Jumat, 30 Oktober 2020

(Do'a of the Day) 13 Rabiul Awwal 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Anta syamsun anta badrun,

Anta nuurun fauqa nuuri.

Anta iksiiru wa ghaali,

Anta mishbaahushshuduuri...

 

Yaa habiibi yaa muhammad,

Yaa 'aruusal khaa fiqaini.

Yaa muayyad yaa mumajjad,

Yaa imaamal qiblataini...

 

Engkau bagaikan matahari, engkau bagaikan bulan purnama,

Engkau bagaikan cahaya di atas cahaya.

Engkau adalah mukjizat yang mahal sekali,

Engkau adalah lentera penerang hati...

 

Wahai kekasihku, wahai muhammad nabiku,

Wahai  pemimpin barat dan timur.

Wahai nabi yang diberi mukjizat, wahai nabi yang dimuliakan,

Wahai imam dua kiblat... (masjidil haram dan masjidil aqsha)

 

Allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaihi.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam, dan berkah kepada Nabi SAW.

 

[]

 

Dari Kitab iqdl al-Jawahir ditulis oleh Syekh Jafair Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim

(Khotbah of the Day) Mengobati Hati dari Penyakit Riya'

KHUTBAH JUMAT

Mengobati Hati dari Penyakit Riya'

 

Khutbah I


اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف: ١١٠) ـ


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Takwa adalah kata yang ringan untuk diucapkan, akan tetapi berat dalam timbangan amal perbuatan. Takwa tempatnya adalah hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dadanya tiga kali dan mengatakan: 

 

اَلتَّقْوَى هَا هُنَا، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا (رَوَاهُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ) ـ


Maknanya: “Takwa ada di sini, takwa ada di sini” (HR Ahmad dalam Musnad-nya).


Jadi, hati adalah pemimpin anggota badan. Jika hati baik, maka seluruh anggota badan akan baik sehingga orang menjadi bertakwa. Sebaliknya jika hati rusak, maka anggota badan menjadi rusak sehingga orang menjadi pelaku maksiat. Maka marilah kita bertakwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan akhirat. Allah ta’ala berfirman:


يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (سورة الشعراء: ٨٨-٨٩) ـ


Maknanya: “(yaitu) di hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang dihisab oleh Allah dengan hati yang bersih (dari kekufuran)” (QS asy-Syu’ara’: 88-89) 


Saudaraku seiman rahimakumullah,

 

Oleh karenanya mari kita perbaiki hati kita dengan menerapkan adab-adab yang diajarkan dalam Islam secara lahir dan batin. Kita obati hati dengan mengikuti ajaran Allah ta’ala dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita obati hati kita karena hati memiliki penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati oleh para dokter. Penyakit-penyakit hati itu hanya bisa diobati dengan kesungguhan kita mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Di antara penyakit hati adalah riya’, yaitu melakukan bentuk ketaatan agar dilihat oleh orang lain dengan tujuan mengharapkan pujian darinya. Allah ta’ala berfirman: 


وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (سورة البيّنة: ٥) ـ


Maknanya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS al Bayyinah: 5)


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Mari kita ikhlaskan niat selalu hanya karena Allah ta’ala dan jangan sampai jatuh pada maksiat riya’. Sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits qudsi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman:

   

أَنَا أَغْنَىْ الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ (رواه مسلم) ـ


Maknanya: “Aku tidak menerima tujuan lain dalam beramal, barangsiapa melakukan satu amal perbuatan dan memiliki tujuan lain selain ridha-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan tidak menerimanya”  (HR Muslim)


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Jika kita melakukan suatu amal perbuatan untuk mencari pahala dari Allah dan sekaligus mengharap pujian sesama manusia, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut dari kita. Jadi seseorang yang melakukan amal perbuatan yang disertai riya’, maka tidak ada pahalanya sama sekali, bahkan dia berdosa karena riya’nya. Oleh karenanya, marilah kita introspeksi diri. Kita awasi dan amati hati kita. 


Jika kita melakukan shalat lima waktu sendirian, kita tidak mengiringinya dengan shalat sunnah rawatib, tapi jika kita shalat berjamaah di masjid, kita mengiringinya dengan shalat sunnah rawatib. Kita tanyai diri kita, kenapa kita melakukan itu? 


Jika kita melakukan shalat sendirian, kita selesaikan dengan cepat dan hanya melakukan rukun-rukunnya saja, sedangkan jika berada di tengah-tengah banyak orang kita perpanjang shalat kita, kita berusaha untuk menghadirkan rasa khusyu’ dan kita baguskan shalat kita, maka tanyakanlah kepada diri kita, kenapa kita melakukan itu?


Apakah kita menginginkan pujian sesama hamba? Apakah kita ingin agar dihormati oleh mereka? Apakah ini lebih kita sukai daripada ridha Allah ta’ala? Padahal seluruh manusia adalah makhluk-makhluk ciptaan Allah sama seperti kita. Mereka tidak dapat menciptakan manfaat maupun mudlarat. Mereka tidak bisa memberikan manfaat kepada kita atau mencelakai kita kecuali atas kehendak Allah. Kenapa kita memilih dicela oleh Allah agar dipuji oleh sesama hamba? Pujian mereka kepada kita tidak akan menambah rezeki, tidak menunda ajal dan tidak bermanfaat bagi kita dalam kehidupan akhirat. Oleh karenanya, obatilah hati kita dari penyakit riya`. Kita jadikan ridha Allah Sang pencipta kebaikan dan keburukan sebagai tujuan kita. Kita ikhlaskan niat karena Allah dan jangan kita pedulikan apakah orang mencela atau memuji kita. Sungguh kebaikan seluruhnya ada pada ridha Allah subhanahu wa ta’ala.


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Marilah bersama-sama kita renungkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: 


Ketika majelis Abu Hurairah usai dan orang-orang pergi meninggalkan majelis, maka Natil–seorang penduduk Syam–berkata kepada Abu Hurairah:  Wahai Guru, sampaikanlah kepada kami sebuah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah berkata: Iya, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang pertama kali diberikan keputusan kepadanya di hari kiamat adalah orang yang tewas di medan peperangan. Ia pun didatangkan dan diingatkan tentang nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya di dunia maka dia pun mengingatnya. Dikatakan kepadanya: Apa yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Dia pun menjawab: aku berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid. Maka dikatakan kepadanya: Engkau telah berdusta, engkau berperang untuk dikatakan sebagai pemberani dan itu sudah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret dengan posisi muka di bawah hingga dilempar ke neraka. Begitu juga seorang hamba yang telah mempelajari ilmu agama, mengajarkannya dan rajin membaca al Qur`an, maka didatangkan dan diberitahukan nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya, maka ia pun mengingatnya. Ditanyakan kepadanya: Apakah yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Ia menjawab: Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca al Qur`an karena-Mu ya Allah. Dikatakan kepadanya: Engkau berdusta, kenyataannya engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai ulama, engkau membaca al Qur`an agar engkau dikatakan pandai membaca al Qur`an dan ini telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan posisi muka di bawah sehingga dilempar ke neraka. Begitu juga seseorang  yang Allah lapangkan rezekinya dan Allah berikan kepadanya seluruh jenis harta, maka ia didatangkan, diingatkan tentang nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengingatnya. Dikatakan kepadanya: Apa yang engkau lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut? Ia pun menjawab: Aku tidak meninggalkan jalan infaq yang Engkau anjurkan kecuali aku infaqkan hartaku untuk meraih ridha-Mu ya Allah. Lalu  dikatakan kepadanya: Engkau berdusta, engkau lakukan ini agar dikatakan sebagai dermawan dan itu telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret dengan posisi muka di bawah sehingga dilemparkan di neraka”  (HR Muslim).


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,


Jika kita melakukan shalat, maka kita lakukan karena Allah. Jika kita bersedekah, maka kita bersedekah karena Allah. Jika kita perindah akhlak, kita lakukan itu karena Allah. Jika kita belajar ilmu agama, maka juga karena Allah. Jika kita mengajarkan ilmu agama, maka kita mengajar karena Allah. Jika kita menaati Allah, maka kita taat karena semata-mata ingin meraih ridha-Nya. Jika kita melakukan itu semua bukan karena Allah melainkan karena tujuan-tujuan lain, maka sia-sialah umur kita dan alangkah ruginya waktu kita.


Hadirin rahimakumullah,

 

Demikian khutbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. 


أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah II


اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا،  ـ


أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ


عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Biro Peribadatan & Hukum, Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto

Malang Tumbang, Markas Hizbullah-Sabilillah Pindah ke Solo

Belum genap 2 tahun bangsa Indonesia menikmati udara kemerdekaan, pada tahun 1947, Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu (Inggris), melancarkan serangannya secara serentak terhadap daerah-daerah Republik Indonesia. Serangan itu dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Di front timur, setelah merebut Magelang, Belanda melanjutkannya ke Surabaya dan Malang.

 

Beita buruk tumbangnya Malang, yang merupakan Markas Tertinggi pasukan Hizbullah dan Sabilillah, akhirnya sampai pula kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Rais Akbar NU itu tak kuasa menahan keterkejutannya, seraya memegangi kepalanya ia terus berdzikir: “Masya Allah! Masya Allah! Laa ilaha illallah!” Seketika itu pula ia tidak sadarkan diri, dan hingga akhirnya meninggal pada hari Jumat, 7 Ramadhan 1366 H atau 25 Juli 1947.

 

Usai agresi militer yang ditandai dengan Persetujuan Renville itu, membuat pasukan-pasukan pejuang Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, yang berada di daerah yang diduduki Belanda, mesti dipindahkan ke daerah Republik Indonesia seperti Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

 

Sebagaimana yang dituturkan salah satu pemimpin pasukan Hizbullah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri, dalam buku Berangkat Dari Pesantren, kala itu KH A Wahid Hasyim, terpaksa juga ikut memindahkan Markas Tertinggi Hizbullah (di bawah pimpinan KH Zainul Arifin) dan Sabilillah (dipimpin KH Masykur), yang semula berkedudukan di Malang ke Solo, berhubung Malang diduduki Belanda.

 

Kota Solo dipilih karena letaknya yang strategis dalam menghadapi serbuan di front Mojokerto-Jombang dan front Malang-Kediri. Selain itu, amat strategis pula dalam menghadapi aksi-aksi teror kaum Komunis yang makin meningkat di daerah Madiun-Kediri, Madiun-Bojonegoro, dan di sekitar Semarang. Yang tak kalah penting, letak Solo yang dekat dengan Yogyakarta dapat memperkuat keamanan daerah ibu kota.

 

Hal lain yang tentu menjadi pertimbangan penting, di Solo juga menjadi markas Barisan Kiai Jawa Tengah, yang dipimpin oleh KH Ma’ruf Mangunwiyata, pengasuh Pesantren Jenengan. Juga pasukan Hizbullah Surakarta (Divisi Sunan Bonang), yang dikomandoi Letkol Muh. Munawar dan Sabilillah Surakarta yang dipimpin oleh Mayor Arman.

 

Untuk keperluan logistik dan pengobatan, kaum ibu (termasuk juga Muslimat NU Surakarta yang dipimpin Mahmudah Mawardi) ikut membantu di Balai Kesehatan Hizbullah yang terletak di Kampung Tegalsari, Bumi, Laweyan. Di antara fungsi balai tersebut, selain menjadi tempat perawatan, juga untuk mengusahakan obat-obatan, mencarikan bahan pakaian, dan menggalang sumbangan baik berwujud uang maupun perhiasan.

 

Namun, dampak Kota Solo dijadikan markas dari para pejuang tersebut dan menjadi area yang berdekatan dengan medan pertempuran, sebagaimana diungkapkan salah satu tokoh ulama Solo, Kiai Raden Moh. Adnan, dalam sebuah catatan pribadinya, yang kemudian dituliskan kembali oleh putranya, Abdul Basit Adnan.

 

Kiai Adnan menuturkan kondisi di sekitar Solo pada masa tersebut: “Sepanjang perjalanan, saya dapat menyaksikan akibat perang kemerdekaan ini di desa-desa. Saya merasa sangat sayang dan kecewa melihat beberapa pabrik gula di Pedan dan Tegalgondo yang rusak akibat perang ini. Saya juga mendengar kabar masih adanya sejumlah bentrokan senjata antara pasukan TNI dan sisa-sisa pasukan Merah di Klaten. Pertentangan partai merembet pada pasukan bersenjata. Semoga tidak terjadi perang saudara, seperti yang terjadi di tiongkok.”

 

Dampak dari perang berkepanjangan juga membuat banyak orang hidup susah, seperti yang juga dikisahkan Mahbub Djunaidi dalam novel Dari Hari ke Hari, yang terinspirasi dari memoar Mahbub, sewaktu ia ikut mengungsi ke Solo bersama keluarganya akibat Agresi Militer Belanda II. Kata Mahbub: “Jaman revolusi semua rakyat adalah kere dan melarat.” []

 

(Ajie Najmuddin)

Yudi Latif: Tujuan dan Cara Etis

Tujuan dan Cara Etis

Oleh: Yudi Latif

 

Sejujurnya, saya dan barangkali kebanyakan orang Indonesia lainnya belum membaca Rancangan  Undang-Undang  Cipta Kerja setebal 812 halaman  yang disusun dengan metode omnibus law tersebut. Alhasil, belum bisa memberikan penilaian atas isinya secara menyeluruh.

 

Sejauh yang bisa ditangkap dari penjelasan DPR dan pemerintah serta kritik yang dilancarkan elemen kritis masyarakat, ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan renungan bersama. Perspektif DPR dan pemerintah boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam meniatkan pembuatan UU itu untuk tujuan mulia. Di sisi lain, perspektif pengkritiknya juga boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam melancarkan kritik terhadap tata cara pembuatan UU yang menimbulkan problem reliabilitas dalam rumusan detail pasal-pasalnya.

 

Secara etis, antara tujuan dan cara itu tidak dapat dipisahkan. Baik tujuan yang kita kejar maupun cara yang kita tempuh sama-sama memiliki konsekuensi etis. Maka, baik tujuan maupun cara harus terus-menerus diperiksa berdasarkan timbangan etis.  Untuk sampai pada tujuan yang benar, kita harus berada di jalan yang benar.

 

Dalam kerangka itu, setiap pembuatan UU dan kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, terlebih dalam kebangsaan yang majemuk, harus bersifat inklusif dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi proses deliberasi publik dan argumentasi publik. Apalagi, usaha menyederhanakan puluhan UU ke dalam satu  UU sudah  barang tentu memerlukan pembacaan dan pelibatan partisipasi yang lebih luas, intens, dan  hati-hati.

 

Dalam situasi pandemi—kendala-kendala perjumpaan dan pembahasan secara inklusif dan intensif—cara yang ditempuh untuk menghasilkan rumusan UU mengandung konsekuensi etisnya tersendiri: boleh jadi kurang bisa mengakomodasi suara-suara subaltern yang terpinggirkan. Dengan kata lain, suatu produk perundang-undangan yang semula diniatkan untuk kepentingan publik justru menjadi kurang responsif terhadap aspirasi keseluruhan.

 

Sebuah kebijakan politik yang responsif setidaknya harus memperhatikan empat prinsip utama. Harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang-wenangan mengambil kebijakan, adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan (misalnya, apakah dalam situasi normal atau pandemi), senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban, serta persetujuan rakyat terhadap kebijakan pemerintah melalui mekanisme deliberatif yang inklusif.

 

Terlebih jika kita memang ingin sungguh-sungguh menjalankan demokrasi dan pemerintahan berlandaskan Pancasila secara konsekuen. Dalam demokrasi permusyawaratan, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, tidak hanya berdasarkan subyektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.

Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif yang dapat menangkal dikte diktator mayoritas suara dan tirani minoritas oligarki.

 

Secara universal, suatu keputusan demokratis memerlukan suatu proses pemenuhan standar kriteria agar pemerintahan dapat melibatkan partisipasi semua warga secara setara. Robert Dahl menggariskan lima kriteria minimum agar suatu negara bisa dianggap demokratis.

 

Partisipasi efektif: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui warga lain. Kesetaraan memilih: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk memilih serta semua pilihan harus dihitung secara setara.

 

Pemahaman tercerahkan: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk mempelajari alternatif kebijakan yang relevan serta kemungkinan akibat-akibatnya. Pengendalian agenda: setiap warga harus memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana dan apa saja yang harus ditempatkan dalam agenda kebijakan. Pelibatan setiap orang dewasa: setiap warga yang sudah dewasa harus diberi hak secara penuh untuk keempat kriteria itu.

 

Di luar persoalan tata cara pengambilan keputusan, hendaklah disadari pula bahwa setiap pilihan kebijakan memiliki konsekuensi ikutan yang bersifat tali-temali. Oleh karena itu, perhatian terhadap rumusan detail setiap pasal menjadi sangat penting. Pada akhirnya, the devil is in the detail.

 

Sebagai contoh, bagaimana UU yang dimaksudkan untuk menyederhanakan perizinan itu tidak bertabrakan dengan agenda pemerintahan Presiden Joko Widodo lainnya yang bertekad mengeluarkan Indonesia dari jebakan kelas menengah dengan mentransformasikan perekonomian Indonesia menuju ekonomi pengetahuan.

 

Apabila rezim perizinan memudahkan arus impor dan investasi asing memasuki sektor ekstraktif,  agenda transformasi perekonomian Indonesia bagaikan pungguk merindukan bulan. Jangan sampai, dengan kemudahan perizinan itu, yang  berkembang hanyalah ”pembangunan di Indonesia”, bukan ”pembangunan Indonesia”.

 

Tak seorang pun tahu pasti perkembangan dan segala konsekuensi ke depan. Oleh karena itu, seseorang, betapa pun powerful-nya, tak bisa menggaransi nasib seluruh rakyat Indonesia. Sebaik-baik keputusan yang menyangkut masa depan hajat hidup orang banyak harus melibatkan persetujuan luas melalui mekanisme deliberatif dan argumentatif yang bersifat inklusif.

 

Nasi memang sudah menjadi bubur. Namun, setidaknya masih bisa menjadikan bubur yang lebih enak. Setiap pihak harus membuka diri bagi perbaikan dan menemukan jalan terbaik yang harus ditempuh agar tujuan baik bisa berbuah baik. []

 

KOMPAS, 22 Oktober 2020

 

(Ngaji of the Day) Aturan Meriwayatkan Hadits secara Makna

Dalam periwayatannya, hadits Rasulullah diajarkan secara sambung-menyambung sejak generasi sahabat hingga generasi selanjutnya. Ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan dengan rangkaian lafaz yang dituturkan persis sebagaimana yang diucapkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang terbaik. Tak ada lafaz dari Nabi yang diganti, apalagi dikurangi dan ditambahi. Abu Ishaq as-Syairazi berkata:

 

الإختيار في الرواية أن يروى الخبر بلفظه لقوله صلى الله عليه وسلم "نضر الله امراءا سمع مقالتي فوعاها، ثم أداها كما سمع، فرب حامل فقه غير فقيه، ورب حامل فقه إلى من هو أفقه منه.

 

“Pendapat yang dipilih di dalam periwayatan adalah meriwayatkan hadits besertaan lafaznya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Allah merahmati seseorang yang mendengarkan ucapan-ucapanku kemudian ia menjaganya, kemudian ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengarkan. Terkadang seorang yang hafal hadits bukanlah yang mampu memahami, terkadang seorang yang hafal hadits mengabarkan (hadits tersebut) kepada seseorang yang lebih paham darinya,” (Abu Ishaq as-Syairazi, Syarh al-Luma’fi Ushul al-Fiqh [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], 2011 vol. 2 hal. 375)

 

Akan tetapi, mayoritas ulama memberikan toleransi meriwayatkan hadits secara makna (meriwayatkan hadits dengan lafaz yang berbeda akan tetapi dengan makna yang sama) khususnya kepada para perawi hadits sebelum masa pembukuan hadits di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal ini disebabkan sulitnya menjaga hafalan lafaz hadits secara terperinci serta kepahaman mendalam para perawi saat itu sehingga mereka dapat mengubah lafaz hadits dengan lafaz yang bermakna sama secara akurat. Akan tetapi, setelah zaman pembukuan hadits di abad kedua dan ketiga Hijriah para ulama tidak membolehkan meriwayatkan hadits secara makna dari hadits-hadits yang tertulis dalam kitab-kitab karya para ulama. Hal ini dikarenakan kitab-kitab hadits yang dibukukan telah menjadi patokan dalam meriwayatkan hadits sebagaimana pendapat an-Nawawi

 

إذا أراد رواية الحديث بالمعنى فان لم يكن خبيرا بالالفاظ ومقاصدها عالما بما يحيل معانيها لم يجز له الرواية بالمعنى بلا خلاف بين أهل العلم بل يتعين اللفظ وان كان عالما بذلك فقالت طائفة من أصحاب الحديث والفقه والأصول لا يجوز مطلقا وجوزه بعضهم فى غير حديث النبى صلى الله عليه و سلم ولم يجوزه فيه وقال جمهور السلف والخلف من الطوائف المذكورة يجوز فى الجميع اذا جزم بأنه أدى المعنى وهذا هو الصواب الذى تقتضيه أحوال الصحابة فمن بعدهم رضى الله عنهم فى روايتهم القضية الواحدة بألفاظ مختلفة ثم هذا فى الذى يسمعه فى غير المصنفات أما المصنفات فلا يجوز تغييرها بالمعنى.

 

“Ketika seseorang ingin meriwayatkan hadits secara makna, apabila ia tidak memahami lafaz-lafaznya serta maksudnya serta ia tidak mengetahui cara menguraikan maknanya maka ia tidak boleh meriwayatkan secara makna dan ia harus meriwayatkan peris sebagaimana lafaz yang ia terima, menurut kesepakatan para ulama. Bahkan walaupun ia seorang yang mengetahui seluk-beluk hadits, menurut sebagian ulama ahli hadits, ahli fiqih, serta ahli ushul fiqh tetap tidak diperbolehkan (meriwayatakan hadits secara makna) secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat ia diperbolehkan (meriwayatakan hadits secara makna) pada selain hadits Rasulullah. Sedangkan menurut mayoritas ulama salaf (ulama periode terdahulu) dan khalaf (periode ulama setelah zaman ulama salaf) memperbolehkan meriwayatkan hadits secara makna ketika ia meyakini bahwa ia menyampaikan sesuai dengan makna hadits. Dan inilah pendapat shawab (pendapat yang mendekati kebenaran) sebagaimana kondisi para sahabat dan generasi setelahnya yang mana mereka meriwayatkan hadits dengan lafaz yang berbeda-beda. Akan tetapi hukum ini adalah bagi hadits yang bukan diriwayatkan dari kitab-kitab karya ulama. Adapun hadits yang diambilkan dari kitab-kitab ulama maka tidak boleh diriwayatkan secara makna” (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah], 2012, vol. 1 hal. 40).

 

Adapun syarat-syarat meriwayatkan hadits secara makna sebagaimana yang diutarakan oleh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi (w.490 H) dalam kitab Ushul al-Sarkhasi, oleh Fakhruddin Muhammad ar-Razi (w.606 H) dalam kitab Al-Mahshul fi Ilm Ushul al-Fiqh, oleh Muhammad bin Ali asy-Syaukani (w. 1255 H) dalam kitab Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilm al-Ushul adalah sebagaimana berikut

 

1. Perawi harus memberikan ganti lafaz yang semakna dengan lafaz hadits yang ia terima tanpa menambahkan atau mengurangi makna yang dituju seperti contoh mengganti lafaz al-qudrah (القدرة) dengan lafaz al-istitha’ah (الإستطاعة) yang sama-sama bermakna mampu.

 

2. Perawi memberikan ganti lafaz yang sepadan menurut susunan bahasa Arab. Oleh karena itu, perawi tidak boleh menempatkan lafaz yang bermakna muthlaq pada tempatnya lafaz yang bermakna muqayyad (terbatasi) dan sejenisnya.

 

3. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz yang bermakna mutasyabbihat (samar maknanya). Menurut as-Sarkhasi, “Kita diperintahkan untuk tidak meneliti makna lafaz mutasyabbihat, bagaimana mungkin kita boleh meriwayatkannya secara makna?”

 

4. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang dihitung ibadah dengan melafazkannya seperti contoh lafaz dalam azan, dzikr, tasyahhud, dan sejenisnya.

 

5. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang terhitung Jawami’ al-Kalim (lafaz-lafaz yang fashih dan yang diucapkan oleh Rasulullah). Hal ini dikarenakan mengubah lafaz hadits yang bernilai Jawami’ al-Kalim akan menghilangkan segi keindahan lafaznya seperti contoh hadits Rasulullah

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم هذا حين حمي الوطيس

 

Rasulullah Saw bersabda, “Inilah saat panasnya tungku api.”

 

Menurut Ibnu Atsir, ini adalah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat indah dalam menggambarkan bergejolaknya perang Hunain. Dan ungkapan ini belum pernah diucapkan seorang pun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

 

6. Perawi hanya boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-hadits yang panjang sebagai sebuah kemurahan. Akan tetapi, perawi tidak boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-hadits yang pendek. Dalam hal ini asy-Syaukani menyatakan, “Tidak ada toleransi sedikit pun dalam hadits-hadits yang pendek.”

 

Dalam hal ini, ada golongan ulama yang menolak seluruh periwayatan hadits secara makna. Di antara mereka adalah mazhab Abu Dawud adz-Dzahiri, Ahmad bin Yasar asy-Syaibani, Abu Bakar al-Jasshash, Ibrahim an-Nakha’i, dan masih banyak lagi (Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, [Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah], 2011, vol. 2 hal. 98). []

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Alissa Wahid: Kiai Kampung

Kiai Kampung

Oleh: Alissa Wahid

 

Awalnya adalah puluhan warga desa yang sowan kepada Kiai Nur Aziz, seorang kiai kampung di desa Surokonto Wetan kecamatan Pageruyung di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, di tahun 2015.

 

Mereka menyampaikan kegundahannya setelah tanah garapan mereka diambil alih PT Perhutani. Setidaknya 460 keluarga warga desa tersebut menggantungkan kehidupannya kepada hasil mengolah tanah yang sejak awal tahun 1970-an digarap oleh kakek-nenek mereka. Pengambilalihan tanah ini memutus mata pencarian mereka.

 

Perusahaan milik negara tersebut menerimanya dari PT Semen Indonesia sebagai tukar guling tanah di Kabupaten Rembang yang dijadikan pabrik semen (yang juga diprotes oleh warga di sekitarnya). PTSI sendiri membeli lahan tersebut dari PT Sumur Pitu, BUMN perkebunan karet pemegang HGU yang menelantarkan tanah tersebut sejak akhir 1960-an.

 

Sebagai tokoh kampung tersebut, Kiai Nur Aziz tak kuasa mengabaikan keluh-kesah warga desanya. Ia pun mulai mencari jalan untuk memperjelas situasi kepada pihak-pihak terkait, dan mewakili warga dalam menolak pengambilalihan lahan yang telah 45 tahun lebih digarap para petani tersebut.

 

Sayangnya, perjuangan ini berbuah pahit. Kiai Nur Aziz dan dua orang petani lainnya dijebloskan ke dalam penjara dan ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dalam proses persidangan sampai di tingkat Mahkamah Agung, hakim menetapkan Kiai Nur Aziz dan kedua tersangka lain dihukum 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 10 miliar tahun 2017.

 

Masyarakat sipil merespons ini sebagai keputusan yang jauh dari nurani keadilan. Bagaimana mungkin petani kelas desa diminta menyediakan Rp 10 miliar? Bagaimana mungkin koruptor kelas berat yang merugikan kas negara ratusan miliar rupiah hanya dihukum sekian tahun, beroleh sel yang dapat dipermak sebagaimana terungkap investigasi media; sementara kiai kampung sederhana di sudut Indonesia dihukum 8 tahun penjara demi nasib ratusan keluarga petani yang hanya mampu menyambung hidup tanpa kemewahan?

 

Bukan hanya Kiai Nur Aziz. Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan ada lebih dari 2.000 kasus konflik agraria dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dengan ratusan petani yang dibawa ke meja hukum. RUU Cipta Kerja pun dikhawatirkan memperbesar risiko konflik lahan.

 

Terbaru adalah konflik lahan masyarakat Pubabu-Besipae Nusa Tenggara Timur yang mengalami bentrok fisik dengan satuan polisi pamong praja beberapa hari lalu. Ironis, sebab justru pakaian adat Pubabu dipilih oleh Presiden Jokowi untuk dikenakan dalam Upacara Kenegaraan RI Ke-75.

 

Sejak jatuh vonis di tahun 2017 tersebut, kelompok-kelompok masyarakat sipil bergerak untuk memperjuangkan nasib Kiai Nur Aziz dan Pak Rusmin, terhukum lainnya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersama organisasi-organisasi lintas iman, seperti PGI, KWI, serta gerakan masyarakat sipil seperti YLBHI, Jaringan Gusdurian, dan FNKSDA, pun terus mendesak pemerintah. Demikian juga Komnas HAM.

 

Alhasil, 2 tahun 2 bulan setelah mereka menjalani masa tahanan, Presiden Jokowi memberikan grasi yang memungkinkan Kiai Nur Aziz dan Pak Rusmin pulang kembali ke rumahnya di bulan Ramadhan tahun 2019. Rakyat desa Surokonto Wetan menjemput keduanya dengan hujan air mata di Lapas Kendal, diikuti dengan Tasyakuran Rakyat yang dihadiri para pemuka agama dan gerakan masyarakat sipil selepas Idulfitri.

 

Sosok Kiai Nur Aziz mengingatkan kembali pada gambaran kiai yang sering diungkapkan Gus Dur: tidak hanya sebagai seorang guru agama bagi para santrinya. Kiai juga adalah pemimpin bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Kiai mengolah lahan spiritual menjadi daya dorong transformasi kehidupan masyarakatnya.

 

Kiai tidak hidup untuk dirinya, tetapi untuk membimbing dan mengayomi pengikutnya dalam seutuhnya bidang kehidupan. Mulai dari nasihat dan konsultasi berbagai urusan keseharian, sampai mengadukan nasib seperti yang dilakukan warga Surokonto Wetan.

 

Kaidah dasar ”kebijakan seorang pemimpin ditujukan kepada kemaslahatan rakyatnya” menjadi pegangan para kiai untuk menjalankan peran ini. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diserukan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari meminta para santri untuk mempertahankan bayi republik ini menjadi contohnya yang paling membahana.

 

Dampaknya, ribuan santri gugur dalam jihad di medan laga Surabaya pada 10 November 1945, tetapi republik ini terselamatkan dari Sekutu yang mencoba kembali menancapkan kaki di bumi Nusantara. Menjelang peringatan Resolusi Jihad tahun 2020 ini, angan-angan atas kehadiran kiai seperti Kiai Nur Aziz makin nyata.

 

Kiai-kiai yang mengikatkan dirinya pada kemaslahatan pengikutnya, siap memimpin di garis depan pada saat-saat genting, membersamai umat dalam perjuangan mewujudkan hak-haknya, dan mengambil kepemimpinan melalui politik kebangsaan dan menghindari politik kekuasaan. Di manakah mereka? []

 

KOMPAS, 18 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Apakah Boleh Mengutamakan Nafkah Istri daripada Ibu Kandung?

Pertanyaan:

 

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, seoarang laki-laki terkadang berhadapan dengan situasi dilematis, yang menghadapi pilihan antara istri dan ibu kandungnya. Apakah pandangan Islam ketika seseorang lebih mendahulukan istrinya daripada ibu kandungnya sendiri? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

 

Hamba Allah

 

Jawaban:

 

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Terkadang laki-laki diharuskan untuk memilih antara istri atau ibu/bapak. Ia menghadapi pilihan sulit dan dilematis. Pasalnya, ia diharuskan secara agama untuk memperlakukan kedua pihak secara baik.

 

Al-Qur’an menyebut keharusan anak memperlakukan kedua orang tuanya secara baik sebagai bentuk bakti anak kepada kedua orang tua.

 

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

 

Artinya, “Kami memerintahkan manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah kepayahan dan menyapihnya pada dua tahun. ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu.’” (Surat Luqman ayat 14).

 

Hadits Rasulullah SAW juga tidak kurang-kurang menyebut ibu sekian kali sebagai orang yang paling berhak untuk diperlakukan secara baik sebagaimana riwayat berikut ini:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia bercerita seseorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya, ‘Siapa yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ ‘Lalu siapa?’ Nabi berkata lagi, ‘Ibumu.’ ‘Terus siapa?’ Nabi berkata lagi, ‘Ibumu.’ ‘Siapa lagi?’ ‘Bapakmu,’ kata Nabi.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Pada saat yang sama, seseorang juga diperintahkan untuk memperlakukan secara baik istri. Surat Al-Baqarah ayat 233 mengamanahkan seseorang untuk memberikan makanan dan pakaian yang layak sebagai bentuk nafkah kepada istrinya.

 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

 

Artinya, “Kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik.” (Surat Al-Baqarah ayat 233).

 

Sabda Rasulullah SAW berikut ini juga kewajiban nafkah seorang suami terhadap istri. Hadits berikut ini juga mengamanahkan keharusan perlakukan yang baik suami terhadap istri sebagaimana ayat sebelumnya.

 

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ… وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

 

Artinya, “Takutlah kepada Allah perihal perempuan karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat-Nya… Kalian berkewajiban memberi makan dan pakaian secara baik.” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

 

Di tengah dilema ini, seseorang pada satu kondisi tertentu dihadapkan pada situasi sulit yang harus memilih. Pilihan itu akhirnya diambil dengan berat hati, dan kadang perasaan bersalah. Lalu bagaimana sebenarnya dalam pandangan Islam?

 

Sebenarnya amanah untuk memperlakukan ibu/orang tua dan istri dapat diamalkan sekaligus tanpa mengabaikan salah satunya. Kedua dalil ini tidak perlu dipertentangkan. Ini yang disebut tariqhatul jam‘i. Imam An-Nawawi pernah diminta fatwanya perihal seseorang yang memiliki istri dan ibu. Apakah ia boleh mengutamakan istri daripada ibunya?

 

Menurut Imam An-Nawawi, seseorang tidak berdosa ketika mengutamakan istri daripada ibunya sejauh ia memenuhi kewajiban nafkah bila nafkah ibunya berada di dalam tanggung jawabnya. Tetapi jika harus memilih, ia dapat mengutamakan nafkah istrinya dengan tetap menjaga perasaan ibunya.

 

لا يأثم بذلك إذا قام بكفاية الأم إن كانت ممن يلزمه كفايتها بالمعروف، لكن الأفضل أن يستطيب قلب الأم وأن يفضلها، وإن كان لا بد من ترجيح الزوجة فينبغي أن يخفيه عن الأم

 

Artinya, “Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi (nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan (menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya.” (Al-Imam An-Nawawi, Fatawal Imamin Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018/1439], halaman 150).

 

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Nasaruddin Umar: Ilmuan Muslim Populer di Barat (2) Jabir Ibn Hayyan (Geber)

Ilmuan Muslim Populer di Barat (2)

Jabir Ibn Hayyan (Geber)

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Jabir ibn Hayyan yang bernama lengkap Abû Musâ Jabir bin Hayyan, al-Kufi al-Thusi al-Shufiy al-Azadiy, yang di dunia Barat lebih dikenal dengan Geber, lahir pada tahun 100H/721M di Khurasan, Iran. Ia lahir dari seorang penganut Syi'ah yang berlaqab al-Harrani dari kelempok Mawali. Ia memiliki garis kedekatan dengan imam keenam Syi'ah yaitu Ja'far Ash-Shadiq yang bukan hanya sebagai pendiri madzhab hukum Syi'ah dua belas Imam atau lebih dikenal dengan madzhab Ja'fari. Ia juga menjadi tokoh penting dalam pengetahuan spiritual-esoteris. Pengaruh ajaran syi'ah tercermin dalam tulisan-tulisannya, seperti terdapat pada Mukhtar Rasa'il.

 

Profesi ayahnya dikenal sebagai penjual obat-obatan di kotanya. Hayyan berasal dari Syam yang kemudian pindah ke Thus, sebuah kota kecil yang berjarak 27 km dari Utara Masyhad yang dikenal sebagai kota transit bagi para pedagang dari berbagai negara, khususnya dari Baghdad, Turkistan, dan Cina. Postur Jabir ibn Hayyan besar dan tinggi berhias kumis dan jenggot, namun tidak mengesankan adanya kesan kasar atau angkuh. Ia malah berpenampilan sangat santun dan tawadhu. Bisa dimaklumi karena ia termasuk sufi yang selalu bertakhannus di malam hari.

 

Di rumahnya memilki bilik khusus yang dalam istilah tasawuf disebut khanqa, tempat untuk berkontemplasi dan bertadzakkur khususnya di malam hari. Dalam kontemplasinya ia menemukan kesimpulan spiritual yang disebutnya dengan Alkimia, yaitu jiwa yang kasar dan kotor bisa diangkat menjadi jiwa yang bersih, jerni, atau suci manakala melalui penempaan khusus seperti riyadhah dan mujahadah. Ia aktif memperkenalkan teori Alkimianya kepada masyarakat ketika itu.

 

Di siang hari hari-harinya dilewati di laboratorium. Obsesinya mendirikan laboratorium untuk membuktikan hipotesis yang diperoleh dari kontemplasinya bahwa logam dasar yang murah dan tidak punya harga pun dapat bentuk menjadi logam mulia (baca: emas) manakala dilakukan proses penempaan. Akhirnya melalui ketekunannya ia membuktikan bahwa ternyata logam dasar bisa diproses menjadi logam mulia. Proses ini kemudian disebutnya denganproses kimia. Inilah yang mengangkat dirinya di kemudian hari sebagai The Father of Chemistry oleh Will Durant.

 

Pada mulanya Jabir ibn Hayyan memulai penelitiannya di sebuah laboratorium kecil dan sederhana di Kufah. Di dalamnya hanya ada beberapa tabung yang diletakkan di atas sebuah tungku pemanas dan peralatan sederhana lainnya. Setelah mendapatkan hasil dan penelitian dikembangkan lebih luas maka dengan sendirinya memerlukan laboratorium lebih besar dan lebih lengkap. Dengan dukungan khalifah Harun al-Rasyid, penguasa ketika itu memfasilitasi Jabir untuk mendirikan laboratorium yang memadai. Di dalam lab ini Jabir melengkapi kebutuhannya berupa sarana seperti lesung penunmbuk dan bahan-bahan olahan yang perlu diaduk atau dihaluskan. Sebuah lesung yang terbuat dari emas murni yang beratnya tidak kurang dari 200 rithel (1 rithel Syria = 2, 564 kg) ikut melengkapi lab ini. Lab inilah yang nantinya mengantar Jabir memperoleh gelar "Prestasi Jabir" (The Works of Geber). Mungkin Jabir sendiri tidak pernah membayangkan hasil temuannya dikembangkan sedemikian rupa oleh ilmaun modern saat ini menjadi sesuatu yang amat luas dan mencakup berbagai rekayasa genetik.

 

Karya-karya monumental Jabir banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Salah satu di antaranya yang paling popular ialah Al-Fihrist, yang dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu: 1) Esei sistematis yang menjelaskan tentang praktek Alkemia. 2) Eksposisi sistematis tentang pengajaran Alkemia. 3) Eksposisi prinsip filosofi Alkimia dan astrologi, termasuk Kutub al-Mizan yang berisi tentang keselarasan hidup. 4). Hasil-hasil penelitian dan pembuktian konsep-konsep yang dirumuskan di dalam Kutub al-Mizan. Keempat komponen ini merupakan karya orisinal Jabir ibn Hayyan yang hingga kini tetap menjadi rujukan penting. []

 

DETIK, 21 Juli 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta