Pilkada 2020 dan Politik Dagang Sapi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tidak main-main. Ada 270 dati I dan dati II yang terjun bertanding dalam memilih kepala daerah di pilkada pada 9 Desember 2020 di tengah serangan maut Covid-19 ini. Pilkada 2020 ini sepenuhnya pemilu eksekutif.
Masyarakat terbelah dua: pilkada mesti ditunda dan pilkada tetap diselenggarakan. Taat protokol kesehatan akan sulit dilaksanakan di tengah persaingan politik yang sarat emosi itu. Pilihan pertama disuarakan Muhammadiyah, NU, dan kalangan intelektual.
Pilihan kedua dari pemerintah, DPR, dan parpol. Parpol berdalih, pandemi tak boleh merintangi proses demokrasi. Namun, pihak yang keberatan beralasan, apakah demi demokrasi rakyat harus mempertaruhkan nyawa berhadapan dengan pandemi?
Dari kalangan intelektual yang paling vokal menentang adalah Prof Azyumardi Azra dengan mengampanyekan pilihan golput. Saya dan istri karena usia renta dan rentan juga tidak akan pergi ke kotak suara pada tanggal di atas.
Jika tak salah ingat, dalam sekian pemilu saya selalu ikut memilih, demi demokrasi meski belum siuman juga. Sekalipun hasil pemilu yang berkali-kali itu belum memenuhi harapan bagi perbaikan kehidupan rakyat miskin, saya selama ini tetap saja tidak golput.
Saya sadar sulitnya membangun sistem demokrasi yang sehat dan kuat. Sebagian besar politisi kita terlalu piawai mengumbar janji selama kampanye. Juga permainan busuk politik uang masih saja mewabah. Janji penuh topeng nyaris dilupakan usai pemilu.
Demokrasi kita hampir tak berdaya menghadapi trik tarik-ulur dalam membagi kekuasaan oleh parpol. Slogan sistem presidensial lebih banyak dalam teori, sedangkan dalam praktik politik bagi-bagi kekuasaan jauh lebih dominan.
Partai pendukung presiden tak pernah punya suara mayoritas di DPR. Inilah pintu masuk utama permainan politik koe handel (dagang sapi).
Sebagai intermezo, ada baiknya catatan penulis dalam medsos, Irfan Wahidi, kita kutip soal asal-usul politik dagang sapi. Menurut penulis ini, ungkapan dagang sapi berasal dari suku Minangkabau saat pedagang berinteraksi di pasar ternak dengan cara unik.
Praktik ini kemudian digunakan dalam perpolitikan kita dalam taktik bagi-bagi kursi. Ini sudah menjadi rahasia umum, tidak rahasia lagi. Tetapi ada tetapinya. Di pasar ternak Minangkabau, konsep politik dagang sapi tidak tepat dipakai dalam masalah ini.
Ungkapan yang pas, etika dagang sapi. Saya punya pengalaman langsung. Sewaktu masih bocah, saya pernah menyaksikan etika dagang sapi atau kerbau ini berproses di Kumanis, pasar terbesar di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumbar.
Di pasar ternak itu, para juragan (tauke) ternak memakai pakaian khasnya: celana batik, baju teluk belanga, sehelai sarung, dan kopiah beludru atau kopiah linen hitam yang sering dipakai secara miring.
Mengapa harus pakai etika dagang? Menurut para pedagang itu, sapi atau kerbau adalah makhluk hidup. Jika diperjualbelikan harus ada etikanya. Tidak boleh dilakukan terbuka, apalagi sembrono.
Di sinilah kain sarung itu menjalankan fungsinya. Caranya, sarung dilipat, jari kanan pembeli dan jari kanan penjual saling bersilang di balik kain sarung untuk menentukan harga ternak. Melalui bahasa jari bersilang itulah proses tawar-menawar berlangsung.
Jika harga disepakati, transaksi langsung dilakukan. Jika belum, masing-masing pihak bebas mencari penjual atau pembeli lain. Perbedaan perilaku tauke sapi dan politisi terletak dalam masalah etika ini.
Etika dalam dagang sapi, selalu terikat kesepakatan, tidak ada kongkalingkong dan saling menyogok, sedangkan dalam politik dagang sapi etika itu belum tentu diperhatikan.
Memang dalam teori, politik itu bertujuan baik untuk kepentingan umum, tetapi dalam praktik, yang dikatakan Niccolo Machiavelli “tujuan menghalalkan cara” menjadi fenomena umum, tidak terkecuali dilakukan politisi yang mengusung bendera agama.
Kembali ke Pilkada 2020. Saya rasa, politik dagang sapi ini belum akan berkurang. Demikianlah pemilu di Indonesia, sampai kini belum membawa bangsa dan negara ini mendekati tujuan kemerdekaan berupa terwujudnya keadilan sosial-ekonomi.
Namun, siapa tahu, dengan harapan munculnya kesadaran anak bangsa soal rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara menjelang 100 tahun kemerdekaan, 25 tahun lagi, cita-cita mulia itu dirasakan oleh kedatangan generasi baru yang berjarak jauh dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semoga! []
REPUBLIKA, 13 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar