Afghanistan: Kembalinya Taliban (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Mengapa Amerika Serikat (AS) dan sekutu bisa kalah dari Taliban? AS terpaksa keluar dari Afghanistan yang mereka duduki sejak 2001.
Padahal, mereka memiliki kekuatan dan peralatan militer canggih dan didukung angkatan bersenjata dan Pemerintah Afghanistan sejak Presiden Hamid Karzai (2001-2002) sampai Presiden Ashraf Ghani (29 September 2014-15 Agustus 2021).
Kekalahan AS dan sekutu di tangan Taliban lebih parah dari kekalahan Uni Soviet yang menduduki Afghanistan sejak akhir 1979 sampai angkat kaki pada awal 1989.
Soviet takluk menghadapi perlawanan Mujahidin Afghan yang dibantu AS, negara-negara Eropa, Pakistan, dan Arab. Mengapa kekuatan militer asing (AS dan Soviet) yang secara persenjataan dan logistik lebih lengkap bisa dikalahkan barisan perlawanan lokal Taliban atau sebelumnya Mujahidin?
Mengapa kekuatan adikuasa yang kalah dari waktu ke waktu itu tidak pernah mau belajar untuk tidak mudah menduduki negara lain—apa pun alasannya?
Pertanyaan terkait mengapa pula kekuatan militer asing bisa terjerumus masuk ke Afghanistan. Faktor apa yang membuat Afghanistan rentan pada campur tangan dan pendudukan militer asing?
Menjawab beberapa pertanyaan itu, niscaya banyak pelajaran bisa diambil dari pengalaman pahit Afghanistan dalam 40 tahun lebih. Bangsa Afghan dan masyarakat internasional, tak hanya Rusia (pelanjut Uni Soviet), AS, dan sekutu, tapi juga negara lain—termasuk Indonesia harus berupaya agar tidak terjerumus ke dalam kepahitan.
Pelajaran pertama, suku bangsa, kabilah, dan kaum yang berbeda mesti belajar hidup rukun, toleran, dan saling mengakomodasi agar bisa hidup berdampingan damai.
Suku atau kabilah besar mesti tidak mendominasi kekuasaan; sebaliknya berbagi kekuasaan (power sharing/)—membentuk pemerintahan inklusif buat semua. Jika ini tidak dilakukan, negara-bangsa niscaya selalu dipenuhi konflik dan perang saudara.
Negara-bangsa Afghanistan majemuk dalam demografi yang pada 2021, diestimasi berjumlah sekitar 30 juta; terdiri atas sembilan kelompok etnis berbasis kabilah (tribal). Pashtun adalah etnis terbesar; sekitar 38-42 persen.
Pashtun penganut Sunni yang dominan atau hegemonik dalam seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik Afghanistan. Suku Tajik etnis kedua terbesar, sekitar 20 persen; mereka berbahasa Persia dan umumnya penganut Suni.
Secara historis, dulu banyak orang Tajik menjadi birokrat, intelektual, dan berpunya. Kaum Tajik Afghan--berasal dari negara Tajikistan—terkonsentrasi di Lembah Panjshir, yang dibentengi Pegunungan Hindu Kush, 120 km timur laut Kabul.
Mereka lawan perang tangguh yang belum berhasil ditundukkan Taliban. Sebagian besar mereka (mantan) Mujahidin yang berhasil mengusir Soviet pada 1989.
Panglima perang etnis Tajik kini Ahmad Massoud, putra panglima barisan pejuang Afghan terkenal melawan Soviet, Ahmad Shah Massoud, yang tewas dibunuh kaki tangan Alqaidah pada 2001.
Kemudian etnis lebih kecil: Uzbek, Turkish, Aimaq, Sadat, Baloch, dan Hazara (Syiah). Mereka praktis terpinggirkan dalam kehidupan sosial-budaya, ekonomi, dan politik Afghanistan dari waktu ke waktu. Bahkan, Hazara Syiah menjadi sasaran persekusi etnis Pashtun.
Atas alasan itu, etnis atau kabilah kecil ini juga melawan Taliban sebagai kekuatan dominan, walau ditumpas kaum Pashtun. Perlawanan yang juga paling tangguh datang dari suku Uzbek, di utara dekat perbatasan dengan negara asal mereka Uzbekistan.
Perlawanan berlangsung di bawah pimpinan ‘raja perang’ (warlord) Abdul Rashid Dostun. Namun, dia melarikan diri ke negara asalnya Uzbekistan ketika Taliban (16 Agustus 2021) berhasil menguasai Mazar e-Sharif, ibu kota Provinsi Balkh yang mayoritas penduduknya suku Uzbek.
Dengan perang antaretnis dan antarkabilah yang berkelanjutan, tak aneh jika Afghanistan adalah ‘negeri para raja perang’ (lands of warlords).
Mereka tidak hanya sibuk perang sesama mereka untuk penguasaan wilayah, tetapi juga pengendalian sumber ekonomi dan keuangan yang sangat terbatas, kecuali opium. Perang menjadi ‘gaya hidup’ di kalangan banyak kelompok etnis dan kabilah Afghanistan.
Masa damai di Kota Kabul, Kandahar, atau Mazar e-Sharif selalu sementara. Pemerintah pusat di Kabul berkuasa agak efektif hanya di sebagian wilayah ibu kota yang penuh benteng beton, pagar tinggi, dan rintangan jalan raya.
Dalam perjalanan waktu, tingkat kekerasan dalam perang intra-Afghan juga meningkat. Puncaknya, penggunaan bom bunuh diri.
Koneksi dan jaringan antara berbagai kelompok perang dan organisasi militan semacam Alqaidah dan Usamah bin Ladin atau kemudian juga ISIS, mempercepat peningkatan kecanggihan senjata atau alat pembunuh lain.
Dengan perang yang membudaya, daya tahan berbagai warlords, khususnya Taliban sungguh luar biasa. Inilah war of attrition, perang daya tahan yang terbukti tidak bisa dikalahkan kekuatan militer digdaya semacam Uni Soviet atau AS dan sekutunya.
Penyebab utamanya, negara-negara adikuasa ini gagal memahami sosiologi konflik religio-etnis, religio-tribal, dan religio-politik Afghanistan. []
REPUBLIKA, 09 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar