Premi merupakan kewajiban penyerahan sebuah harta kepada pihak lain. Adakalanya penyerahan ini berupa pemberian cuma-cuma, dan adakalanya hanya merupakan amanah titipan agar dikelola dan disalurkankan sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati.
Konsep pemberian kepada orang lain dalam Islam dikenal melalui 11 istilah, yaitu wakaf, hibah, zakat, sedekah, nafaqah, 'athiyah, hadiah, ujrah (upah jasa), denda (iwadl bil maal), dan mewakilkan (tawkil). Di dalam jasa asuransi, istilah yang paling tepat dalam hal ini adalah tawkil (perwakilan).
Melalui konsep tawkil, maka sifat harta yang diserahkan oleh pihak yang mewakilkan (muwakkil) kepada wakil, harus disikapi sebagai berikut:
1. Pihak wakil kedudukannya sama dengan muwakkil dalam pengelolaan harta.
2. Wakil memiliki tanggung jawab penuh dalam mengelola harta yang diserahkan dan bertanggungjawab terhadap muwakkil (orang yang memberi amanah)
3. Wakil tidak boleh menyalahi amanah dari muwakkil khususnya dalam menyalurkan harta. Tidak boleh bagi wakil menyalurkannya di wilayah di luar bunyi amanah
4. Wakil tidak boleh menyalurkan harta amanah ke wilayah yang rawan dan bisa menyebabkan harta yang diwakilkan menjadi rusak/hangus
5. Hakikatnya adalah harta titipan masih milik muwakkil. Jadi, wakil tidak memiliki hak kepemilikan sama sekali dalam harta yang diamanahkan.
6. Bentuk pentasharufan (pengelolaan) harta ke wilayah lain yang sudah disepakati, harus sepengetahuan muwakkil
Inilah konsepsi dasar dari akad wakalah. Jadi, garis besarnya adalah bahwa dalam wakâlah, tidak ada perpindahan kepemilikan.
Dalam sebuah asuransi, wakâlah terjadi demi tertanggungnya resiko member yang bersama-sama bersepakat untuk mengadakan perjanjian saling tolong-menolong ini. Kesepakatan menanggung menandakan adanya akad kafâlah. Pengelolanya disebut kafîl yang terdiri dari perusahaan asuransi.
Pokok masalahnya adalah, bahwa yang dikelola merupakan harta bersama. Oleh karena rumitnya pengelolaan, maka berdasar kesepakatan, Si kafìl mendapatkan gaji dari harta tersebut, implementasi dari wakâlah bi al-ujrah (akad perwakilan berbasis gaji).
Sebagai pihak yang mendapatkan amanah, maka Kafîl memiliki kewajiban menjaga agar harta yang diamanahkan tidak habis di makan zakat atau habis hanya untuk menggaji dirinya. Untuk itu diperlukan langkah protektif. Satu-satunya langkah yang bisa menyelamatkan adalah apabila harta tersebut diinvestasikan. Investasi ini dalam istilah fiqih, disebut sebagai akad mudlarabah.
Salah satu bentuk sederhana investasi adalah dengan jalan mendepositokan atau mengikutkannya dalam jalur investasi lain yang dirasa aman, seperti mengikutkan harta investasi ke dalam saham. Sudah pasti hasilnya akan dikembalikan kepada member dengan nisbah sebesar nisbah premi yang diserahkan kepada kafîl dibanding dengan total premi member lainnya. Misalnya, total premi yang dimiliki member A sebesar 10 juta, sementara total aset premi member pemegang polis perusahaan asuransi adalah 100 juta, maka nisbah yang diterimakan kepada member A, adalah sebesar 10% dari hasil yang didapat dari akad bagi hasil.
Sampai di sini, maka harta yang dibawa oleh Kafîl terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Harta yang berasal dari premi
2. Harta yang didapat dari akad bagi hasil dengan perusahaan tempat menanam saham.
Bila menilik dari dua sifat harta ini, maka efek yang timbul adalah pihak member memiliki jumlah harta yang dilibatkan dalam asuransi menjadi sejumlah premi yang dibayarkan, ditambah dengan hasil nisbah bagi hasil.
Karena sebelum mengikuti asuransi, niat member adalah saling ta'âwun dalam menanggung resiko member yang tengah mengalami sesuatu yang tidak terpediksi sebelumnya, maka harta premi member tidak bisa diambil melainkan hasil dari nisbah bagi hasilnya saja. Mengapa? Karena premi adalah bagian yang terlibat dalam akad dasar takâful (asuransi). Sementara itu, nisbah bagi hasil adalah bagian dari akad baru sebagai cabang dan bersifat menjaga harta premi yang dilibatkan agar tidak musnah saja. Dengan demikian, kaidah yang berlaku tidak mengikut pada kaidah al tâbi'u tâbi'un (hukum pengikut adalah mengikuti) melainkan harus mengikut pada konsep dasar yaitu: al-ashlu baqâu mâ kâna 'alâ mâ kâna (hukum asal sesuatu adalah tetapnya hukum di atas konsensus asal disepakatinya). Jika konsensus asal yang disepakati adalah berupa 'harta yang boleh dikelola sebagai bagian takâful adalah harta premi, maka nisbah bagi hasil dari hasil investasi tidak masuk dalam bagian dari yang harus diincludekan ke dalam bagian premi. Harta itu adalah milik member murni dan lepas dari akad kafâlah, kecuali bila member meminta agar nisbah bagi hasil yang didapatnya dimasukkan saja sebagai bagian dari premi.
Sampai di sini, biasanya pihak member asuransi memiliki dua catatan:
1. Dia memiliki catatan premi berupa polis
2. Dia memiliki catatan nisbah bagi hasil yang dimilikinya. Berarti, dalam hal ini, dia memiliki bagian untuk diambil sebagai bagian dari tabungan.
Melihat dua catatan ini, umumnya yang dilakukan oleh pihak asuransi adalah mencantumkannya dalam dua model buku. Buku pertama berupa polis wajib bagi member. Isinya berupa catatan setoran premi. Sifat harta hakikatnya adalah milik member, namun tidak bisa diambil mengingat ia sudah dilibatkan dalam bagian akad kafâlah.
Buku kedua adalah berupa rekening investasi. Isi dari rekening investasi ini berupa catatan perkembangan harta hasil dari pembagian nisbah bagi hasil oleh perusahaan. Harta ini murni milik member asuransi. Harta hanya bisa digunakan oleh perusahaan dengan catatan harus seijin member. Sifat dari harta ini boleh diambil oleh member, manakala dia menghendaki untuk mengambilnya. Pengambilan ini bisa sewaktu-waktu, bisa juga ditetapkan dengan masa jatuh tempo. Bila member menghendaki bisa diambil sewaktu-waktu, maka rekening yang dipergunakan adalah rekening tabungan. Akan tetapi bila pengambilannya ditetapkan berdasar jatuh tempo, maka bisa dirupakan rekening investasi seperti deposito.
Ada juga pihak jasa asuransi yang menggabungkannya dalam satu rekening saja, lalu disebutnya sebagai portofolio investasi. Portofolio investasi ini sifatnya sederhana, hanya perlu membagi dua model pembukuan di atas saja, yaitu pembukuan premi asuransi dan pembukuan rekening investasi/tabungan.
Mencermati akan kedua mekanisme pembukuan ini, selanjutnya kita bisa menjawab apabila ada pertanyaan:
1. Bagaimana bila member asuransi memutuskan berhenti untuk mengikut dalam organisasi takâful?
2. Apakah dia boleh menerima harta yang sudah diserahkan sebagai premi ataukah ia hanya berhak menerima dari hasil nisbah bagi hasil?"
Sekali lagi, penulis mengingatkan agar jangan lupakan hal yaitu ketika anda ikut jasa asuransi, maka anda harus menetapkan niat terlebih dahulu. Anda itu sedang ikut asuransi. Anda tidak sedang berinvestasi.
Yang dinamakan dengan niat itu berarti mencakup juga pengetahuan. Setidaknya, pengetahuan yang wajib diketahui adalah dasar-dassr dari asuransi sebagaimana yang sudah kita singgung dalam dua tulisan terakhir, sistematisasi tolong menolong. Wallâhu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar