Rabu, 08 September 2021

Azyumardi: Krisis Melayu Malaysia (3)

Krisis Melayu Malaysia (3)

Oleh: Azyumardi Azra

 

‘Tak ‘kan Melayu hilang di dunia. Bumi bertuah negeri beradat’. Krisis politik Malaysia yang melibatkan aktor-aktor Melayu, kembali kambuh sejak akhir Juli 2021. Prahara politik ini memperlihatkan skisma, friksi, dan kontestasi di antara kuasa politik puak Melayu.

 

Krisis politik muncul akibat kebijakan PM Muhyiddin Yassin (26/7), yang tidak memperpanjang darurat Covid-19 negara Malaysia selepas 1 Agustus 2021.

 

Pelaksana Tugas Menteri Hukum, Taqiyuddin Hassan menyatakan, enam regulasi terkait keadaan darurat telah dicabut pemerintah PM Muhyiddin (21/7). Krisis politik Malaysia sempat terhenti penyebaran Covid-19 sejak Maret 2020.

 

Setelah relatif berhasil mengendalikan wabah Covid-19, sepanjang Juli 2021 jumlah warga Malaysia yang terinfeksi dan wafat meningkat cepat. Pencabutan keadaan darurat negara di tengah peningkatan Covid-19 membangkitkan kembali krisis politik Malaysia.

 

Yang Dipertuan Agung, Sultan Abdullah Ri’ayatuddin tidak menyetujui penghapusan keadaan darurat. Walaupun Menteri Hukum Taqiyuddin dan Jaksa Agung Idrus Harun mengeklaim ketika audiensi pada 24 Juli, Yang Dipertuan Agung menyetujui pencabutan keadaan darurat.

 

Dalam tradisi politik Melayu, kebijakan PM Muhyiddin Yassin termasuk ‘durhaka’ pada Raja. Dalam fiqh siyasah klasik, tidak mematuhi raja adalah ‘bughat’, pembangkangan pada daulat tuanku sultan atau raja.

Dalam masa Federasi Malaysia sejak merdeka 1957, raja kepala negara adalah Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Yang Dipertuan Agung(YDA).

 

Posisi DYMM YDA, sebagai kepala negara, dipergantikan di antara raja-raja sembilan kerajaan negeri (negara bagian) yang dipimpin raja atau sultan.

 

Penguasa kerajaan atau kesultanan adalah Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Trengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor, dan Sultan Perak.

 

Empat negara bagian lain,  Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Putrajaya dan Labuan), Pulau Pinang, Sabah, dan Serawak. Keempat negara bagian ini bukan dipimpin raja, melainkan Datuk Bandar atau Kepala Menteri atau Yang Dipertua Negeri (TYT atau gubernur negara bagian).

 

DYMM Yang Dipertuan Agung ke-16 sekarang adalah Sultan Pahang, Abdullah Ri’ayatuddin al-Mustafa Billah Shah, yang menaiki singgasana pada 31 Januari 2019. DYMM YDA Sultan Abdullah menggantikan DYMM Sultan Muhammad V, Kerajaan Kelantan.

 

Adalah DYMM YDA Sultan Abdullah yang memberi mandat pada Muhyiddin Yassin menjadi PM pada 29 Februari 2020.

 

Beberapa hari sebelumnya, Malaysia terjerumus ke dalam krisis politik, menyusul pengunduran diri mendadak Mahathir Mohamad sebagai PM. Dia dipilih kembali sebagai PM sejak 10 Mei 2018.

 

Namun, Mahathir Mohamad (94 tahun) memutuskan mundur dari jabatan PM karena merasa gagal membentuk pemerintahan persatuan yang mengatasi konflik politik.

 

Dia menginginkan pemerintahan persatuan yang terdiri atas individu-individu tokoh; mereka dia harapkan tidak mewakili partai-partai yang masih terus terlibat konflik dan kontestasi kekuasaan.

 

Rencana mundur PM Mahathir awalnya ditolak pimpinan Koalisi Pakatan Harapan (PH), termasuk Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM), partai yang juga dipimpin Mahathir.

 

Bersama partai-partai oposisi, PPBM meminta Mahathir bertahan sebagai PM sampai pilihan raya berikutnya daripada menyerahkan kekuasaan seperti dijanjikan sebelum Pilihan Raya Mei 2018 kepada Anwar Ibrahim, pimpinan Parti Keadilan Rakyat (PKR).

 

Krisis politik segera kembali muncul. Koalisi Pakatan Harapan berantakan. Akibatnya, pemerintah tidak bertahan karena tidak didukung minimal 112 suara anggota Parlemen Malaysia.

 

PM Mahathir menyatakan mundur dan menyerahkan mandat kepada Yang Dipertuan Agung Sultan Abdullah Ri’ayatuddin.

 

Yang Dipertuan Agung bukan mengangkat Mahathir sebagai PM sementara—seperti diharapkan para pendukungnya—tetapi memberikan mandat kepada Muhyiddin Yasin.

 

Mengeklaim didukung 112 anggota parlemen, Muhyidin, presiden PPBM yang mendepak Mahathir dari PPBM, resmi dilantik Yang Dipertuan Agung sebagai PM (1 Maret 2020).

 

Kekuatan-kekuatan politik lain, khususnya masing-masing yang dipimpin Mahathir Mohamad atau Anwar Ibrahim, melakukan manuver politik untuk menggulingkan Muhyiddin Yassin. Masing-masing pihak mengeklaim dukungan 113 atau 114 kursi parlemen.

 

Namun, PM Muhyiddin mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. Tetapi kini, krisis kembali mengancam kekuasaannya. Berbagai partai politik, termasuk Mahathir Mohamad, Anwar Ibrahim, ormas seperti ABIM dan kelompok masyarakat, menuntut atau melakukan aksi unjuk rasa agar PM Muhyiddin Yassin mengundurkan diri.  []

 

REPUBLIKA, 05 Agustus 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar