Kondisi air susu pada masing-masing ibu bisa bermacam-macam. Ada yang berlimpah, ada pula yang kurang. Untuk memenuhi kebutuhan ASI anak, dapatkah keduanya saling melengkapi, misalnya ibu pertama menjual ASI-nya yang berlebih kepada ibu kedua yang kekurangan ASI? Apa hukum transaksi demikian menurut hukum fiqih?
Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i memperbolehkan jual beli ASI karena ASI adalah benda suci, mempunyai kemanfaatan, dan boleh diminum. Alasan (illat) tersebut mengacu pada qiyas susu kambing yang memiliki sifat serupa. Demikian menurut pendapat yang dibuat pegangan (mu’tamad).
وَيَصِحُّ بَيْعُ لَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ؛ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُنْتَفَعٌ بِهِ فَأَشْبَهَ لَبَنَ الشِّيَاهِ، وَمِثْلُهُ لَبَنُ الْآدَمِيِّينَ بِنَاءً عَلَى طَهَارَتِهِ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا مَرَّ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ
Artinya: “Dan sah menjual susu perempuan karena benda tersebut suci, dapat diambil manfaat, maka disamakan dengan susu kambing-kambing. Demikian pula dengan susu yang dikeluarkan oleh pria (jika memungkinkan). Hal ini berdasarkan atas kesuciannya susu tersebut. Pendapat ini adalah yang dibuat pegangan sebagaimana pada bab najasah.” (Muhammad bin Ahmad al-Khatib as-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Darul Kutub al-Ilmiyyah: 1994], juz 2, h. 343]
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab yang menyebutkan penjualan susu hukumnya diperbolehkan tanpa ada kemakruhan sama sekali. Demikian yang dibuat acuan mazhab Syafii dan menjadi keputusan pengikut-pengikut mazhab Syafi’i.
Berbeda dari mazhab Hanafi dan Maliki. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan jual beli susu tidak diperbolehkan. Sedangkan di kalangan mazhab Hanbali terdapat dua perbedaan pendapat.
Ulama yang tidak memperbolehkan berargumentasi bahwa menjual ASI bukanlah hal yang lazim. Selain itu ASI termasuk kelebihan daripada anggota tubuh manusia seperti halnya keringat, air mata, dan ingus. Hal ini berdasarkan kaidah “Sesuatu yang tidak boleh dijual secara global menjadi satu, maka tidak boleh dijual terpisah” seperti halnya rambut. Tubuh manusia secara utuh tidak boleh diperjualbelikan, maka menjual bagian dari tubuh secara terpisah seperti rambut, misalnya, hukumnya juga tidak boleh.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وعن أحمد روايتان كالمذهبين * وَاحْتَجَّ الْمَانِعُونَ بِأَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِي الْعَادَةِ وَبِأَنَّهُ فَضْلَةُ آدَمِيٍّ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ كَالدَّمْعِ وَالْعَرَقِ وَالْمُخَاطِ وَبِأَنَّ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُتَّصِلًا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُنْفَصِلًا كَشَعْرِ الْآدَمِيِّ ولانه لا يؤكل لحمها فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ لَبَنِهَا .
Artinya: “Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak boleh menjual ASI. Dan dari Imam Ahmad menjelaskan ada dua perbedaan pendapat. Bagi ulama yang tidak memperbolehkan menjual ASI karena ASI bukan lah suatu hal yang biasa dijual dalam kebiasaan masyarakat. Dan ASI merupakan kelebihan anggota tubuh manusia, maka tidak boleh menjualnya sebagaimana air mata, keringat dan ingus. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual secara global menjadi satu, maka tidak boleh menjualnya secara terpisah seperti rambut manusia. Manusia adalah jenis benda yang tidak diperbolehkan memakan dagingnya, maka dilarang menjual susunya” (Imam Nawani, al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, [Darul Fikr], juz 9, h. 254).
Dengan demikian dapat disimpulkan, jual beli ASI bagi mazhab Syafi’i diperbolehkan menurut pendapat yang paling kuat. Menurut Hanafi, Maliki, tidak memperbolehkan. Sedangkan mazhab Imam Ahmad menyatakan khilaf antar ulama.
Tiap pendapat memiliki argumentasi dan dasarnya masing-masing. Umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i boleh saja mengambil pendapat keabsahan transaksi jual beli ASI, dengan tetap memperhatikan konsekuensi hukumnya, yakni terbentuknya hubungan mahram (haram dinikah) antara si anak penerima ASI dan si ibu penyuplai ASI, berikut cabang nasab turunannya. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar