Dahulukan Keselamatan Jiwa
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Perdebatan soal kelanjutan pelaksanaan pilkada serentak belakangan muncul kembali. Setidaknya hal itu bergejolak setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang No 2 Tahun 2020 tentang tahapan lanjutan pilkada yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No 6 Tahun 2020.
Tentu saja sebagai bagian dari alam demokrasi, perdebatan mengenai kapan sebaiknya pelaksanaan pilkada di tengah pandemi itu sah-sah saja sepanjang perdebatan itu produktif dan didasari pada komitmen mencari solusi terbaik bagi masa depan bangsa dan negara tercinta ini.
Dengan tanpa bermaksud menegasikan, bahkan merendahkan pihak mana pun, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan pernyataan sikap terkait rencana pelaksanaan pilkada yang menurut rencana dihelat pada 9 Desember nanti.
Terdapat 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang dijadwalkan menyelenggarakan pilkada. Bayangkan, akan ada sekitar 1.400 lebih calon kepala daerah yang menurut rencana dipilih. Dengan hitung-hitungan seperti itu, apa yang dikhawatirkan M Qodari sebagai bom atom Pilkada 2020 bukan isapan jempol semata.
Dengan ilustrasi matematis, 1.400 calon kepala daerah melakukan kampanye di 10 titik, maka akan tercipta potensi lebih kurang 1 juta titik kerumunan massa yang terjadi antara September dan Desember 2020. Jika yang terlibat kerumunan itu—katakanlah 100 orang saja—maka akan ada 104 juta jiwa yang bersinggungan dan terlibat.
Dengan positivity rate Covid-19 10 persen, sangat mungkin orang yang berpotensi positif korona tidak kurang dari 10 juta lebih selama 71 hari itu (masa kampanye). Belum lagi, banyak kalangan epidemiolog mengatakan bahwa masing- masing yang memiliki potensi terjangkit virus korona tidak mustahil akan jadi superspreader. Mereka bisa saja menularkan kepada keluarga dekat, kerabat, teman, dan tetangga.
Ini bukan semata-mata ketakutan yang mengada-ada. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan bahwa telah banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan sepanjang persiapan pilkada. Misalnya, sebagaimana yang dilaporkan Bawaslu bahwa terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan. Kondisi ini tentu membuat kita harus kembali berpikir jernih. Langkah apa yang terbaik dan harus kita lakukan bersama.
Harus ditunda
Dan, atas dasar kajian serta pengamatan yang intensif tersebut itulah, PBNU menyatakan sikap resminya terhadap pelaksanaan pilkada serentak 2020. Ada tiga poin tertuang dalam pernyataan sikap ini.
Pertama, meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR agar menunda pelaksanaan tahapan pilkada serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Pelaksanaan pilkada, sungguh pun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya.
Kita harus benar-benar berpikir jernih dan belajar bahwa pilkada ini punya potensi besar untuk membuat kluster kerumunan dan juga mobilisasi massa yang sangat tinggi. Bukan perkara mudah untuk menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat di tengah kondisi ”euforia” semacam pilkada.
Terlebih kita harus memahami bahwa kita masih sangat kesulitan beradaptasi dengan kebiasaan baru. Jumlah pelanggaran protokol kesehatan masih sangat tinggi. Tingkat kedisiplinan kita secara umum sangat rendah. Kondisi ini harus diakui sebagai pekerjaan rumah besar yang harus dibereskan bersama.
Bagi Nahdlatul Ulama, kondisi yang demikian itu mengharuskan kita paling tidak berpegang pada kaidah dar’ul mafasid muqadamun ala jalbil mashalih. Menolak segala potensi yang mendatangkan kemudaratan jauh lebih didahulukan dibandingkan mengupayakan kemaslahatan.
Mencegah dengan tindakan- tindakan yang bersifat preventif lebih utama dilakukan. Kerangka berpikir semacam inilah yang menjadi salah satu landasan kuat mengapa pelaksanaan pilkada serentak 2020 harus ditunda.
Kedua, meminta untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip maqashidus syariah. Bahwa upaya perlindungan terhadap jiwa lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya menjaga kelangsungan perekonomian.
Dalam bahasa Kompas dikatakan, ekonomi tidak akan ada artinya tanpa orang. Perlindungan jiwa adalah perlindungan paling esensial dan elementer yang harus dipenuhi sebelum kita berbicara apa pun saja dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kita melihat bahwa pandemi Covid-19 belum benar-benar terkendali di Indonesia. Bahkan, hingga saat ini angka positivity rate kita masih sangat tinggi, melebihi rata-rata dunia.
Atas dasar fakta ini, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah sudah seharusnya diorientasikan untuk memperbaiki krisis kesehatan. Refocusing anggaran dalam hal ini penting dilakukan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menangani wabah.
Ketiga, NU mengingatkan kembali rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2012 di Kempek Cirebon ihwal perlunya peninjauan ulang pelaksanaan pilkada yang terbukti telah banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.
Politik ”rahmatan lil alamin”
Kewajiban untuk menjaga jarak dan larangan untuk berkerumun guna memutus transmisi virus korona menjadi salah satu hal penting mengapa NU mendorong pelaksanaan pilkada serentak 2020 ini ditunda. Illat (raison d’etre) yang menjadi alasan adalah adanya potensi kerumunan, mobilisasi yang tinggi dan juga konsentrasi massa. Kerumunan yang mengabaikan pembatasan fisik jika dilakukan di mana saja, kapan, saja, dan oleh siapa saja hukumnya dilarang, termasuk dalam konteks pilkada langsung.
Di sisi lain, sebagai zoon politicon, manusia merupakan makhluk yang bersiasat dan berpolitik, bahkan ketika ia memutuskan tak berpolitik sekalipun. Demikian Plato dalam Republika mengatakan. Politik adalah ”naluri”. Setiap manusia punya naluri bersiasat, dalam konteks inilah definisi politik paling dasar bisa dipahami. Pertanyaannya, politik yang bagaimana yang bisa diusahakan dalam rangka menunaikan titah Allah?
Tentu saja politik yang menjunjung kemanusiaan, bahkan dalam konteks yang lebih fundamental politik yang menebarkan kasih sayang dan rahmat kepada sekalian. Dalam bahasa agama disebut rahmatan lil alamin, yakni bagaimana menyebarkan nilai-nilai kasih sayang kepada siapa pun.
Dalam pandangan saya, politik rahmatan lil alamin yang tidak lepas dari akar kesadaran platonik yang menyebut manusia sebagai zoon politicon sebagaimana saya ungkapkan di atas. Manusia selalu berpolitik, kata Plato, bahkan keputusannya tidak berpolitik pun sesungguhnya merupakan tindakan politik. Oleh karena itu, politik adalah hal penting dalam sejarah hidup manusia, apalagi dalam kaitannya berbangsa dan bernegara.
Pandangan politik rahmatan lil alamin akarnya menghunjam atas dasar kemanusiaan, kecintaan terhadap bangsa dan negara, nasionalisme, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur lain.
Sementara manifestasinya berupa daun-daun keteduhan dalam wujud kebijaksanaan dan kebijakan-kebijakan yang pro dan sesuai dengan daulat kemanusiaan. Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur pernah mengatakan bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Artinya, politik rahmatan lil alamin adalah politik yang ber-frame work dan berbingkai cita-cita meluhurkan kemanusiaan. Tentu saja aspek kesehatan yang berkelindan kuat dengan aspek pencegahan kebinasaan menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari politik rahmatan lil alamin.
Ala kulli hal, negara didirikan salah satunya untuk menjamin keselamatan jiwa penduduknya. Keselamatan dan rasa aman adalah dua hal mendasar (basic need) yang harus dipenuhi negara terhadap penduduknya. Politik, juga ekonomi, tak akan ada artinya tanpa raga dan jiwa sehat yang menjadi penggerak utamanya. []
KOMPAS, 28 September 2020
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar