Kamis, 30 September 2021

Guntur: Anatomi Pindah Ibu Kota

Anatomi Pindah Ibu Kota

Oleh: Guntur Soekarno

 

SEPANJANG sejarah Republik Indonesia, pindahnya ibu kota negara, baru sekali yaitu ke Yogyakarta pada tahun 1946, tanggal 3 Januari. Mengapa harus pindah? Menurut penuturan Komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Mangil Martowidjojo, karena situasi di Jakarta tidak kondusif lagi bagi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

 

Terutama setelah masuknya NICA (Netherlands-Indies Civil Administration/Pasukan Kolonialis Belanda), yang mendompleng pasukan Sekutu yang masuk ke Indonesia. Rombongan Bung Karno ke Yogyakarta dikawal oleh Mangil beserta rekannya yang berjumlah 14 orang. Berangkat dari kediaman Pegangsaan Timur 56, melalui Jalan Bonang lanjut ke halaman belakang di mana Kereta Api Luar Biasa (KLB) sudah siap untuk berangkat ke Yogyakarta sekitar pukul 18.00.

 

Selain rombongan Bung Karno, ternyata KLB mengangkut juga tumpangan istimewa, yaitu 2 mobil kepresidenan merek Buick 7 seat warna hitam dan De-Soto warna kuning. Seluruh rombongan tiba dengan selamat di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pagi hari.

 

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pihak kolonialis Belanda pada tahun 1949, ibu kota Republik kembali pindah ke Jakarta. Pada tahun 60-an Bung Karno, yang mempunyai daya analisis sangat kuat sehingga mampu melakukan forseeingahead ke depan, sudah menyimpulkan bahwa ibu kota Republik Indonesia di kemudian hari harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Mengingat Jakarta secara geografis dan geopolitik sudah tidak akan mampu lagi menanggung beban pertambahan penduduk yang sangat cepat dan fungsinya harus diubah menjadi kota khusus sosial politik.

 

Oleh sebab itu, Bung Karno tanpa terlalu berpikir formalistis yuridis memerintahkan agar ibu kota negara dipindahkan ke luar Jawa, yakni ke Kota Palangka Raya di Kalimantan. Atas perintah Presiden, perencanaan ibu kota baru segera dilaksanakan, dan setelah rampung dieksekusi pelaksanaannya.

 

Bung Karno sebagai presiden langsung terjun ke lapangan dan sebagai seorang sarjana sipil dan arsitek meninjau pelaksanaan di lapangan sehingga masterplan dan garis-garis besar pelaksanaannya sudah dapat terlaksana. Mobilisasi terhadap warga setempat juga dilaksanakan oleh Bung Karno secara pribadi. Termasuk untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Dayak setempat.

 

Ternyata, perpindahan ibu kota ke Palangka Raya mendapat dukungan penuh dari warga setempat, khususnya suku Dayak. Sebagai tanda dukungan dari suku Dayak, hampir setiap sebulan sekali mereka mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk bertukar pikiran dengan Presiden di Istana Merdeka. Mereka biasanya menginap di paviliun di samping Istana Negara Jakarta. Salah seorang utusan suku Dayak bernama Laura sudah kami anggap sebagai anggota keluarga, dan kami sapa dengan panggilan akrab Mbak Laura.

 

Namun sayang, pilihan Palangka Raya sebagai ibu kota Republik Indonesia di masa depan gagal. Karena, setelah Bung Karno memerintahkan dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata tanah di kawasan Palangka Raya merupakan tanah gambut yang tidak mungkin menahan beban bangunan pencakar langit yang rencananya akan dibangun di sana. Alhasil, Bung Karno terpaksa mengeluarkan keppres yang menyatakan Jakarta tetap menjadi ibu kota Republik Indonesia.

 

Kelanjutan rencana Bung Karno

 

Di era reformasi, ketika Joko Widodo menjadi Presiden RI, cita-cita Bung Karno untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan (Palangka Raya) ternyata juga menjadi gagasan dari Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Tapi bukan ke Palangka Raya seperti digagas Bung Karno, melainkan ke Kalimantan Timur.

 

Namun, untuk merealisasikan gagasannya itu, Presiden Jokowi perlu mendapat dukungan konkret dari partai-partai politik dan semua elemen masyarakat disertai payung hukum yang lebih kukuh berupa ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Karena, tanpa PPHN, tidak ada jaminan presiden terpilih tahun 2024 akan meneruskan gagasan pemindahan ibu kota negara tersebut di atas.

 

Menurut Wakil Ketua MPR Dr Ahmad Basarah, dukungan partai dan seluruh elemen masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR melakukan amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN (Dr Ahmad Basarah, Detiknews, 29 Agustus 2021). Jika kita ingin agar rencana pemindahan ibu kota negara berjalan keseluruhan hingga selesai, memang PPHN diperlukan. Tetapi, mengapa amendemen yang dilakukan hanya amendemen terbatas?

 

Lebih tepat dan lebih mantap bila amendemen yang dilakukan adalah amendemen total (menyeluruh) untuk kembali ke UUD asli, yaitu UUD Revolusi 45,yang jiwa dan semangatnya benar-benar bertujuan mendirikan suatu masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial atau masyarakat sosialis modern yang bersifat religius.

Di dalam UUD ‘45 yang asli tercantum perlu adanya GBHN, yang memberi arahan dan pedoman jangka panjang ke mana negara ini harus menuju. Ketika Bung Karno melontarkan gagasan pemindahan ibu kota, UUD ‘45 yang asli masih berlaku dan tidak diamendemen sehingga kedudukan hukumnya tegas dan jelas.

Pemindahan ibu kota negara, menurut Bung Karno diperlukan juga agar pusat kegiatan sosial politik dapat dipisahkan dari kegiatan dunia perdagangan sedemikian rupa sehingga Jakarta Raya dapat menjadi pusat perdagangan, begitu juga kota-kota seperti Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan Palembang dll.

 

Untuk menjadikan Palembang sebagai pusat perdagangan, khususnya perdagangan antarpulau, Bung Karno membangun jembatan yang saat itu dinamakan Jembatan Bung Karno. Jembatan tadi membentang di Sungai Musi, dengan bagian tengahnya dapat dinaikkan dan diturunkan melalui peralatan hidrolik. Dengan begitu, bila kapal-kapal dagang yang berukuran besar lalu-lalang di Sungai Musi, bagian tengah jembatan dapat dinaik-turunkan sesuai kebutuhan.

 

Sayang, sejak era Orde Baru, nama jembatan diganti menjadi Jembatan Ampera dan bagian tengahnya tidak berfungsi lagi karena rusak total. Hingga saat ini, kondisi tersebut tetap tidak berubah, Akibatnya kapal-kapal dagang berukuran besar tidak dapat lagi lalu-lalang di Sungai Musi, dan Palembang saat ini menjadi kota yang fungsinya campur aduk.

 

Dari peristiwa-peristiwa di atas, kita dapat memaklumi betapa pentingnya ibu kota negara harus dipindahkan ke luar Jawa, seperti rencana dari Presiden Jokowi, yaitu ke Kalimantan Timur, walaupun belum jelas di kota atau daerah mana. Apakah gagasan/rencana ini tepat bila dilaksanakan saat ini, di saat Indonesia sedang berperang melawan covid-19? Di samping itu, keadaan perekonomian masih sangat memprihatinkan.

 

Menurut kita kaum patriotis, hal tersebut masih dapat dimaklumi dan ditoleransi karena kita berpegang pada ajaran politik Bung Karno tentang Reform aksi dan Doels aksi, aksi kecil-kecilan dan aksi maksud tertinggi! (Soekarno: DBR-I). Contoh aksi kecil kecilan adalah pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digalakkan, pembangunan food estate termasuk pemindahan ibu kota negara. Adapun aksi maksud tertinggi adalah perang melawan setan siluman covid-19 dan rehabilitasi kondisi ekonomi. Oleh sebab itu, silakan go ahead untuk pindah ibu kota negara!! Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!! []

 

MEDIA INDONESIA, 23 September 2021

Guntur Soekarno | Pemerhati Sosial 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar