Mengapa Kita Harus Pusing Urusan Pangan
Oleh: Guntur Soekarno
BILA saya mengikuti berita berita, baik di surat kabar maupun televisi, tampaknya kita sedang banting tulang untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini dan kemudian hari. Hampir seluruh pemerintah daerah (pemda) di Jawa ataupun luar Jawa berusaha mati-matian untuk dapat meningkatkan pengadaan pangan, khususnya padi dan jagung, di daerah mereka masing-masing.
Bahkan, salah satu program pemerintah pusat ialah membuat food estate atau padang pangan di daerah untuk mendongkrak pengadaan beras dan jagung. Beberapa kepala daerah bahkan masih 'pusing' dalam mengadakan bibit unggul padi dan jagung sehingga menganggap perlu menggandeng kalangan perguruan tinggi untuk memecahkan dan mengatasinya.
Saya terus terang heran mengapa beliau-beliau harus 'pusing' bahkan bingung menghadapi hal tersebut? Bukankah kita sejak 1965 sudah mempunyai jenis-jenis padi unggul bahkan ketela (singkong) hasil penelitian para petani; Yagus dan Martief Djemain. Bahkan, untuk jenis padi, hasil karya Martief Djemain dari Jawa Timur diberi nama oleh Bung Karno Padi Marhaen.
Jenis padi-padian tadi rasanya lebih gurih, kering, dan umur panennya singkat sehingga dalam setahun dapat beberapa kali panen. Kalau saja pada era Orde Baru yang sukses berswasembada pangan dan di Orde Reformasi kita tetap mengembangkan karya-karya Yagus dan Martief Djemain, saat ini mungkin tidak terlalu 'pusing' dalam pengadaan pangan, khususnya beras.
Beberapa kalangan memang tidak menghendaki dikembangkannya jenis padi karya Yagus karena keanggotaannya di BTI (Barisan Tani Indonesia) yang dianggap berafiliasi kepada PKI. Baiklah, kita tolak padi Yagus, bagaimana dengan padi 'nonkomunis' karya Martief Djemain yang anggota ormas Petani dan berafiliasi kepada PNI Front Marhaenis dan padinya bernama Padi Marhaen yang tidak kalah ampuh dengan karya Yagus. Namun, baiklah dalam kenyataannya saat ini kita sulit untuk mendapatkan bibit padi Marhaen karena Martief Djemain sudah almarhum. Sementara itu, ahli warisnya tidak meneruskan usaha-usaha sang ayah tadi.
Resep
Bung Karno untuk mencukupi pangan
Kalau saja PKI tidak keblinger menjadi kontra revolusi dengan mengadakan gerakan Gestok sehingga melahirkan Orde Baru yang melakukan proses desukarnoisasi secara terencana dan masif, mungkin Bung Karno sempat melaksanakan resepnya untuk melaksanakan berdikari dalam bidang pangan tanpa bersusah payah mengadakan food estate, intensifi kasi pertanian yang memerlukan biaya mahal.
Adapun resep Bung Karno tadi sebenarnya sangat sederhana dan masuk akal; Bung Karno minta agar seluruh warga Indonesia kembali kepada menu aslinya, seperti di zaman Majapahit tempo dulu (sekitar abad 13-14), misalnya, penduduk Jawa menu utamanya ialah beras. Penduduk Indonesia Timur (Bali, Lombok, Timor-Timur) kembali bermenu utama Jagung, kawasan Ambon kembali ke menu sagu, dan seterusnya.
Kemudian Padi Yagus dan Martief Djemain (Padi Marhaen) dikembangkan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan beras untuk seluruh Indonesia, khususnya pulau Jawa. Bila berlebih, diekspor ke mancanegara untuk memperoleh tambahan devisa.
Pada waktu gencar-gencarnya kita melakukan kampanye pembebasan Irian Barat sebelum Trikora dikumandangkan untuk memperoleh tambahan devisa guna pembelian alutsista saat itu, Bung Karno memerintahkan agar seluruh warga Indonesia berhenti makan nasi beras dan mengganti dengan nasi jagung. Seluruh stok beras yang ada harus diekspor agar memperoleh tambahan devisa.
Dari Bung Karno beserta keluarga, pejabat-pejabat negara, angkatan bersenjata, dan keluarganya harus makan nasi jagung. Tidak bisa dimungkiri beberapa di antara mereka murus-murus alias diare terlebih dahulu sebelum dapat beradaptasi dengan menu baru.
Sayang, sebelum seluruh resep Bung Karno tadi dapat dilaksanakan, pada 1967 Bung Karno sudah didongkel sebagai Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Walaupun begitu, mudah-mudahan di era Reformasi ini program-program pangan yang sedang dilaksanakan secara gencar oleh Presiden Joko Widodo insya Allah dapat terlaksana tanpa halangan. Karena itu, kita bukan hanya berswasembada pangan, melainkan juga dapat berdiri di atas kaki sendiri di bidang pangan sekaligus bidang ekonomi. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kita optimistis hal tersebut dapat tercapai sebelum 2024 dengan sukses. []
MEDIA INDONESIA, 24 Juli 2021
Guntur Soekarno | Pemerhati Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar