dirinya. Untuk itu diperlukan langkah protektif. Satu-satunya langkah yang bisa menyelamatkan adalah apabila harta tersebut diinvestasikan. Investasi ini dalam istilah fiqih, disebut sebagai akad mudlarabah.

 

Salah satu bentuk sederhana investasi adalah dengan jalan mendepositokan atau mengikutkannya dalam jalur investasi lain yang dirasa aman, seperti mengikutkan harta investasi ke dalam saham. Sudah pasti hasilnya akan dikembalikan kepada member dengan nisbah sebesar nisbah premi yang diserahkan kepada kafîl dibanding dengan total premi member lainnya. Misalnya, total premi yang dimiliki member A sebesar 10 juta, sementara total aset premi member pemegang polis perusahaan asuransi adalah 100 juta, maka nisbah yang diterimakan kepada member A, adalah sebesar 10% dari hasil yang didapat dari akad bagi hasil.

 

Sampai di sini, maka harta yang dibawa oleh Kafîl terbagi menjadi dua, yaitu:

 

1. Harta yang berasal dari premi

2. Harta yang didapat dari akad bagi hasil dengan perusahaan tempat menanam saham.

 

Bila menilik dari dua sifat harta ini, maka efek yang timbul adalah pihak member memiliki jumlah harta yang dilibatkan dalam asuransi menjadi sejumlah premi yang dibayarkan, ditambah dengan hasil nisbah bagi hasil.

 

Karena sebelum mengikuti asuransi, niat member adalah saling ta'âwun dalam menanggung resiko member yang tengah mengalami sesuatu yang tidak terpediksi sebelumnya, maka harta premi member tidak bisa diambil melainkan hasil dari nisbah bagi hasilnya saja. Mengapa? Karena premi adalah bagian yang terlibat dalam akad dasar takâful (asuransi). Sementara itu, nisbah bagi hasil adalah bagian dari akad baru sebagai cabang dan bersifat menjaga harta premi yang dilibatkan agar tidak musnah saja. Dengan demikian, kaidah yang berlaku tidak mengikut pada kaidah al tâbi'u tâbi'un (hukum pengikut adalah mengikuti) melainkan harus mengikut pada konsep dasar yaitu: al-ashlu baqâu mâ kâna 'alâ mâ kâna (hukum asal sesuatu adalah tetapnya hukum di atas konsensus asal disepakatinya). Jika konsensus asal yang disepakati adalah berupa 'harta yang boleh dikelola sebagai bagian takâful adalah harta premi, maka nisbah bagi hasil dari hasil investasi tidak masuk dalam bagian dari yang harus diincludekan ke dalam bagian premi. Harta itu adalah milik member murni dan lepas dari akad kafâlah, kecuali bila member meminta agar nisbah bagi hasil yang didapatnya dimasukkan saja sebagai bagian dari premi.

 

Sampai di sini, biasanya pihak member asuransi memiliki dua catatan:

 

1. Dia memiliki catatan premi berupa polis

2. Dia memiliki catatan nisbah bagi hasil yang dimilikinya. Berarti, dalam hal ini, dia memiliki bagian untuk diambil sebagai bagian dari tabungan.

 

Melihat dua catatan ini, umumnya yang dilakukan oleh pihak asuransi adalah mencantumkannya dalam dua model buku. Buku pertama berupa polis wajib bagi member. Isinya berupa catatan setoran premi. Sifat harta hakikatnya adalah milik member, namun tidak bisa diambil mengingat ia sudah dilibatkan dalam bagian akad kafâlah.

 

Buku kedua adalah berupa rekening investasi. Isi dari rekening investasi ini berupa catatan perkembangan harta hasil dari pembagian nisbah bagi hasil oleh perusahaan. Harta ini murni milik member asuransi. Harta hanya bisa digunakan oleh perusahaan dengan catatan harus seijin member. Sifat dari harta ini boleh diambil oleh member, manakala dia menghendaki untuk mengambilnya. Pengambilan ini bisa sewaktu-waktu, bisa juga ditetapkan dengan masa jatuh tempo. Bila member menghendaki bisa diambil sewaktu-waktu, maka rekening yang dipergunakan adalah rekening tabungan. Akan tetapi bila pengambilannya ditetapkan berdasar jatuh tempo, maka bisa dirupakan rekening investasi seperti deposito.

 

Ada juga pihak jasa asuransi yang menggabungkannya dalam satu rekening saja, lalu disebutnya sebagai portofolio investasi. Portofolio investasi ini sifatnya sederhana, hanya perlu membagi dua model pembukuan di atas saja, yaitu pembukuan premi asuransi dan pembukuan rekening investasi/tabungan.

 

Mencermati akan kedua mekanisme pembukuan ini, selanjutnya kita bisa menjawab apabila ada pertanyaan:

 

1. Bagaimana bila member asuransi memutuskan berhenti untuk mengikut dalam organisasi takâful?

2. Apakah dia boleh menerima harta yang sudah diserahkan sebagai premi ataukah ia hanya berhak menerima dari hasil nisbah bagi hasil?"

 

Sekali lagi, penulis mengingatkan agar jangan lupakan hal yaitu ketika anda ikut jasa asuransi, maka anda harus menetapkan niat terlebih dahulu. Anda itu sedang ikut asuransi. Anda tidak sedang berinvestasi.

 

Yang dinamakan dengan niat itu berarti mencakup juga pengetahuan. Setidaknya, pengetahuan yang wajib diketahui adalah dasar-dassr dari asuransi sebagaimana yang sudah kita singgung dalam dua tulisan terakhir, sistematisasi tolong menolong. Wallâhu a'lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Selasa, 28 September 2021

(Do'a of the Day) 21 Safar 1443H

 Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbi innii limaaa anzalta ilayya min khairin faqiirun.

 

Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.

 

Juz 20, QS. Al Qashash (28) ayat 24.