Di kalangan pegiat kesetaraan gender, sektor keagamaan masyarakat Muslim dipandang masih terlalu didominasi laki-laki. Merujuk pada beragam data, kita akan mudah menjumpai bahwa penceramah atau tokoh agama yang populer kebanyakan adalah di kalangan pria. Meskipun sudah mulai banyak usaha mengorbitkan ulama perempuan, rupanya dampak ketimpangan dan kurangnya representasi perempuan itu telah merembet ke banyak urusan lain seperti pekerjaan maupun kepemimpinan.
Oleh sebagian ahli agama, perempuan dinilai “tidak sesempurna” pria. Pernyataan itu diklaim bersumber dari teks agama. Salah satu jenis keterangan yang sering dikutip terkait kekurangan perempuan adalah bahwa perempuan itu kurang akal dan agamanya, dengan redaksi kurang lebih seperti ini:
...النساء ناقصات عقل و دين...
Sebenarnya, pernyataan itu bisa dicari redaksi haditsnya yang lebih lengkap. Terkait hadits “perempuan kurang akal dan agamanya” itu, salah satu matan yang lengkap adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat banyak di antara kalian adalah penghuni neraka." Lantas seorang wanita yang pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita banyak menjadi penghuni neraka?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kalian banyak mengutuk dan mengingkari (pemberian nikmat dari) suami. Aku tidak melihat kaum yang kurang akal dan agamanya itu lebih banyak dari yang lebih memiliki akal – kecuali dari golongan kalian." Wanita itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Maksud kekurangan akal ialah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga kaum wanita tidak beribadah kala malam-malam juga akan berbuka pada bulan Ramadhan (karena sebab haid). Inilah yang dikatakan kekurangan agama." (HR al-Bukhari).
Redaksi hadits tersebut diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan banyak kitab hadits lainnya. Kualitas hadits ini dinilai shahih. Oleh Imam al-Bukhari, hadits ini dimasukkan dalam bab tentang persaksian perempuan.
Pensyarah hadits seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari bahwa hadits ini menjadi tafsir penjelas dari Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 – ayat yang terpanjang:
...وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى...
Artinya: "...Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki. Kalau tidak ada dua orang laki- laki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan untuk menjadi saksi ketika terjadi perselisihan. Sehingga, kalau yang satu lupa, yang lain mengingatkan..." (QS al-Baqarah: 282).
Ayat tersebut dibahas oleh para mufassir sebagai ayat yang membicarakan urusan perniagaan dengan cukup detail, termasuk persaksian dalam muamalah dan sengketa di dalamnya. Penggalan ayat tersebut secara terang menyebutkan bahwa “satu saksi pria” dan “dua saksi perempuan” jika tidak ada “dua saksi pria”, sejalan dengan hadits yang dikutip di atas.
Seorang saksi atau syahid dalam urusan-urusan muamalah atau jinayat secara umum perlu memiliki syarat berikut: Islam, adil, baligh, berakal, dapat berargumen, serta memiliki ingatan yang baik. Namun soal persaksian perempuan, meski ayat Al-Qur’an secara literal di atas menyebut secara khusus, rupanya ulama meninjaunya secara beragam.
Dalam Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, pendapat jumhur ulama adalah persaksian perempuan dalam masalah hudud dan jinayat tidak dapat diterima, lain halnya dengan urusan muamalah.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa persaksian kaum perempuan dapat diterima dalam urusan muamalah dan yang berkaitan dengan kekhususan fisik atau masalah mereka di luar masalah talak, rujuk, nikah dan pemerdekaan budak. Persaksian seorang perempuan pun dapat diterima dalam hal-hal yang perempuan lebih tahu dan memahami seperti melahirkan, menstruasi, menyusui, ataupun kecacatan fisik perempuan. Argumentasi mengapa perempuan “kurang” dalam urusan persaksian maupun keagamaan, dikatakan karena sebab biologis maupun psikologis yang ada pada perempuan.
Untuk alasan biologis misalnya, ulama menilai perempuan akan terganggu dengan perubahan situasi dan kondisi fisik seperti nifas, haid, dan masalah lainnya yang menyertai kehamilan.
Selain itu mereka menilai bahwa kodrat perempuan adalah melahirkan, menyusui, juga mengasuh anak di rumah. Hal-hal tersebut yang membuat mereka kurang memahami kondisi di luar rumah mereka, sehingga akan mempengaruhi persaksian-persaksian mereka khususnya dalam hal muamalah. Demikian kurang lebih keterangan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.
Sedangkan dalam aspek psikologis, perempuan dinilai lebih dominan dari sisi emosional maupun afeksinya. Dominannya faktor psikologis ini menjadikan para ulama menyatakan bahwa perempuan ini kerap kurang jernih dalam menimbang urusan-urusan publik, apalagi dalam konteks politik dan ekonomi – yang juga menjadi alasan mengapa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Fakta-fakta terkini menunjukkan bahwa argumentasi ulama seputar ‘illat hukum persaksian perempuan tersebut bisa didiskusikan kembali. Urusan domestik dan pengasuhan anak adalah beban orang tua, yang tidak hanya dibebankan pada perempuan kecuali tentu dalam hal menyusui. Selain itu, afeksi dan sikap emosional juga dapat ditemukan pada pria, tidak hanya pada wanita. Kepemimpinan perempuan di beragam negara juga cukup berhasil, seperti di era pandemi ini telah diwujudkan di Jerman atau Selandia Baru.
Ala kulli hal, kiranya keterangan Nabi di atas cukup jelas: “kurangnya akal perempuan” adalah hanya dalam persaksian, itu pun masih dalam ranah yang ijtihadi dan tidak ada putusan final. Pemahaman terhadap teks hadits tentang kekurangan akal yang dilakukan oleh ulama kebanyakan merujuk kepada situasi lingkungan yang mereka amati.
Di samping itu, perkara “kurangnya agama” akibat udzur ibadah bagi perempuan karena sebab haid, nifas atau melahirkan, adalah semata fitrah biologis. Hal itu tidak menjadikan perempuan manusia kelas dua, apalagi menjadi alat diskriminasi perempuan dari ruang publik dan keagamaan. Kalaupun hal itu dianggap “kekurangan perempuan”, alangkah banyaknya kelebihan bagi perempuan di luar halangan tersebut yang bisa dicapai sebagaimana juga dilakukan laki-laki. []
Muhammad Iqbal Syauqi, Alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; dokter alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar