Rabu, 21 Oktober 2020

Yudi Latif: Memaknai Kesaktian Pancasila

Memaknai Kesaktian Pancasila

Oleh: Yudi Latif

 

Setiap kali kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kesadaran bangsa seakan ditarik mundur oleh ingatan traumatis untuk senantiasa terperangkap dalam bayang-bayang permusuhan. Padahal, betapapun sulit melupakan pengalaman pedih, impian kesaktian Pancasila sulit diwujudkan manakala kita tak bisa memutus rantai balas dendam.

 

Selama kita tak bisa memulai awalan segar dengan kesediaan hidup berdampingan secara damai, energi nasional tidak bisa dicurahkan untuk bisa memenangkan masa depan.

 

Dalam hal itu, bolehlah kita menyimak suara kearifan Nelson Mandela. ”Kita barangkali sulit melupakan, tetapi harus bisa memaafkan!” Dengan pengendalian diri yang kuat atas kepedihan masa lalunya, Mandela berpesan, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh, dan musuh itu menjadi mitramu.”

 

Dalam kehidupan suatu bangsa, kepahitan sejarah harus meratakan jalan bagi  pencarian kesejatian makna bernegara. Bahwa negara ini didirikan untuk meraih kebahagiaan, yang kepenuhan maknanya bisa diisi dengan jalan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Untuk itu, kita perlu keseimbangan antara nalar bernegara dan rasa berbangsa.  Pertama-tama, politik kenegaraan harus dijalankan menurut penalaran (reason) yang diformulasikan dalam ideologi. Tata kelola negara menurut dasar filosofi Pancasila yang menjadi ideologi negara memerlukan ”pikiran yang sedalam-dalamnya”.

 

Oleh karena itu, perwujudan  kesaktian Pancasila memerlukan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi kerakyatan (demokrasi) yang diidealisasikan oleh Pancasila, juga ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, yang memerlukan daya-daya deliberatif dan argumentatif.

 

Lebih dari itu, pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan kecerdasan. Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Durkheim menyebut negara sebagai ”organ pemikiran sosial” atau ”ego kesadaran kolektif”. Bahkan, Hegel menyatakan  negara merupakan penjelmaan dari pikiran.

 

Michel Foucault menegaskan, ”Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur.”

 

Meski demikian, dalam suatu masyarakat majemuk dengan ragam keyakinan ideologis dan kepentingan, mengandalkan kekuatan penalaran saja—yang sifatnya menguasai—menyimpan potensi ledakan.

 

Oleh karena itu, penguasaan penalaran  itu harus diimbangi dengan kebajikan sambung-rasa untuk saling memaafkan.  Untuk itu, para pendiri bangsa Indonesia mengidealisasikan suatu bentuk ”negara kekeluargaan”, yang dapat mengatasi paham (kepentingan) perseorangan dan golongan.

 

Dalam praktiknya, perwujudan nation building dengan penguatan rasa sebangsa itu masih terhadang oleh lemahnya budaya kewargaan. Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan apa yang disebut sebagai ”kebajikan kewargaan” (the virtue of civility). Hal itu ialah rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

 

Sayang, seperti dicatat oleh Edward Shils (1972), ”Yang lama berkembang di sini adalah suatu kecenderungan padat politisasi yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah dari masyarakat politik. Sementara mereka yang berbeda dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.”

 

Sebagai awalan yang segar untuk mengembangkan solidaritas kewargaan, harus kita sadari bahwa warisan konflik di Indonesia bersifat multikompleks; tak sebatas perbedaan warna kulit seperti di Afrika Selatan. Rangkaian konflik bersifat aksi-reaksi dalam rantai balas dendam. Di sinilah signifikansi dari kebesaran jiwa korban sejarah itu.

 

Daya permaafan yang mereka tunjukkan menjadi kunci bagi pencapaian bangsa ke depan. Seperti ditekankan  Viktor Frankl, psikolog yang menjadi korban kekejaman Nazi,  ”Penerimaan secara sadar atas penderitaan dan nasib dapat ditransformasikan ke dalam pencapaian agung.” Menurut dia, kenestapaan bisa  mendorong pencarian makna hidup (Man’s Search for Meaning).

 

Perkembangan bangsa harus merupakan proses belajar sosial dari akumulasi sejarah nasional.  Dengan ingatan pedih dari berbagai konflik sosial yang dirasakan berbagai pihak, bangsa Indonesia harus bisa belajar untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru.

 

Kesiapan untuk saling memaafkan itu harus diikuti dengan perluasan jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang mampu menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya.

 

Rasa saling percaya itu pada akhirnya harus diikat oleh kesamaan basis moralitas publik dan kepastian hukum, yang memerlukan kehadiran penyelenggara negara dan warga negara yang berintegritas, yang dapat memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. []

 

KOMPAS, 8 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar