Titik Balik Kebijakan
Oleh: Kwik Kian Gie
Diberitakan di berbagai media massa bahwa terjadi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan.
Setelah pertemuan ini Luhut memberikan keterangan pers. Diungkapkan, dalam pertemuan tersebut dibicarakan dua hal penting. Yang pertama, fokus tentang yang harus dikerjakan satu demi satu. Kalau terlampau banyak maunya, tidak akan satupun yang jadi. Yang kedua, hilirisasi nikel, yang bertolak belakang dengan kebijakan tentang sumber daya mineral di masa terdahulu.
Saya tak akan membahas tentang nikel. Tetapi saya mendukung pernyataan Luhut soal "kalau terlampau banyak maunya, satupun tidak akan ada yang jadi".
Bagi saya pernyataan ini tak bisa dipisahkan dari resesi ekonomi yang diperparah oleh pandemi Covid-19. Resesi ekonomi yang sedang kita hadapi adalah bagian dari gelombang pasang surut ekonomi (business cycle) yang merupakan semacam “hukum”.
Perekonomian suatu bangsa tak bisa terus meningkat tanpa batas, dan juga tak bisa merosot terus tanpa batas. Untuk mengatasi krisis, kita harus mengenali perbandingan antara Modal dan Tenaga Kerja. Kita bisa membaginya menjadi dua struktur yang saling bertentangan, yaitu kelompok teori overinvestment dan teori underconsumption.
"Underconsumption"
Menurut kelompok teori ini, cikal bakal krisis adalah kenaikan permintaan untuk barang-barang konsumsi yang tak setimpal dengan kenaikan kapasitas produksi dari barang-barang tersebut. Permintaan masih meningkat, tetapi naiknya tak setimpal dengan membesarnya kapasitas produksinya. Karena permintaan tak dapat menyerap volume produksi, tak ada gunanya memperluas kapasitas lebih lanjut. Gairah untuk investasi berkurang.
Di sini awal krisis karena berkurangnya gairah investasi, investasi menurun, yang mengakibatkan pendapatan menurun, dengan akibat konsumsi menurun. Konsumsi menurun berarti permintaan terhadap barang konsumsi menurun, sehingga gairah investasi tambah menurun lagi dan seterusnya.
Terjadilah spiral ke arah menurunnya seluruh kegiatan ekonomi dan menurunnya indikator-indikator makro ekonomi. Menurut teori ini, sebab utama adalah konsumsi yang tidak bisa membengkak terus sesuai dengan pembengkakan kapasitas produksinya.
Maka, menurut kelompok teori ini, obatnya adalah kita harus meningkatkan konsumsi dengan cara memompa atau menambah daya beli masyarakat, kalau perlu dengan deficit spending. Sasarannya biasanya pembangunan proyek-proyek prasarana oleh pemerintah. Kalau pola krisis dan resesi seperti ini, investasi proyek-proyek besar disyukuri.
Para pencetus atau penganut teori ini dengan nuansa dan variasi masing-masing adalah Samuelson melalui teori akselerasi dan multiplier; Aftalion dengan memasukkan unsur gestation period; Hicks, Harrod dan Haberler yang melihat mentoknya unsur manusia sebagai faktor produksi; Kaldor dan Kalecki yang melihatnya dari segi psikologis, yaitu faktor kejenuhan manusia; dan Schumpeter yang menjelaskan dari kurangnya inovasi untuk berinvestasi.
"Overinvestment"
Inti dari teori overinvestment adalah bahwa investasi yang selama gelombang pasang memang selalu lebih besar daripada tabungan, dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank yang semakin membesar. Artinya, selama gelombang pasang, pembentukan modal sendiri (equity capital) tertinggal dibandingkan kesempatan dan gairah investasi. Maka investasi dilakukan dengan kredit dari bank yang kian lama kian membengkak. Kesediaan dan kemampuan bank tak akan berkelanjutan tanpa batas. Suatu saat, kredit bank akan berkurang.
Dengan demikian investasi akan berkurang, dan krisis dimulai. Pemikiran ini tampak jelas pada Machlup. Witteveen mengatakan, selama kesempatan bisnis atau investasi masih ada, walaupun investasi dibiayai oleh kredit bank, peningkatan investasi tersebut akan mengakibatkan kenaikan pendapatan yang berganda lewat multiplier.
Pendapatan yang meningkat akan membentuk pula tabungan yang meningkat yang cukup untuk menutup investasi yang awalnya dibiayai dengan kredit bank. Maka selama kita masih belum mentok pada salah satu faktor produksi, investasi bisa terus dilakukan.
Namun kelompok teori overinvestment menekankan, walau kredit bank bisa dipakai sebagai pembiayaan investasi, pasti akan ada faktor produksi yang jadi kendala dalam gelombang pasang. Faktor produksi ini menjadi rebutan dan harganya akan naik.
Maka untuk mempertahankan volume investasi, dibutuhkan lebih banyak lagi modal, karena adanya peningkatan harga pada faktor produksi yang sudah jadi langka. Dengan demikian, kebutuhan akan pembiayaan bank akan membengkak, sehingga akhirnya banknya sendiri akan tersendat dalam kemampuannya.
Bilamana sumber pembiayaan bagi investasi ini tersendat, investasinya tentu akan tersendat pula, dan dengan menurunnya investasi, krisis dimulai. Jadi mentoknya akhirnya pada faktor modal lagi.
Saya sendiri ingin menambahkan bahwa rentabilitas dari seluruh investasi (Return On Investment/ROI) tak selalu lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank. Bilamana RoI lebih kecil dari tingkat suku bunga, perusahaan yang memakai banyak kredit akan berguguguran dengan kebangkrutan, atau dipaksa menciutkan skala usahanya.
Sekarang kita telaah lebih dalam, apa sebenarnya inti perbedaan antara kedua kelompok teori itu. Teori overinvestment melihat bahwa cikal bakal krisis muncul selama gelombang pasang sedang berlangsung, karena kuatnya keinginan untuk investasi, sehingga akhirnya pertumbuhan investasi ini mentok pada pembiayaannya, yang selalu ditutup oleh kredit bank. Kredit bank ada batasnya, sehingga pada saat pembiayaan oleh bank tersendat, krisis terjadi.
Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat usaha menghindarkan diri dari krisis harus dilakukan selama gelombang pasang sedang berjalan. Tak boleh ditunggu sampai krisis sudah terjadi. Bahkan banyak penganut teori ini mengatakan apabila krisis sudah terjadi, kita tak bisa berbuat lain kecuali menyerahkan penyembuhannya pada proses alamiah yang sangat menyakitkan. Artinya, kita tak bisa berbuat lain kecuali membiarkan resesi sampai mencapai titik balik terendah, dan proses gelombang pasang dimulai lagi berdasarkan titik keseimbangan baru yang terletak pada tingkat "the lower turning point. "
Pada kelompok teori underconsumption, cikal bakal krisis adalah pertumbuhan konsumsi yang kurang sepadan dengan pertumbuhan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi. Oleh karena itu, penanganan krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi setelah krisis terjadi. Jadi, krisis diatasi dengan meningkatkan konsumsi.
Pada teori overinvestment, krisis hendaknya diperlunak dengan cara mengurangi konsumsi dan investasi, agar bisa memperbesar tabungan. Tindakanyapun harus cukup dini selama gelombang pasang masih berlangsung. Kalau sudah terlambat, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali menjalani proses yang sangat menyakitkan.
Contoh bagi kita saat ini antara lain adalah megaproyek yang mencapai puluhan miliar dollar AS. Berapa besar yang sudah dibangun setengah jalan? Jika diteruskan tak ada uangnya. Kalau dihentikan akan jadi besi tua. Ini antara lain yang saya artikan dengan proses menyakitkan.
Kita lihat dengan jelas bahwa terapi yang disajikan oleh teori underconsumption bertolak belakang dengan terapi yang disajikan oleh teori overinvestment. Baik instrumen yang dipakai maupun timing penanganannya. Maka pertanyaan yang paling krusial adalah teori manakah yang saat ini kira-kira berlaku bagi Indonesia?
Sebelum menelusuri lebih dalam, kita teropong terlebih dulu hubungan antara kedua kelompok teori ini dengan struktur ekonomi makro kita, karena teori mana yang berlaku bagi sesuatu negara dalam suatu kurun waktu tertentu, sangat banyak ditentukan oleh struktur ekonomi makronya yang berlaku dalam kurun waktu yang bersangkutan.
Struktur dan siklus bisnis
Dalam analisis ini yang diartikan dengan struktur adalah perbandingan antara modal dan tenaga kerja. Kegiatan ekonomi atau investasi dan produksi tak lain adalah mengombinasikan faktor produksi tenaga manusia dan modal untuk mengolah alam menjadi barang-barang konsumsi dan alat-alat produksi. Jarang sekali terjadi untuk jangka waktu yang cukup lama, jumlah tenaga kerja yang tersedia tepat cukup untuk dikombinasikan dengan jumlah modal yang ada.
Untuk periode yang cukup lama, modal lebih banyak daripada tenaga kerja yang tersedia. Struktur yang demikian kita namakan "struktur langka tenaga kerja". Keadaan yang sebaliknya adalah bahwa kita selalu kekurangan modal untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi seluruh angkatan kerja. Struktur ini kita namakan "struktur langka modal".
Witteveen berpendapat, dengan struktur langka modal, yang berlaku adalah teori overinvestment. Dalam kurun waktu yang ditandai oleh struktur langka tenaga kerja, yang berlaku adalah teori underconsumption. Tanpa penelaahan lebih dalam, hubungan ini memang logis. Kurang modal berarti faktor ini yang akan mentok terlebih dahulu. Jadi klop dengan overinvestment seperti tergambarkan tadi. Kurang tenaga manusia berarti kurang mulut yang berkonsumsi. Jadi klop dengan underconsumption.
Kita melihat bahwa pada teori underconsumption, struktur yang melandasi penyebab krisis adalah tiadanya kesempatan untuk menginvestasikan tabungan, karena faktor tenaga kerja sudah terpakai habis. Dalam struktur yang ditandai oleh langka modal, kita dihadapkan pada kecenderungan yang kuat dan terus-menerus untuk melakukan investasi agar bisa memberikan lapangan kerja kepada penduduknya.
Kecenderungan kuat ini lalu dipaksakan dengan pembiayaan-pembiayaan melalui kredit bank. Seperti diuraikan diatas, pembiayaan semacam ini tak bisa berkelanjutan tanpa batas. Kredit bank akan tersendat, dan biaya-biaya investasi akan meningkat.
Kasus Indonesia
Tanpa penelitian lebih lanjut, rasanya bagi Indonesia, seperti halnya negara-negara berkembang lain, struktur pada umumnya adalah langka modal. Maka yang berlaku adalah teori overinvestment.
Berdasarkan teori ini, tak akan banyak manfaatnya meningkatkan investasi terus dengan memompa atau memperbesar daya beli masyarakat, sebab krisis terjadi justru karena overinvestment. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah sekadar supaya resesi tak jadi terlampau parah.
Secara mental kita harus sudah siap dengan proses alamiah untuk mencapai keseimbangan baru. Yang dapat dilakukan adalah kebijakan uang ketat (tight money policy/TMP), penjadwalan kembali proyek-proyek besar tanpa pandang bulu milik siapa, pengendalian kredit komersial dari luar negeri dan semua yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Pokoknya mengerem investasi. Dengan mengerem investasi kita memang memasuki resesi yang akan merupakan proses yang menyakitkan, tetapi tak bisa kita hindarkan. Ini adalah biaya yang dari waktu ke waktu harus kita bayar karena kita ingin memiliki ekonomi yang tak sentralistik dan tidak otoriter.
Lagi pula, sistem ekonomi demikian terbukti sudah bangkrut. Kita harus menghadapi resesi dengan tenang dan wajar, karena gelombang ekonominya sedang surut. Kita berkonsolidasi untuk boom yang pasti akan datang setelah kita mencapai the lower turning point.
Dalam kerangka inilah harus kita lihat keteguhan hati pemerintah mempertahankan TMP, apapun risikonya. Risiko ini antara lain kebangkrutan perusahaan tertentu, PHK, menciutnya investasi dan seterusnya. Pendeknya, semua gejala yang menandai resesi.
Hendaknya para pengusaha jangan berteriak-teriak minta pelonggaran TMP, minta suku bunga diturunkan, apalagi melakukan berbagai trik dan manipulasi. Dalil dan hubungan kausal serta hubungan interdependen antara berbagai faktor yang berlaku untuk rumah tangga perusahaan sangat berbeda dengan rumah tangga bangsa. Kalau Anda tak mau tahu dan karenanya tak menyesuaikan kebijakan Anda, Anda akan hancur atau Anda akan menghancurkan ekonomi nasional.
Dalam sistem ekonomi yang berlaku dan pasti Anda kehendaki kelangsungannya, pahami juga hukum-hukum dan mekanisme rumah tangga bangsa. Yang Anda pahami adalah hukum-hukum dan mekanisme rumah tangga perusahaan. Bagi perusahaan yang sanggup bayar, mulailah menyewa ahli ekonomi makro dan moneter.
Mengenai para bankir yang bermaksud baik ingin menurunkan tingkat suku bunga, saya hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, mengertikah mereka apa yang sedang berlangsung dengan proses ekonomi nasional kita, mengertikah mereka hukum-hukum dan mekanisme gelombang pasang surutnya ekonomi makro dan moneter yang melekat pada sistem ekonomi kita?
Yang perlu ditegakkan adalah konsistensi dalam pelaksanaan dan disiplin baja tanpa pilih kasih. Yang perlu dipantau dan diantisipasi adalah perubahan kondisi psikologi massa yang setiap saat mendadak bisa mencapai momentumnya, agar theory of the rational expectation tak terjadi. Pemerintah perlu siap dengan gebrakan-gebrakan psikologis bilamana sewaktu-waktu nanti diperlukan. []
KOMPAS, 1 September 2021
Kwik Kian Gie Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001 - 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar