Oleh: Azyumardi Azra
‘Tak akan Melayu hilang di dunia’. Atau dalam versi sedikit berbeda lebih panjang: ‘Tak ‘kan Melayu hilang di muka bumi. Bumi bertuah, negeri beradat’.
Ini ungkapan atau pernyataan tersohor yang dinisbahkan kepada Hang Tuah (lahir di Melaka 1444, dan wafat di Palembang 1511). Hang Tuah, termasyhur sebagai panglima atau laksamana khususnya di Kesultanan Melaka masa Sultan Manshur Shah (1459-1477).
Pernyataan Hang Tuah itu sangat populer di berbagai ranah suku Melayu ‘Inti’ (core Malay) di Deli atau Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Palembang. Ungkapan Hang Tuah juga sangat terkenal di wilayah Kepulauan Riau sampai ke Pontianak dan pesisir Kalimantan Barat.
Sudah beredar sejak zaman kolonial Eropa di Semenanjung Malaya, ungkapan Panglima Hang Tuah kini lebih terkait dan sangat relevan dengan puak Melayu di negara Malaysia modern.
Mendeklarasikan kemerdekaan dari kolonialis Inggris pada 31 Agustus, 1957, politik Federasi Malaysia dalam beberapa tahun terakhir menjadi pertaruhan bagi kaum Melayu.
Sebuah situs internet bernama ‘DR Mahathir Mohammad: Blogging to Unlock” menulis: “...di Malaysia juga kehilangan Melayu sedang berlaku. Ada anak muda Melayu yang tidak lagi ingin dikenali sebagai Melayu. Tetapi apa yang akan menghilangkan Melayu ialah dakwaan bahwa sesiapa yang bercakap berkenaan dengan bangsa Melayu, mereka akan dituduh ‘racist’, Kasihan Hang Tuah. Kemungkinan kata-katanya tidak lagi akan menjadi kenyataan”.
Melayu hilang di dunia? Situs tadi menyatakan secara retorik: “Dapatkah kata-kata keramat itu yang menentu yang Melayu tak akan hilang di dunia?”.
Pertanyaan ini dia jawab sendiri: “Di Singapura kerana tak ada lagi sekolah Melayu...orang Melayu sudah pun tidak menggunakan bahasa Melayu. Budaya, adat istiadat Melayu juga terhakis. Yang tinggal hanya agama Islam mereka.”
Lalu berlanjut: “Di sebelah utara pula kita dapati orang Melayu yang tidak bisa bertutur kata dalam bahasa Melayu. Mereka Islam dan bangsa rasmi mereka adalah Thai. Maka hilanglah juga Melayu di situ”.
Melayu hilang di dunia? Hilang dari Malaysia? Boleh jadi tidak; boleh jadi mustahil (impossible) atau kemungkinannya kecil sekali (unlikely).
Kini pernyataan Hang Tuah relevan dengan krisis politik yang terjadi di masa pasca-Perdana Menteri Mahathir Mohamad (Juli 1981-Oktober 2003) dan PM Abdullah Badawi (2003-2009).
Masa PM Mahathir I adalah ‘era kebangkitan’ Malaysia secara ekonomi dan politik; menjadi negara disegani. Sedangkan masa Pak Lah (Abdullah Badawi) ditandai stagnasi.
Kegaduhan mulai terjadi dalam tahun-tahun terakhir masa pemerintahan PM Najib Razak (2009-2018) yang berakhir karena skandal korupsi M1DB (Malaysia One Development Berhad). Skandal yang menimbulkan krisis politik membuat PM Najib Razak harus melakukan Pilihan Raya Umum (PRU14) pada 9 Mei 2018.
PRU14 dimenangkan koalisi Pakatan Harapan dengan mengalahkan Barisan Nasional dalam jumlah kursi di parlemen. Kemenangan ini mengantarkan Mahathir Mohamad (92 tahun) kembali menjadi PM. PM Mahathir II tidak mampu menghentikan kegaduhan.
Krisis politik sejak masa PM Najib Razak kian menimbulkan perpecahan kian luas di dalam puak Melayu. Terus muncul berbagai partai dan kekuatan politik Melayu dan antarras berbasis utama Melayu.
Kegaduhan dan konflik politik Malaysia terjadi di antara kekuatan politik Melayu yang telah terpecah belah. Krisis politik Malaysia masih terus berlanjut dan bahkan meningkat dalam sejak awal Juli 2021.
Perdana Menteri Muhyiddin Yassin yang menjadi PM sejak 1 Maret 2020 berkat restu Yang Dipertuan Agong Raja Abdullah dari Kerajaan Pahang, dituntut mundur Organisasi Melayu Nasional Bersatu (UMNO/United Malay National Organizations).
Presiden UMNO Ahmad Zahid Hamidi, menyatakan, PM Muhyiddin Yassin gagal menangani penyebaran wabah Covid-19. Dia juga tak berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan gagal mendapat kepercayaan rakyat.
Untuk sementara, PM Muhyiddin ‘selamat’ karena didukung menteri-menteri kabinet (16/7/21). Nasib PM Muhyiddin bakal ditentukan dalam pertemuan khusus parlemen Malaysia selama lima hari mulai 26 Juli 2021.
Penyebaran wabah Covid-19 sempat meredam krisis politik itu. Namun, peningkatan korban Covid-19 secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir juga menjadi faktor kembali meningkatnya krisis politik Malaysia. []
REPUBLIKA, 22 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar