Kamis, 09 September 2021

NU dan Liga Muslimin Indonesia

Pada 10 Dzulhijjah, jutaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji bersatu melaksanakan wukuf. Peristiwa itu menjadi lambang persatuan umat Islam yang menjadi inspirasi umat Islam Indonesia pada tahun 1952 M atau 1371 H.

 

Akhir Agustus tahun itu, NU yang berstatus partai politik, bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Sarekat Islm Indonesia (PSII) membentuk Liga Muslimin Indonesia. Belakangan, Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), sebuah ormas Islam di Sulawesi, bergabung dengan liga tersebut.

 

Beberapa bulan sebelumnya, yakni 1 Mei 1952, NU keluar dari Masyumi karena keberadaannya tidak dihargai. Menurut sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, di Masyumi, NU hanya digunakan sebagai pendulang suara. Lalu, ketika keluar dari Masyumi, NU dituduh sebagai pemecah-belah ukhuwah Islamiyah, padahal sebelumnya, PSII sudah keluar lebih dahulu. Tak hanya itu, Perti dan beberapa partai kecil lainnya, yang tidak mau gabung dengan Masyumi. Jadi, terbantahkan sudah tuduhan itu.

 

Sementara, menurut KH Saifuddin Zuhri, NU terpaksa keluar dari Masyumi, dan dilakukan dengan secara demokratis. Dalam bukunya, Secercah Dakwah (1983), Kiai Saifuddin Zuhri mengatakan, NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu, NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984.

 

Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.

 

“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.

 

KH Abu Bakar Aceh dalam buku Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim menceritakan proses berdirinya Liga Muslimin Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1952. KH A. Wahid Hasyim dari NU terlebih dahulu mendapatkan kesempatan pertama untuk berpidato. Ia menekankan pentingnya persatuan bangsa, khususnya di kalangan umat Islam yang kala itu terkotak-kotak karena perbedaan pemahaman dan bahkan pilihan politik. “

 

... Pada hari Arafah seperti pada hari Arafah sekarang, 1360 tahun yang lalu, junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW, berdiri di Padang Arafah, di dalam pertemuan sedunia oleh umat Islam kala itu. Maka sesungguhnya, merupakan nikmat dan rahmat dari Allah SWT yang besar sekali bagi kita, bahwa pada hari yang bersejarah seperti hari Arafah ini, kita sekalian berkumpul di sini mengeratkan persaudaraan Islam yang telah ada dalam jiwa kita, dengan ikatan lahir berupa organisasi, ialah Liga Muslimin Indonesia!” tegas Kiai Wahid.

 

“Dalam keadaan hidup perseorangan yang tidak mempunyai ikatan sesama jamaahnya demikian itu, tidaklah heran apabila tiap-tiap orang Islam lalu tenggelam dan terseret oleh aliran-aliran dan golongan-golongan lain dengan tidak sadar dan insaf. Dan bukanlah pada suatu hal yang tidak masuk di akal, kalau propaganda penjajahan yang pada suatu masa pernah dijalankan oleh golongan yang berkepentingan, kadang-kadang masih mendapatkan telinga yang suka mendengarkannya, disebabkan hilangnya ikatan sesama jamaah itu.” lanjut Kiai Wahid.

 

Setelah Kiai Wahid, pidato selanjutnya disampaikan perwakilan dari Perti, yakni Tuan Guru KH Sirajuddin Abbas dan PSII Abikusno Tjokrosuroso, yang keduanya juga kembali menegaskan pentingnya untuk mempererat persatuan antarumat Islam.

 

Kehendak NU membangun persatuan umat Islam Indonesia dibuktikan sepanjang zaman. Pada masa kolonial Belanda, yakni tahun 1937, NU membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI). Kemudian turut serta di Masyumi. Ketika partai NU dipaksa melebur oleh Orde Baru, NU turut serta di Partai Persatuan Pembangunan. NU juga turut serta di Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 2012, NU turut membentuk Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), KH Said Aqil Siroj hingga sekarang menjadi ketua umumnya. []

 

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar