Sersan ”Polisi Anna” dan Satuan Pengamanan VVIP
Oleh: Guntur Soekarnoputra
Beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi bertemu dengan Menlu Singapura Vivian Balakrishnan di Singapura. Selain dengan Menlu Singapura, Menlu Retno juga diterima Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Istana Kepresidenan.
Retno dan Vivian kemudian membicarakan peningkatan kerja sama RI-Singapura untuk mengatasi serangan siluman Covid-19 di kedua negara. Kerja sama itu penting jika mengingat dampak virus korona itu membuat kedua negara mengalami kesulitan ekonomi yang harus dicari jalan keluarnya agar roda perekonomian bergerak kembali.
Bentuk kerja samanya melalui ”Green Lane Reciprocal”, yaitu pembukaan kembali secara bertahap hubungan ekonomi, wisata, dan sosial yang sebelumnya terhambat Covid-19. Diharapkan, dengan ”Green Lane Reciprocal”, hubungan kedua negara di berbagai bidang kembali normal.
Dalam kunjungan itu, Menlu Retno mendapat pengawalan dari pasukan khusus Singapura yang disebut Counter Assault Unit (CAU), yaitu unit pasukan khusus Singapura yang mengamankan kunjungan tamu-tamu VVIP negara. Satuan khusus CAU ini berasal dari suatu unit kepolisian yang mendapat latihan-latihan khusus sebagai satu tim dan mempunyai kemampuan yang istimewa.
Selain antiteroris, tim ini juga memiliki kualifikasi penembak jitu, pelempar tepat pisau komando, juga bela diri. Unit CAU terdiri atas lima personel polisi, yang salah satu anggotanya perempuan bernama samaran ”Sersan Anna”. Untuk menjaga kerahasiaan unit, nama asli anggota CAU lainnya memang dirahasiakan.
Sebagai seorang anggota unit CAU, ”Sersan Anna” (Seargen Anna) diperlakukan sama dengan anggota lainnya yang mayoritas pria. Mulai dari cara perekrutan hingga latihan dan kelengkapan peralatan pendukungnya, seperti jaket rompi antipeluru, senjata serbu, dan penembak jitu otomatis yang jenisnya dirahasiakan. Juga pemakaian topi baja pelindung kepala, pisau komando, alat komunikasi, masker gas, dan jaket penutup yang keseluruhannya mempunyai berat sekitar 20 kilogram.
Ditambah lagi khusus untuk ”Sersan Anna” dilengkapi dengan alat pendobrak pintu berupa sebuah balok besi dengan ukuran panjang sekitar 1,2 meter dengan berat sekitar 20 kilogram. Jadi, seluruh beban yang harus dipikul ”Sersan Anna sekitar 40 kilogram!
Berkat latihan-latihan yang sangat intensif, beban seberat itu tidak menjadi masalah untuk ”Sersan Anna”. Dia tetap dapat melakukan gerakan-gerakan secara lincah selama operasional. Sejak usia muda, ”Sersan Anna” sudah mencintai dunia kepolisian. Maka, setelah dewasa, dia bergabung menjadi seorang polisi dan selanjutnya terpilih sebagai anggota CAU.
Pengamanan VVIP Era Soekarno
Di Indonesia, satuan khusus yang memiliki kemampuan khusus dan mengawal tamu-tamu sangat penting (VVIP) adalah Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Namun, yang diamankan Paspampres adalah pejabat kepala negara dan pejabat setingkat presiden atau kepala pemerintahan beserta keluarganya, bukan seorang menteri. Pengawalan terhadap menteri asing yang datang ke Indonesia hanya dilakukan berdasarkan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri. Namun, pengawalannya biasanya hanya dilakukan Kepolisian Negara RI.
Selama ini, di lingkungan Paspampres, pengamanan terbagi-bagi dalam empat grup. Untuk tingkat presiden dan kepala negara RI beserta keluarganya, yang mengawal adalah Paspampres Grup A. Pengawal wakil presiden RI beserta keluarganya adalah Paspampres Grup B. Paspampres Grup C khusus mengawal tamu-tamu negara yang datang beserta keluarganya, mulai dari presiden, wapres, kepala negara atau PM, dan wakil PM. Adapun Paspampres Grup D dipercayakan khusus mengawal mantan presiden dan wapres berikut keluarganya.
Di awal kemerdekaan RI, pengamanan terhadap presiden dan wakil presiden RI beserta keluarganya diserahkan kepada satuan Mobile Brigade (Mobrig) yang dibentuk Kepolisian Negara RI. Paspampres, seperti bentuknya sekarang ini, saat itu masih belum terbentuk.
Secara resmi, pasukan pengamanan presiden baru dibentuk pada 3 Januari 1946 dengan nama Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Dan, nama Paspampres baru muncul 16 Februari 1988, sebelumnya bernama Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) pada 1976.
Meskipun sudah ada DKP, Presiden Soekarno juga membentuk pasukan pengamanan presiden yang dikenal dengan nama Tjakrabirawa. Bedanya, Tjakrabirawa bertugas mengawal di luar Presiden Soekarno. Khusus untuk pengamanan pribadi, Presiden Soekarno mempercayakan kepada DKP, yang dipimpin Ajun Komisaris Besar Mangil Martowardojo.
Mobrig yang ditugasi mengawal Presiden Soekarno terdiri atas kekuatan satu detasemen yang kurang dari satu kompi pasukan atau + 90 personel. Pada 16 Agustus 1961, Bung Karno menginstruksikan perubahan nama Mobrig menjadi Brigade Mobil (Brimob). Sebelum mengubah nama menjadi Brimob, Bung Karno menginstruksikan Polri mengirimkan personel Brimob untuk dilatih di pusat pelatihan khusus pasukan Rangers USA di Okinawa atau Filipina (kalau tidak salah).
Setelah mereka lulus dan kembali ke Indonesia, mereka melatih anggota-anggota Brimob pilihan sehingga terbentuklah Resimen Rangers Polri. Lagi-lagi, atas inisiatif Bung Karno nama Rangers diganti dengan Pelopor, maka lahirlah Resimen Pelopor sebagai salah satu kesatuan di Brimob saat ini. Resimen Pelopor atau lebih dikenal dengan nama Menpor menjadi pasukan khusus polisi.
Selain mengamankan kondisi Tanah Air dari gangguan pemberontakan, Brimob selanjutnya disertakan dalam pengawalan Presiden Soekarno di DKP. DKP sendiri awalnya terdiri dari veteran-veteran operasi Madiun/PKI, perang kemerdekaan I dan II. Anggota-anggota pilihan Menpor kemudian masuk ke dalam jajaran DKP dengan sumpah siap mati untuk keselamatan presiden RI.
Saat itu, untuk pengamanan tamu-tamu negara dan VVIP lainnya, tanggung jawabnya diserahkan ke DKP. Di mana pun Presiden Soekarno berada, termasuk jika kunjungan ke luar negeri. Memang, selain DKP, ada juga pengamanan khusus dari negara yang dikunjungi Presiden Soekarno.
Sebaliknya, saat kedatangan tamu negara, DKP juga langsung ikut melakukan pengawalan. Misalnya, saat Presiden Uni Soviet Voroshilov berkunjung ke Indonesia. Sejak turun dari pesawat di Kemayoran sampai tiba di Istana Merdeka, seluruh rombongan VVIP dikawal ketat oleh anggota-anggota DKP.
Hal itu karena rakyat berjubelan menyambut Presiden Uni Soviet, mulai dari Kemayoran hingga Istana. Bahkan, saat tiba ke Istana, sebagian masyarakat berusaha masuk ke halaman depan Istana Merdeka.
Anggota-anggota DKP pun kewalahan saat menghalau masyarakat keluar halaman Istana. Untuk menghalau rakyat yang terus ingin mendekat ke Presiden Soekarno dan Presiden Uni Soviet, DKP akhirnya menggunakan granat gas air mata.
Namun, apa mau dikata, asap yang keluar dari granat gas air mata tertiup angin dan justru masuk ke ruang depan Istana Merdeka tempat tamu VVIP. Akibatnya, semua yang berada di ruangan Istana pun mengeluarkan air mata yang terasa sangat pedih. Asap gas air mata tidak hanya menerpa Presiden Voroshilov, tetapi juga Presiden Soekarno.
Upaya pembunuhan
Sejak dibentuk hingga dibubarkan pada 1967, DKP tercatat telah mendeteksi adanya 26 kali rencana pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Dari 26 kali rencana pembunuhan itu, tercatat lima kali upaya pembunuhan yang telah dilaksanakan. Lima kali upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dilakukan mulai dari pelemparan granat di Sekolah Yayasan Perguruan Cikini pada 1957 yang menewaskan dan melukai sejumlah orang. Namun, Bung Karno selamat karena disembunyikan di sebuah rumah warga Belanda di seberang Sekolah Percik.
Usaha pembunuhan kedua dilakukan dengan cara penembakan dari pesawat Mig-17 yang diterbangkan oleh Daniel Alexander Maukar pada 1960 ke Istana Merdeka. Tembakan tersebut merontokkan tembok depan Istana Merdeka. Bahkan, ada yang tembus hingga ke ruang makan Presiden Soekarno. Untungnya, Presiden Soekarno tengah memimpin rapat Dewan Nasional di gedung sebelah timur Istana Merdeka, Jakarta.
Upaya pembunuhan yang ketiga dilakukan dengan upaya memberondong perjalanan Bung Karno dari Jakarta ke Bandung. Namun, rencana penembakan di atas Jembatan Rajamandala pada 1960 terdeteksi oleh pasukan DKP karena melihat sepatu Corps Polisi Militer (CPM) yang digunakan seorang tentara tidak seragam seperti standar yang digunakan oleh CPM. Ternyata, pasukan CPM tersebut pasukan liar yang berusaha menembak Bung Karno saat melintas Jembatan Rajamandala.
Rencana pembunuhan yang keempat dilaksanakan adalah ketika terjadi pelemparan granat dalam kunjungan Presiden Soekarno di Makassar pada 1962. Waktu itu, Komandan Komando Distrik (kini Kodam)-nya dijabat oleh M Jusuf berhasil menggagalkan rencana pelemparan granat ke arah Bung Karno yang tengah berpidato di tengah massa.
Anggota-anggota Menpor mempunyai kemampuan-kemampuan khusus, antara lain penembak jitu yang dapat melakukan tembak kepercayaan, yaitu misalnya menembak sebuah balon yang ujungnya digigit oleh seorang rekannya dan ditembak dari jarak +150 meter dengan menggunakan senjata khusus Armalite 15 atau AR 15. Mereka juga menguasai lempar pisau komando yang tepat sasaran dari jarak + 20 meter, melakukan penyamaran, dan bela diri.
Ketika shalat Idul Adha pada 1962, di tengah halaman antara Istana Merdeka dan Istana Negara, juga terjadi upaya pembunuhan kelima yang ditujukan kepada Bung Karno. Pelaku yang menggunakan pistol mencoba membunuh Bung Karno. Penembakan dilakukan oleh antek anti-Pancasila yang berada di saf atau baris keenam di belakang Bung Karno. Tembakan gagal, tetapi mengenai anggota DKP yang sedang dalam penyamaran bernama Soedarjat. Pelaku penembakan ditangkap dan sempat diinterogasi di bawah jendela kamar Megawati di Istana Merdeka.
Serangkaian upaya pembunuhan terhadap Presiden RI akhirnya dapat digagalkan oleh DKP. Jika dibanding-bandingkan ternyata kemampuan DKP pada waktu itu tidak kalah baik dengan CAU ataupun dengan SAS satuan elite Inggris, GSG-9 Jerman, Spetsnaz Uni Soviet, juga FBI Unit Khusus Pengamanan Presiden Amerika Serikat. Luar biasa memang Satuan Pengamanan VVIP kita selama ini! []
KOMPAS, 19 Oktober 2020
Guntur Soekarno | Putra Sulung Presiden ke-1 RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar