Senin, 12 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Bolehkah Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar demi Menghindari Riya’?

Perintah untuk menjalankan amar ma’ruf (berseru kepada kebaikan) dan nahi (‘an) munkar (mencegah kemungkaran) sangat jelas dalilnya baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits. Misalnya sebuah ayat di dalam al-Quran berbunyi sebagai berikut:

 

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 

Artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali-Imran:104]

 

Di dalam sebuah hadits Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda sebagai berikut:

 

من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

 

Artinya, “Barangsiapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).

 

Kedua dalil tersebut mendasari diwajibkannya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Contoh amar ma’ruf nahi munkar adalah berdakwah menyampaikan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah subhanu wa ta’ala secara lisan dan/atau tertulis. Syekh Nawawi Banten menyebut hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Tafsir Munir.

 

Di sisi lain ada larangan berlaku riya’ dalam beribadah kepada Allah subhanu wata’la termasuk dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Maka pertanyaannya adalah apakah boleh demi menghindari riya’ seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar?

 

Pertanyaan tersebut pernah diajukan kepada Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad sebagaimana termuat dalam kitab beliau an-Nafais al-Ulwiyah fi Masailis Shufiyyah (Dar Al-Hawi, Cet. I, 1993, hal. 71-72) sebagai berikut:

 

هل يجوز السكوت عن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لمن يخشى على نفسه الرياء في ذالك؟

 

Artinya, “Apakah boleh seseorang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar karena khawatir dihinggapi riya’ dalam dirinya?”

 

Sayyid Abdullah Al-Haddad menjawab:

 

لا يجوز له بحال، ويجب عليه ان يجاهد نفسه في نفي الرياء في عنها مع العمل، ولا يجاهدها بتركه. أعنى ترك العمل. فذالك أمنية للشيطان.

 

Artinya, “Tidak boleh seperti itu, dan wajib baginya untuk berjuang keras menghilangkan riya’ dalam dirinya dan tetap harus beramal, bukannya malahan meninggalkan amal. Meninggalkan amal karena takut riya’ adalah tipu daya setan.”

 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

 

Pertama, seseorang tidak diperbolehkan membatalkan niat dan amalnya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar hanya karena khawatir dihinggapi riya’ di dalam hatinya. Ia sebaiknya tetap menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, dan pada saat yang sama ia harus berjuang keras mengatasi riya’nya agar pahala dari amar ma’ruf nahi munkar tidak berkurang atau batal sama sekali.

 

Jika ia tidak melakukan apapun untuk melawan riya’ yang menghinggapinya dan bahkan membiarkannya berkembang dan menjadi semakin kuat, sesungguhnya ia sangat merugi sebab dapat mengakibatkan ibadahnya dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar tidak diganjar dengan pahala oleh Allah subhanu wa ta’ala, pada saat yang sama ia mendapatkan dosa karena membiarkan riya’nya berkembang menguasai dirinya.

 

Kedua, ketika seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena merasa khawatir dihinggapi riya’, ia sesungguhnya telah terperdaya oleh setan. Setan tentu sangat bergembira ria ketika dilihatnya seorang hamba Allah urung menjalankan amar ma’ruf nahi munkar akibat bisikannya.

 

Jadi ketika seseorang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan pada saat yang sama ia menyadari ada riya’ di dalam hatinya, orang itu sebaiknya tidak terpengaruh oleh apa yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Ia harus tetap menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Pada saat yang sama ia hendaknya berjuang keras mengatasi riya’nya agar terhindar dari ancaman dosa.

 

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai berikut:

 

وما دام الانسان يخشى على نفسه الرياء، فالغالب عليه أنه بعيد عنه. وما لا يدخل تحت الإختيار، من خواطر القلوب، فكفارته أن يكرهه، مهما كان من خواطر الآثام.

 

Artinya, “Selama seseorang merasa takut akan timbulnya riya’ dalam dirinya maka sesungguhnya ia telah terhindar dari riya’. Dan segala bisikan yang masuk ke dalam hati yang kedatangannya tidak di kehendaki, dan bisikan itu mengajak kepada kemaskiatan, maka kaffarahnya adalah dengan membencinya.”

 

Dari penjelasan di atas dapat dipertegas bahwa orang yang masih sulit menghindari riya’ dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar tetapi selalu mencemaskannya, orang seperti itu sesungguhnya telah terhindar dari riya’. Artinya tidak menjadi masalah serius yang mengakibatkan timbulnya dosa ketika seseorang menjalankan suatu ibadah tetapi dalam dirinya masih dihinggapi riya’ yang tidak mudah ia hilangkan begitu saja karena kuatnya bisikan setan.

 

Menurut Sayyid Abdullah al-Haddad, untuk mengatasi riya’ sebagaimana dimaksud di atas, cukuplah seseorang membencinya sebagai kaffarah atau denda. Dengan sikap membenci terhadap riya’ seperti itu sesungguhnya ia telah terhindar dari riya’ dan karenanya ia harus meneruskan amalnya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

 

Lebih lanjut Sayyid Abdullah al-Haddad dalam kitab yang sama pada halaman 175 menyatakan sebagai berikut:

 

والغالب أن من يخشى الرياء لا يكون مريئا. واما المرائي المصر على الرياء فلا ثواب له وربما أثم مع فوات الثواب.

 

Artinya, “Pada umumnya orang yang khawatir akan timbulnya riya’ dalam dirinya, ia bukanlah orang yang suka riya’. Adapun orang yang berbuat riya’ dan terus menerus berbuat demikian, ia tidak akan mendapat pahala, bahkan bisa jadi ia mendapat dosa.’

 

Jadi sekali lagi selama seseorang mengkhawatirkan timbulnya riya’ dalam dirinya sewaktu menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, selama itu pula ia sesungguhnya telah terhindar dari riya’. Ia akan mendapat pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala atas amal yang dilakukannya. Adapun orang-orang yang justru suka memelihara riya’ secara terus-menerus, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari amar ma’ruf nahi munkar yang mereka jalankan kecuali dosa dan dosa.

 

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak dibenarkan seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan untuk menghindari riya’. Riya’ yang muncul sewaktu menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus disikapi dengan membencinya dan memperbanyak istighfar, dan bukan dengan membiarkannya berkembang menjadi-jadi. Riya’ bisa menimpa siapa saja. Tetapi hal terpenting adalah mengelola riya’ itu sebaik-baiknya untuk dilemahkan selemah-lemahnya hingga akhirnya hilang sama sekali. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar