Senin, 12 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Ragam Pendapat Ulama soal Bepergian di Hari Jumat

Saat ini, bepergian sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Biasanya, seseorang bepergian karena ada kebutuhan dan tujuan tertentu, baik itu untuk bekerja, bertemu relasi bisnis, berlibur, atau sekadar bersilaturahim ke sanak saudara. Bepergian disyariatkan dalam Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

 

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah: 10).

 

Bahkan, bepergian merupakan salah satu sebab disyariatkannya rukhsah (keringanan) berupa shalat jama’, qashar, dan ifthar (tidak berpuasa). Islam juga tidak membatasi seseorang untuk bepergian; kapan pun dan ke mana pun, asalkan dengan niat dan tujuan yang baik. Akan tetapi, bagi seseorang yang mempunyai kewajiban melakukan shalat Jumat, bepergian di hari Jumat memiliki ketentuan hukum tersendiri.

 

Para ulama sepakat akan kebolehan bepergian di hari Jumat bagi orang yang menduga dapat melaksanakan shalat Jumat di tengah perjalanan atau di tempat tujuan, dan bagi orang yang terkena mudarat bila tidak bepergian di hari Jumat, berupa tertinggal dari rekan rombongannya.

 

Sedangkan, mereka berbeda pendapat soal hukum bepergian bagi selain kedua orang tersebut. Pertama, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad (dalam satu riwayat), menegaskan tidak boleh bepergian setelah terbitnya fajar di hari Jumat. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar:

 

مَنْ سَافَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ دَعَتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ أَنْ لَا يُصْحَبَ فِي سَفَرِهِ

 

“Barangsiapa bepergian di hari Jumat, malaikat mendoakan kejelekan baginya; agar tidak mendapatkan teman di perjalanannya.” (HR. Al-Daruquthni).

 

Pada hadits di atas, malaikat mendoakan kejelekan bagi orang yang bepergian di hari Jumat. Dengan demikian, bepergian di hari jumat diharamkan. Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 2, halaman 96, berkata:

 

ـ (وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ، وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ، كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصَدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

 

Haram bagi orang yang kewajiban melaksanakan shalat Jumat, meskipun keabsahan Jumat tidak tergantung padanya, melakukan perjalanan setelah terbitnya fajar hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan shalat Jumat, seperti ia menduga tidak dapat melaksanakan shalat Jumat di perjalanan atau tempat tujuan, baik bepergian yang wajib atau sunah.

 

Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan bolehnya bepergian sampai sebelum berakhirnya waktu shalat Jumat. Mereka beralasan bahwa hukum asal bepergian adalah boleh. Ia tidak diharamkan kecuali karena ada sebab, salah satunya kewajiban melakukan shalat Jumat. Sedangkan, shalat Jumat itu tidak menjadi wajib kecuali menjelang berakhirnya waktu. Karenanya, jika seseorang bepergian sebelum berakhirnya waktu shalat Jumat, berarti dia bepergian sebelum adanya sebab diharamkannya bepergian. Maka hukumnya boleh.

 

Namun, mayoritas ulama mazhab Hanafi menyebutkan, bepergian setelah masuk waktu shalat Jumat hukumnya makruh.

 

Ketiga, mayoritas ulama, meliputi Imam Malik dan Imam Ahmad (dalam riwayat yang kuat) menegaskan kebolehan bepergian sebelum masuk waktu shalat Jumat. Sedangkan, bepergian setelah masuk waktu shalat Jumat hukumnya haram.

 

Mereka berpegangan pada hadits riwayat Zuhri, ia berkata:

 

خَرَجَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَافِرًا يَوْمَ الْجُمْعَةِ، ضُحًى، قَبْلَ الصَّلَاةِ

 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bepergian di hari Jumat, pada waktu Dhuha, sebelum shalat Jumat. (HR. Abdul Razzaq dan Baihaqi).

 

Hadits di atas menerangkan, Rasul shallallahu alaihi wasallam bepergian di hari Jumat pada waktu shalat Dhuha. Dengan demikian, bepergian di hari Jumat, sebelum masuk waktu shalat, hukumnya boleh. Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits:

 

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً فِيْهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ، وَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ جُمْعَة، فَتَخَلَّفَ عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ لِيُصَلِّيَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمِّ يَلْحَقَ بِالْجَيْشِ، فَلَمَّا صَلَّى رَآهُ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: (مَا مَنَعَكَ أَنْ تَغْدُوَ مَعَ أَصْحَابِكَ؟)، فَقَالَ: أَرَدْتُ أَنْ أُصَلِّيَ مَعَكَ ثُمَّ أُلْحِقَهُمْ، فَقَالَ: (لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَدْرَكْتَ فَضْلَ غُدْوَتِهِمْ) ـ

 

Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus pasukan, di antaranya Abdullah ibnu Rawahah. Hari itu adalah hari Jumat. Sehingga, Abdullah Ibnu Rawahah berangkat terlambat agar bisa shalat Jumat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian menyusul pasukan. Ketika selesai shalat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihatnya, lalu bersabda: “Apa yang mencegahmu untuk berangkat pagi-pagi bersama sahabat-sahabatmu?” Ia menjawab: “Aku ingin shalat bersamamu, lalu aku menyusul mereka.” Rasul bersabda: “Seandainya kamu menginfakkan seluruh apa yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan menjumpai (menyamai) keutamaan keberangkatan mereka di waktu pagi.” (HR. Turmudzi dan Baihaqi).

 

Pada hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan Abdullah Ibnu Rawahah akan keutamaan berangkat pagi-pagi bersama pasukan, dibanding shalat Jumat bersama Rasul. Dari sini dapat difahami, bepergian sebelum masuk waktu shalat Jumat hukumnya boleh. (Hasyim Jamil, Masa’il Minal Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darus Salam, tahun 2007, halaman 171-173).

 

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa bepergian bagi selain orang yang menduga dapat melaksanakan shalat Jumat di perjalanan atau di tempat tujuan, dan bagi orang yang takut tertinggal rombongan, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang mengharamkannya, jika sudah terbit fajar. Ada yang membolehkannya atau memakruhkannya sampai sebelum waktu Jumat selesai. Dan ada yang membolehkannya jika dilakukan sebelum masuk waktu shalat Jumat.

 

Dengan demikian, ada tiga pilihan pendapat ulama yang bisa diamalkan bagi orang yang akan bepergian. Pendapat Imam Syafi’i mengandung unsur kehati-hatian. Pendapat mazhab Hanafi mengandung makna kemudahan. Sedangkan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad tampaknya merupakan jalan tengah antara pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mazhab Hanafi. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar