Suhail bin ‘Amr merupakan pembesar Quraisy. Di awal kenabian, ia termasuk orang yang menentang Nabi Muhammad dengan sangat keras. Ia memiliki kemampuan berorasi yang sangat baik. Imam Ibnu ‘Asakir menyebutnya, “ahad khutabâ’ quraisy” (salah satu orator ulung Quraisy). (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, juz 73, h. 41).
Anak-anaknya memeluk Islam di saat Suhail terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah, Abu Jandal, dan Sahlah binti Suhail, semuanya telah memeluk Islam. Selain Abu Jandal, keduanya turut berhijrah ke Habsyah.
Suhail adalah negosiator yang diutus kaum Quraisy di Perjanjian Hudaibiyyah (sulk al-hudaibiyyah). Saat itu, ia menolak kenabian Muhammad, dan bersikukuh untuk menghapus kata “Rasulullah” di surat perjanjian yang akan disepakati. Ia mengatakan:
والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك، ولكن أكتب محمد بن عبد الله
Terjemah bebas: “Demi Allah, jikalau kami mengetahui (atau mengakui) bahwa kau benar-benar Rasulullah, kami tidak akan menghalangimu dari (memasuki) rumah (Makkah), dan tidak memerangimu. Namun (malah sebaliknya), tulislah Muhammad bin Abdullah.” (Imam Abu al-Qasim Sulaiman al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabîr, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tt, juz 20, h. 13)
Sayyidina Suhail bin ‘Amr memeluk Islam setelah Fath Makkah (pembebasan Makkah), dan ia menetapi keislamannya dengan tulus dan istiqamah. Itu dibuktikan dengan pidatonya yang luar biasa saat orang-orang Makkah ditimpa kebingungan setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk mendapat penggambaran yang utuh, perlu memperhatikan runtutan riwayat berikut ini.
Saat perang Badar, Suhail bin ‘Amr berhasil ditangkap. Kemudian Sayyidina Umar meminta izin kepada Rasulullah untuk mencabut gigi-giginya agar dia tidak bisa lagi berorasi menyerang Rasulullah. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya. Beliau bersabda:
دعه يا عمر، فعسي أن يقوم مقاما تحمده عليه
Terjemah bebas: “Biarkan dia, wahai Umar. Semoga (saja kelak) dia akan menempati tempat yang (membuat)mu memujinya.” (Imam Ibnu ‘Atsir, Asad al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, juz 2, h. 585)
Suhail dibebaskan karena tebusan, tapi selama di Madinah, ia diperlakukan dengan baik sebagai tahanan, dan melihat kehidupan umat Islam dari dekat. Ia mengagumi pengabdian, ketulusan dan perilaku hidup mereka, tapi hatinya masih enggan menerima Islam.
Setelah Makkah dibebaskan, ia menerima Islam sebagai agamanya, dan berjanji untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Ketika Rasulullah wafat, orang-orang Makkah ditempa kebingungan, bahkan sebagiannya hampir meninggalkan Islam. Imam Ibnu ‘Asakir menulis:
فأسلم سهيل في الفتح، وقام بعد ذلك بمكة خطيبا حين توفي رسول الله صلي الله عليه وسلم وهاج أهل مكة وكادوا يرتدّون، فقام فيهم سهيل بمثل خطبة أبي بكر الصديق بالمدينة كأنه كان يسمعها، فسكن الناس وقبلوا منه وأمير مكة يومئد عتّاب بن أسيد
Terjemah bebas: “Kemudian Suhail memeluk Islam di Fath Makkah (pembebasan Makkah). Setelahnya, ia bangkit menyampaikan orasi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, dan (ketika itu) penduduk Makkah bergerak dan hampir murtad (meninggalkan Islam). Kemudian, (Sayyidina) Suhail bangkit (menyampaikan orasi) di (hadapan) mereka seperti orasi (pidato) Abu Bakr al-Shiddiq di Madinah seperti ia benar-benar mendengarnya. Lalu orang-orang menjadi tenang dan menerima isi pidatonya. Pemimpin Makkah ketika itu adalah ‘Attab bin Asid.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, juz 73, h. 45).
Berikut penggalan orasi Sayyidina Suhail bin ‘Amr:
يا معشر قريش, لا تكونوا آخر من أسلم وأول من ارتدّ, والله إن هذا الدين ليمتدن امتداد الشمش والقمر من طلوعهما إلي غروبها....
Terjemah bebas: “Wahai orang-orang Quraisy, janganlah kalian menjadi orang yang (paling) akhir memeluk Islam dan (paling) awal murtad (meninggalkannya). Demi Allah, sungguh agama ini pasti akan membentang (penyebaran dan pengikutnya) dengan luas bentangan matahari dan rembulan dari mulai terbit sampai tenggelamnya....” (Imam Ibnu ‘Atsir, Asad al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah, 1994, juz 2, h. 585)
Ia pun mengucapkan pidato yang sama dengan Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq di Madinah. Ia berkata:
من كان يعبد محمدا فإنّ محمدا قد مات, ومن يعبد الله فإن الله حي لا يموت
“Barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H, juz 3, h. 178)
Orang yang semula membenci Islam dan memusuhi nabinya, berubah menjadi penjaga iman bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan kemampuan orasinya yang luar biasa, Sayyidina Suhail bin ‘Amr berhasil menetapkan Islam di kalangan orang-orang Quraisy.
Tidak hanya itu, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam berjuang di jalan Allah, dan berjanji tidak akan kembali ke kampung halamannya, Makkah, meskipun ia sangat merindukan dan mencintainya. Sayyidina Suhail mengatakan, “lâ arji’u ilâ makkata abadan” (aku tidak akan kembali ke Makkah selamanya). (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, juz 73, h. 42).
Ia diangkat sebagai “amîran ‘alâ kardûs”, semacam pemimpin detasemen di Syam. Ia wafat terkena wabah ‘Amawas di tahun ke-18 H di Syam. Imam Ibnu ‘Asakir mencatat:
فلم يزل بالشام حتي مات بها في طاعون عمَواس سنة ثماني عشرة في خلافة عمر بن الخطاب
“Ia tetap di Syam hingga wafat terkena wabah ‘Amawas di tahun 18 H di (era) Khalifah Umar bin al-Khattab.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, juz 73, h. 42).
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar