Kamis, 30 September 2021

(Ngaji of the Day) Bolehkah Mendhaifkan Hadits Shahih al-Bukhari-Muslim sebagaimana al-Albani?

Kontroversi Nashirudin al-Albani memang tak pernah berhenti diulas. Langkahnya yang gemar mengkritik dan mendhaifkan hadits shahih al-Bukhari dan shahih Muslim selalu menimbulkan hujatan dari para ulama. Bila kitab Shahih al-Bukhari sebagai kitab kumpulan hadits shahih terbaik saja beliau (al-Albani) ragukan keshahihannya, apalagi kitab-kitab kumpulan hadits lainnya?

 

Mari kita meneliti kembali “Bolehkah ulama kontemporer sebagaimana al-Albani berijtihad mendhaifkan dan menshahihkan hadits tanpa merujuk kepada pendapat ulama hadits terdahulu?”

 

Dalam ranah ini ada dua pendapat terkuat, yaitu:

 

Pertama, pintu penelitian (ijtihad) telah ditutup dan kita hanya boleh mengambil pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin) sebagai rujukan dalam menilai riwayat hadits. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Shalah, seorang tokoh besar ulama hadits dari abad keenam Hijriah. Pendapat itu beliau pegang karena alasan menurunnya kualitas para pelajar ilmu hadits di masanya dalam segi hafalan, keahlian, serta ketelitian dalam menilai derajat hadits.

 

“Ketika kita menemukan sebuah hadits dalam nukilan-nukilan kitab dengan sanad yang berderajat shahih—tetapi kita tidak menemukan hadits serupa dalam Shahih al-Bukhari dan Sahih Muslim; kita juga tidak menemukan penilaian hadits tersebut dari para ulama besar ilmu hadits yang masyhur—maka kita tidak boleh terburu-buru menilai shahih hadits tersebut. Karena zaman sekarang (abad keenam Hijriah) sudah sangat sulit memberikan derajat shahih pada sebuah hadits dengan sebatas mempertimbangkan sanadnya. Kita juga melihat (di zaman sekarang) tidak ada sanad hadits kecuali mereka merujuk sanadnya kepada kitab-kitab pedoman mereka. Di sisi lain, mereka (para pelajar hadits) juga lemah dalam persyaratan dhabt, ketelitian, dan kekuatan hafalan yang telah disyaratkan oleh ulama terdahulu (mutaqaddimin). Maka, satu-satunya cara menilai shahih dan hasan sebuah hadits adalah dengan merujuk pendapat para tokoh panutan ilmu hadits dalam kitab-kitab mereka yang bebas dari pemalsuan dan perubahan” (Utsman bin Abdurrahman Ibnu Shalah, Ma’rifat Anwa’ ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr tahun, 1986, hal. 17)

 

Ibnu Shalah juga menukil dalam kitabnya, “Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan, ‘Barang siapa yang datang membawa sebuah hadits yang tidak ditemukan pada kitab-kitab ulama besar ilmu hadits yang muktabar maka hadits tersebut tidak diterima.”

 

Al-Hafidz as-Sakhawi juga berkomentar, “Secara lahiriah, pendapat Ibnu Shalah ini juga mencakup larangan berijtihad menilai lemah (dhaif) sebuah hadits. Mungkin saja Ibnu Shalah berpendapat demikian agar oknum yang mengaku ulama tanpa landasan ilmu tidak ikut campur dalam ilmu ini (hadits)” (al-Hafidz Muhammad as-Sakhawi, Fath al-Mughits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol. 1, hal. 65).

 

Kedua, pintu penelitian hadits masih terbuka lebar sepanjang zaman. Akan tetapi, hanya boleh dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dalam ilmu hadits. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi,

 

“Barang siapa di zaman sekarang menemukan sebuah hadits yang shahih sanadnya dalam sebuah kitab atau dalam sebuah jilid kitab tertentu yang tidak dishahihkan oleh para pakar ulama Hadits yang dijadikan rujukan, menurut Syekh Taqiyuddin, kita tidak boleh menshahihkan hadits tersebut karena lemahnya kemampuan penduduk zaman sekarang. Sedangkan menurutku (an-Nawawi) yang paling tepat adalah diperbolehkan menshahihkan hadits tersebut bagi orang yang mampu dan kuat keilmuannya dalam ilmu hadits” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, at-Taqrib wa at-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir an-Nadzir, Beirut: Dar Kitab al-Arabi, 1985, hal. 28)

 

Pendapat Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi ini didukung oleh banyak ulama hadits. Al-Hafidz al-Iraqi mengatakan, “Pendapat yang diunggulkan oleh an-Nawawi (kebolehan berijtihad dalam ilmu hadits bagi orang yang mampu) adalah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli hadits. Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak ulama periode akhir (muta’akhirin) yang menshahihkan beberapa hadits yang belum pernah diteliti oleh ulama-ulama terdahulu (mutaqaddimin)” (al-Hafidz al-‘Iraqi, at-Taqyid wa at-Tawdhih, Beirut: Dar Fikr al-Arabi, 2001, hal. 23).

 

Walhasil, menurut pendapat yang kuat penelitian derajat hadits hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kriteria mumpuni. Karena, pada dasarnya menjadi seorang ulama hadits tidaklah mudah dan persyaratannya sangat ketat. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz as-Sakhawi

 

“Menurut para pakar ilmu hadits yang dinamakan dengan al-Muhaddits (pakar hadits) secara umumnya adalah seseorang yang telah mencatat, membaca, mendengarkan, dan menghafalkan hadits Rasulullah, ia telah mengembara ke berbagai kota dan negara untuk mencari ilmu hadits, ia juga telah berhasil memahami dasar ilmu hadits, telah meneliti pembahasan yang ada pada kitab-kitab kumpulan sanad hadits (al-Masanid), kitab-kitab penelitian sanad hadits (al-‘Ilal), dan kitab-kitab sejarah ilmu hadits (at-Tawarikh) minimal sekitar seribu karya tulis ilmiah yang muktabar” (al-Hafidz Muhammad as-Sakhawi, Fath al-Mughits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol. 1 hal. 68).

 

Oleh karena itu, tokoh seperti Nashirudin al-Albani tidaklah tepat dijadikan figur dalam studi kritik hadits. Hal ini dikarenakan rekam jejak keilmuan beliau yang tidak diakui oleh mayoritas ulama hadits. Dr. Rif’at Fauzi Abdul Muthalib selaku ulama ahli hadits berpengaruh di negara Mesir berwasiat kepada kami “Menukil pendapat dan pemikiran Nashirudin al-Albani adalah aib dan kesalahan besar bagi seorang pelajar ilmu hadits. Hal ini dikarenakan ia lebih memilih pendapat seorang tokoh (Nashirudin al-Albani) yang tidak memiliki kapasitas dalam ilmu hadits dan meninggalkan pendapat para ulama terdahulu yang diakui keilmuannya.” []

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar