Selasa, 20 Oktober 2020

Buya Syafii: Bangsa Ini Jangan Sampai Retak

Bangsa Ini Jangan Sampai Retak

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Hantaman maut Covid-19 terhadap keberadaan umat manusia sangat dahsyat. Angka kematian terakhir pada skala global, sekitar satu juta. Untuk Indonesia, hantaman berlangsung sejak awal Maret 2020.

 

Saat itu, ada pihak yang semula tak memperkirakan seburuk ini akibatnya. Maut mengancam di setiap sudut bumi nusantara, terutama di kawasan perkotaan. Presiden jelas pusing dibuatnya. Ekonomi sukar bergerak, persatuan bangsa terasa agak goyang.

 

Pihak dengan mental ikan lele tetap saja memperkeruh keadaan dengan segala kegenitannya, tak peduli jika bangsa ini retak.

 

Dalam situasi kritis semacam ini, saya mengimbau elite Indonesia, baik yang berpihak pada pemerintah maupun yang berada di seberang, mau membuka sejarah bangsa ini, terutama pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.

 

Sekiranya daya tahan bangsa ini tidak tangguh, mungkin Indonesia sudah berkeping-keping akibat perbelahan politik antargolongan, antarsuku, dan antarideologi kepartaian. Maka itu, kita mesti berterima kasih kepada para pendiri bangsa dan pendiri negara.

 

Sebab, mereka setia menjaga semangat keutuhan keindonesiaan, sekalipun di antara mereka secara politik juga sering berseberangan dan berdebat keras. Banyak contoh tentang masalah ini yang tersimpan dalam dokumen sejarah modern Indonesia.

 

Saya hanya menyebut dua. Pertama, saat Jenderal Soedirman dan TNI berbeda pendapat dengan Sukarno-Hatta tentang strategi manghadapi serangan kolonial yang ingin meneruskan sistem penjajahannya.

 

Ketika Sukarno-Hatta menyerah kepada pasukan Belanda pada 19 Desember 1949 di ibu kota Yogyakarta dengan mengibarkan bendera putih, Soedirman dan TNI memilih strategi gerilya demi harga diri bangsa dan negara.

 

Masalah Sukarno-Hatta vs Soedirman ini selama bertahun-tahun menjadi isu sipil vs militer. Namun, karena kedua pihak tak rela bangsa ini larut dalam pertentangan politik, seiring perjalanan waktu, perbedaan itu kian reda dan redup dengan sendirinya.

 

Masing-masing pihak punya alasan kuat dengan pilihannya yang memang tak mudah saat itu. Belanda sama sekali tidak mempersiapkan suatu saat Indonesia harus merdeka. Maunya, penjajahan itu berlangsung sampai hari kiamat.

 

Inilah kalimat Hatta: “Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakan suatu kepastian. Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya atau tidak. Bangsa Belanda harus menerima hukum besi sejarah ini, terlepas dari apakah dia mau menerima atau tidak. Dan janganlah Nederland memukau diri, bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh tegak sampai akhir jaman.” (Lih Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka [Naskah Pembelaan Bung Hatta di depan Mahkamah Belanda Den Haag pada 22 Maret 1928, terj. Hazil]. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 147, garis miring sesuai dengan aslinya).

 

Nada tajam serupa dua tahun kemudian disampaikan Bung Karno dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandung, yang dikenal dengan Indonesia Menggugat. (Lih Soekarno, Indonesia Menggugat. Yogyakarta: Aditya Media-Pustep UGM, 2004).

 

Dua dokumen penting ini perlu dibaca elite Indonesia yang datang kemudian. Tujuannya, kita memahami beratnya perasaan dan tanggung jawab pemimpin di bawah penjajahan yang mengisap, menghina, dan memperlakukan rakyat sebagai manusia budak.

 

Alhamdulillah, pada Maret 1942, Belanda ternyata dengan mudah dihalau dari Indonesia oleh penjajah baru yang datang timur: Jepang.

 

Contoh teladan kedua, konflik antara Bung Karno dan Bung Hatta, sesuatu yang memang perlu disesalkan. Setelah bahu-membahu sejak kedatangan Jepang sampai 1956, Bung Hatta sebagai wakil presiden mengundurkan diri dari jabatannya.

 

Indonesia menjadi heboh dibuatnya. Muncul pula isu Jawa-Luar Jawa, seakan-akan Indonesia sebagai negara, akan bubar akibat konflik Sukarno-Hatta. Namun, semangat persatuan kedua tokoh ini tak bisa ditawar lagi.

 

Apalagi, hubungan pribadi antara keduanya tetap berjalan, tidak pernah putus. Ini modal penting bagi bangsa ini untuk selalu dijadikan pedoman berbangsa dan bernegara dalam situasi yang bagaimanapun.

 

Bencana Covid-19 atas Indonesia jangan sampai disalahgunakan pihak yang berpikiran sempit dan pendek yang bisa merusak persatuan dan keutuhan bangsa. Menjaga semangat persatuan merupakan harga mati bagi kelangsungan Indonesia. Mari, kita camkan bersama semua warisan sejarah yang amat penting ini agar bangsa dan negara ini tetap utuh, tidak retak untuk jangka waktu tak terbatas! []

 

REPUBLIKA, 06 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar