Jumat, 30 Oktober 2020

Yudi Latif: Tujuan dan Cara Etis

Tujuan dan Cara Etis

Oleh: Yudi Latif

 

Sejujurnya, saya dan barangkali kebanyakan orang Indonesia lainnya belum membaca Rancangan  Undang-Undang  Cipta Kerja setebal 812 halaman  yang disusun dengan metode omnibus law tersebut. Alhasil, belum bisa memberikan penilaian atas isinya secara menyeluruh.

 

Sejauh yang bisa ditangkap dari penjelasan DPR dan pemerintah serta kritik yang dilancarkan elemen kritis masyarakat, ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan renungan bersama. Perspektif DPR dan pemerintah boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam meniatkan pembuatan UU itu untuk tujuan mulia. Di sisi lain, perspektif pengkritiknya juga boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam melancarkan kritik terhadap tata cara pembuatan UU yang menimbulkan problem reliabilitas dalam rumusan detail pasal-pasalnya.

 

Secara etis, antara tujuan dan cara itu tidak dapat dipisahkan. Baik tujuan yang kita kejar maupun cara yang kita tempuh sama-sama memiliki konsekuensi etis. Maka, baik tujuan maupun cara harus terus-menerus diperiksa berdasarkan timbangan etis.  Untuk sampai pada tujuan yang benar, kita harus berada di jalan yang benar.

 

Dalam kerangka itu, setiap pembuatan UU dan kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, terlebih dalam kebangsaan yang majemuk, harus bersifat inklusif dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi proses deliberasi publik dan argumentasi publik. Apalagi, usaha menyederhanakan puluhan UU ke dalam satu  UU sudah  barang tentu memerlukan pembacaan dan pelibatan partisipasi yang lebih luas, intens, dan  hati-hati.

 

Dalam situasi pandemi—kendala-kendala perjumpaan dan pembahasan secara inklusif dan intensif—cara yang ditempuh untuk menghasilkan rumusan UU mengandung konsekuensi etisnya tersendiri: boleh jadi kurang bisa mengakomodasi suara-suara subaltern yang terpinggirkan. Dengan kata lain, suatu produk perundang-undangan yang semula diniatkan untuk kepentingan publik justru menjadi kurang responsif terhadap aspirasi keseluruhan.

 

Sebuah kebijakan politik yang responsif setidaknya harus memperhatikan empat prinsip utama. Harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang-wenangan mengambil kebijakan, adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan (misalnya, apakah dalam situasi normal atau pandemi), senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban, serta persetujuan rakyat terhadap kebijakan pemerintah melalui mekanisme deliberatif yang inklusif.

 

Terlebih jika kita memang ingin sungguh-sungguh menjalankan demokrasi dan pemerintahan berlandaskan Pancasila secara konsekuen. Dalam demokrasi permusyawaratan, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, tidak hanya berdasarkan subyektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.

Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif yang dapat menangkal dikte diktator mayoritas suara dan tirani minoritas oligarki.

 

Secara universal, suatu keputusan demokratis memerlukan suatu proses pemenuhan standar kriteria agar pemerintahan dapat melibatkan partisipasi semua warga secara setara. Robert Dahl menggariskan lima kriteria minimum agar suatu negara bisa dianggap demokratis.

 

Partisipasi efektif: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui warga lain. Kesetaraan memilih: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk memilih serta semua pilihan harus dihitung secara setara.

 

Pemahaman tercerahkan: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk mempelajari alternatif kebijakan yang relevan serta kemungkinan akibat-akibatnya. Pengendalian agenda: setiap warga harus memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana dan apa saja yang harus ditempatkan dalam agenda kebijakan. Pelibatan setiap orang dewasa: setiap warga yang sudah dewasa harus diberi hak secara penuh untuk keempat kriteria itu.

 

Di luar persoalan tata cara pengambilan keputusan, hendaklah disadari pula bahwa setiap pilihan kebijakan memiliki konsekuensi ikutan yang bersifat tali-temali. Oleh karena itu, perhatian terhadap rumusan detail setiap pasal menjadi sangat penting. Pada akhirnya, the devil is in the detail.

 

Sebagai contoh, bagaimana UU yang dimaksudkan untuk menyederhanakan perizinan itu tidak bertabrakan dengan agenda pemerintahan Presiden Joko Widodo lainnya yang bertekad mengeluarkan Indonesia dari jebakan kelas menengah dengan mentransformasikan perekonomian Indonesia menuju ekonomi pengetahuan.

 

Apabila rezim perizinan memudahkan arus impor dan investasi asing memasuki sektor ekstraktif,  agenda transformasi perekonomian Indonesia bagaikan pungguk merindukan bulan. Jangan sampai, dengan kemudahan perizinan itu, yang  berkembang hanyalah ”pembangunan di Indonesia”, bukan ”pembangunan Indonesia”.

 

Tak seorang pun tahu pasti perkembangan dan segala konsekuensi ke depan. Oleh karena itu, seseorang, betapa pun powerful-nya, tak bisa menggaransi nasib seluruh rakyat Indonesia. Sebaik-baik keputusan yang menyangkut masa depan hajat hidup orang banyak harus melibatkan persetujuan luas melalui mekanisme deliberatif dan argumentatif yang bersifat inklusif.

 

Nasi memang sudah menjadi bubur. Namun, setidaknya masih bisa menjadikan bubur yang lebih enak. Setiap pihak harus membuka diri bagi perbaikan dan menemukan jalan terbaik yang harus ditempuh agar tujuan baik bisa berbuah baik. []

 

KOMPAS, 22 Oktober 2020

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar