Kamis, 31 Oktober 2013

(Do'a of the Day) 26 Dzulhijjah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummanqul nii min dzullil ma'shiyati ilaa 'izzith thaa'ati, wa aghni nii bi halaalila 'an haraamika, wa bi tha'aatika 'an ma'shiyatika, wa bi fadhlika 'amman siwaak: Wa nawwir qalbii wa qabri wa a'idznii minasy syarri kullihii wajma' lii khaira kullahu.

 

Ya Allah, pindahkanlah aku dari kehinaan maksiat kepada kemuliaan taat, kayakanlah aku denga yang Kau halalkan daripada yang Kau haramkan, dengan berbuat taat kepada-Mu daripada kemaksiatan, dengan mendapatkan karunia-Mu daripada orang lain. Ya Allah, terangilah hatiku dan kuburku serta peliharalah aku dari setiap kejahatan dan himpunkanlah aku kepada setiap kebaikan.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kesepuluh.

(Hikmah of the Day) Pertanyaan Imam Junaid kepada Orang yang Pulang Haji


Pertanyaan Imam Junaid kepada Orang yang Pulang Haji

 

Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya.


“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.


”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.


”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”


”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”


”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”


“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”


“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”


“Itu semua tak terlintas di benak saya.”


“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”


“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.


“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”


“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”


”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”


Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah.


“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”


“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”


“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”


“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”


“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”


“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”


“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”


“Tidak juga, Imam.”


“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”


Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:


“Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.”


*) Diterjemahkan dari The Meaning of Hajj (www.israonweb.com)

 

(Mahbib Khoiron)

(Ngaji of the Day) Kehebatan Nahi Munkar ala Sufi


Kehebatan Nahi Munkar ala Sufi

Oleh: Ahmad Dairobi


Seandainya, ada seorang muslim memperkosa seorang muslimah yang mengenakan jilbab, lalu ditengah pemerkosaan itu, si Muslimah membuka jilbab, maka hakikatnya si pemerkosa tetap memiliki tanggung jawab untuk menegur Muslimah tersebut karena telah membuka aurat secara sengaja.

 

Imam al-Ghazali membuat gambaran ‘aneh’ semacam ini dalam Ihya’ Ulumiddin. Gambaran tersebut disampaikan oleh beliau untuk menyatakan bahwa orang jahat sekalipun tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan nahi munkar, kendatipun kemunkaran yang ia lakukan jauh lebih besar dibanding kemunkaran orang yang hendak ia tegur.


Hakikatnya begitu. Hanya saja, setiap orang pasti mencibirnya dengan nada sinis, karena nahi munkar yang dilakukan tanpa adanya keteladanan akan terkesan memuakkan. Namun demikian, bukan berarti seseorang yang melakukan saebuah keburukan tidak diperkenankan untuk mencegah keburukan tersebut.


Imam al-Ghazali membuat sebuah tamsil: ada orang kehilangan kuda beserta pelananya. Lalu, kemana-mana dia hanya sibuk mencari pelana, tanpa mencari kudanya. Orang ini jelas tampak aneh di mata orang lain, bukan karena dia sibuk mencari pelana, tapi karena dia tidak mencari kudanya. Begitu pula orang fasik yang melakukan nahi munkar, dia dipandang dengan mata sinis oleh orang lain, bukan karena nahi munkar tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi dia. Dia dipandang sinis karena memilih melakukan sesuatu yang penting, dan pada saat bersamaan, meninggalkan sesuatu yang lebih penting.


Jadi, bagi setiap muslim ada dua tugas yang tidak saling menafikan. Tugas yang pertama adalah memperbaiki diri sendiri; sedangkan tugas kedua adalah memperbaiki orang lain. Tugas yang pertama memang jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada tugas kedua, namun bukan berarti seseorang dilarang melakukan tugas kedua jika ia belum melakukan tugas yang pertama.


Dalam bahasa Ibnu Hazm, seseorang itu wajib melakukan amar makruf, sekaligus amal makruf. Orang yang bisa memenuhi keduanya, dia berada dalam posisi ideal. Sedangkan orang yang mengajarkan kebaikan, tapi tidak mengamalkannya, maka dia mendapat nilai positif dalam hal pengajarannya, dan mendapat nilai negatif dalam hal kelalaiannya terhadap amal. Dia masih lebih baik ketimbang orang yang tidak mengajarkan kebaikan, sekaligus tidak melakukannya. Orang ini sudah tidak memiliki nilai positif sama sekali. Akan tetapi, masih ada yang jauh lebih buruk daripada dia, yaitu orang yang menghalangi amar makruf nahi munkar, atau orang yang mengajak pada keburukan.


Tidak ada ulama yang menyatakan bahwa orang yang akan mencegah kemunkaran, harus terlebih dahulu bersih dari kemunkaran. Dalam ajaran Islam tidak mungkin ada nalar, “Seorang Muslim wajib melarang orang lain meminum tuak, kecuali apabila dia sendiri meminum tuak.” Meski nalar ini benar-benar menggelikan, namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang secara tidak sadar menganut pikiran semacam ini.


Said binJubair berkata, “Kalau yang bisa melakukan amar makruf nahi munkar hanyalah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka tidak akan ada orang yang menyuruh pada kebaikan (atau melarang keburukan).”


Mengenai hal itu, konon, ada seseorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri dan berkata, “Si fulan tidak mau memberikan mauizah. Dia bilang: aku takut untuk mengucapkan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Mendengar hal itu Imam Hasan al-Bashri berkata, “Lalu siapa diantara kita yang bisa melaksanakan (semua) yang kita ucapkan!? Setan ingin sekali menguasai manusia dengan (menebarkan pikiran semacam) itu, sehingga tidak ada orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran.”


Memang ada beberapa dalil yang mengecam orang yang melakukan amar makruf nahi munkar jika ia sendiri tidak melaksanakan. Mengenai hal itu perlu diketahui, bahwa kecaman tersebut ditujukan kepada perbuatan buruknya, bukan amar makruf nahi munkarnya.


Perlu Juga Mengukur Maslahah-Mudaratnya


Seperti diuraikan di atas, orang fasik sekalipun memang di bebani tanggung jawab untuk mencegah keburukan, baik melalui perbuatan ataupun ucapan. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut juga perlu mengukur maslahah dan mudaratnya. Sebab, selain harus dilakukan dengan cara yang baik, nahi munkar tidak boleh menyebabkan kemunkaran yang lebih besar.


Oleh karena itu, menurut Imam al-Ghazali, orang yang fasik tidak berkewajiban melakukan nahi munkar melalui ucapan atau nasehat kepada orang yang mengetahui kefasikannya. Sebab, kemungkinan besar, orang tersebut akan merasa muak dengan nasehat yang ia sampaikan, sehingga nasehat itu tidak memberikan pengaruh apa-apa pada dia. Bahkan, jika misalnya si fasik itu yakin bahwa orang yang dinasehati akan merespon dengan gunjingan atau ucapan-acapan buruk, maka dia tidak diperkenankan memberikan nasehat. Sebab, selain tidak memberikan manfaat, nasehat tersebut justru akan melahirkan mudarat.


Agar sebuah nasehat memberikan manfaat serta diterima dengan baik, salah atu syarat utamanya adalah ketulusan dan keteladanan dari orang yang memberi nasehat. Tanpa keteladanan, sebuah nasehat akan berlalu begitu saja, tanpa memberikan bekas sedikitpun di dalam hati. Malik bin Dinar berkata, “jika orang alim tidak mengamalkan ilmunya, maka mauizah yang ia berikan akan hilang begitu saja, seperti tetesan air yang terlepas dari saringan.”


“Lidah prilaku jauh lebih mengena daripada lidah mulut,” begitu ditegaskan dalam mutiara hikmah sufistik. Karena itulah, tidak jarang ditemukan kisah para sufi yang tidak perlu mengeluarkan ‘keringat’ bahkan ‘suara’ untuk mencegah terjadinya sebuah kemunkaran.


Salah satunya Syekh Ibrahim al-Matbuli, tokoh sufi Mesir di Abad 9 Hijriyah. Suatu ketika, beliau bersama murid-muridnya berteduh di bawah pohon besar di pinggiran Mesir. Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok prajurit, mereka berteduh tidak jauh dari tempat Syekh al-Matbuli. Mereka mengeluarkan botol-botol minuman keras hendak berpesta.


Melihat hal itu, beberapa murid beliau memohon izin. “Syekh, saya akan menghancurkan botol-botol khamr mereka.”


“Jangan....Mereka akan membuat kalian babak belur. Tapi, jika di antara kalian ada yang memiliki hati, hadapkanlah kepada Allah untuk memecahkan botol-botol itu, lalu terjadi perpecahan di antara mereka.”
Maka, salah seorang murid Syekh al-Matbuli memantapkan batinnya sesuai petunjuk beliau. Ajaib, botol-botol itu pecah seketika. Maka, mereka pun bersitegang, saling menuduh mengenai siapa yang memecahkan botol-botol tersebut di antara mereka.


Cara nahi munkar semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khas yang mengandalkan keteladanan dan ketulusan. Satu kata teduh yang teruntai dari mulut mereka, jauh lebih baik daripada kilatan pedang di tangan yang kekar. Satu detak batin mereka, jauh lebih mengena ketimbang berjuta-juta kata dari mulut yang senang bersendawa.

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 71, Halaman 52 – 54.

Rabu, 30 Oktober 2013

(Do'a of the Day) 25 Dzulhijjah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaghfir lii maghfiratan tushlihu bihaa sya'nii fid daaraini warhamnii rahmatan as'adu bihaa fid daarain. Wa tub 'alayya taubatan nashuuhan laa ankutsuhaa abadaa, wa alzimnii sabiilal istiqaamati laa aziighu'anhaa abadaa.

 

Ya Allah, berilah ampunan kepadaku yang karenanya Kau perbaiki urusanku pada kedua negeri (dunia dan akhirat), berilah rahmat kepadaku yang karenanya aku berbahagia pada kedua negeri (dunia dan akhirat), berilah kepadaku taubat nashuha yang tidak akan kulepas buat selamanya, dan tetapkan bagiku jalan istiqamah yang tidak akan kucerai selama-lamanya.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kesepuluh.

Syeikh Nawawi Diarak Keliling Ka`Bah


Syeikh Nawawi Diarak Keliling Ka`Bah

 

Kemasyhuran dan nama besar Syeikh Nawawi al-Bantani kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Melalui karya-karyanya, ulama kelahiran Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M ini telah membuktikan kepada dunia Islam akan ketangguhan ilmu ulama-ulama Indonesia.

 

Tidak kurang dari 100 judul kitab berhasil digubah oleh Ulama Nusantara yang satu ini kesemuanya ditulisnya dalam bahasa Arab. Selain itu, Kiai Nawawi juga dikenal sebagai seorang yang sangat dicintai baik oleh para murid maupun sesama ulama di kota Mekkah. Kiai Hasyim Asy`ari yang juga merupakan salah seorang ulama yang sempat berguru kepada Syeikh Nawawi, seringkali meneteskan air mata jika mengenang keluhuran pribadi dan kedalaman ilmu gurunya itu.

 

Sementara para ulama di lingkungan Masjidil Haram sangat hormat kepada kealimannya. Bahkan ketika Syeikh Nawawi berhasil menyelesaikan karyanya Tafsir Marah Labid, para ulama Mekkah serta merta memberikan penghormatan tertinggi kepadanya.

 

Ketika kitab tafsir karya Kiai Nawawi diterbitkan, para ulama yang mengajar di Masjidil Haram berkumpul. Mereka sepakat bahwa menafsirkan 30 Juz Al-Qur'an bukan sekedar buah dari kemampuan seseorang, akan tetapi juga karunia yang diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu pada hari yang telah ditentukan para ulama Mekah dari berbagai penjuru dunia mengarak Syeikh Nawawi mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali sebagai bukti penghormatan mereka atas karya monumentalnya itu.


Keberhasilan Sang Kiai menyelesaikan Tafsir Marah Labid ternyata bukan saja memberikan nuansa baru di kota Mekkah namun juga diyakini turut memantik perubahan kurikulum pesantren-pesantren Indonesia pada tahun 1888. Perubahan yang dimaksud adalah maraknya pengajian yang membacakan kitab-kitab tafsir, sebuah fenomena yang disinyalir tidak pernah dilakukan sebelumnya.

 

Selain di Indonesia, pengaruh Syeikh Nawawi juga mewarnai beberapa negara di sejumlah kawasan. Kitab-kitab beliau diajarkan di pondok-pondok pesantren terkemuka yang ada di Malaysia, Filipina dan Thailand. Bahkan di sejumlah negara Timur Tengah, kitab-kitabnya selalu dijadikan sebagai rujukan. []

 

(Rifki)

Dahlan: Dua Tahun dengan Banyak Kejadian


Dua Tahun dengan Banyak Kejadian

Senin, 28 Oktober 2013

 

Minggu lalu bersejarah bagi saya: genap dua tahun menjadi Menteri BUMN. Minggu ini juga bersejarah bagi saya: menerima PT Inalum sebagai BUMN baru hasil penyerahan dari Jepang ke pangkuan Indonesia.

 

Selama dua tahun menjadi menteri saya merasa baik-baik saja. Tidak gembira, tapi juga tidak susah. Biasa-biasa saja. Dua kali saya masuk rumah sakit. Dua-duanya karena sakit perut. Kesukaan saya makan karedok dan ketoprak kadang memang berlebihan.

 

Selama dua tahun itu pula saya hampir tidak absen berolahraga: senam joget di Monas. Nyaris setiap hari: pukul 05.00 hingga 06.30. Kalau pagi-pagi hujan, senamnya pindah ke teras Kementerian BUMN yang di dekat Monas itu.

 

Meski hanya joget, mengurus senam ini ternyata seperti mengurus perusahaan juga: perlu fokus. Awal-awal bergabung ke kelompok senam-dansa ini saya hampir putus asa. Mereka (mayoritas ibu-ibu lebih setengah baya) sudah menguasai gerakan kira-kira 100 lagu. Mereka juga sudah lebih dari 30 tahun berkelompok di situ.

 

Belajar geraknya sulit. Setiap hari lagunya berbeda: Latin, Mandarin, dangdut, jaipongan, Korea, dan rock. Belum berhasil menirukan gerakan satu lagu, mereka sudah berganti gaya. Huh! Kelihatan banget bodohnya. Apalagi, umur sudah 62 tahun!

 

Tapi, saya tidak boleh menyerah. Saya ikuti terus gerak mereka. Kini saya sudah bisa kira-kira 40 gerakan dari berbagai lagu itu. Kemampuan terbaru saya gerakan lagu dangdut: di-reject, di-reject saja! Kini saya sedang belajar keras yang lebih baru: goyang Cesar!

 

Beruntung. Dalam proses belajar ini saya sempat didampingi langsung oleh Cesar yang asli. Yakni, saat sama-sama manggung di Sukabumi pekan lalu.

 

Saya sungguh merasakan manfaat olahraga ini. Sehat, berkeringat, dan gembira. Juga dekat dengan kantor. Saya hampir selalu mandi pagi di kantor.

 

Pernah, di awal-awal menjadi menteri dulu, saya mencoba berolahraga jalan kaki. Baru beberapa hari mencoba, datanglah musim hujan. Berarti harus mencari olahraga di dalam gedung. Tapi apa? Maka, saya putuskan untuk berolahraga dengan cara menaiki tangga darurat gedung bertingkat. Misalnya, gedung Kementerian BUMN yang 24 tingkat itu.

 

Baru beberapa hari naik-turun tangga, bosan juga. Tiap pagi melihat tangga darurat yang sama. Lalu saya naiki tangga darurat gedung Pertamina yang 26 lantai itu. Lalu gedung BTN di Jalan Gajah Mada. Tiap hari saya cari gedung baru: Bank Mandiri di Jalan Gatot Subroto yang 36 lantai. Bank Rakyat Indonesia di Jalan Sudirman. Terus mencari gedung BUMN yang lebih tinggi.

 

Terakhir gedung Bank BNI itu. Mentok. Tidak ada lagi gedung lebih tinggi milik BUMN.

 

Kehabisan cara berolahraga yang praktis, saya jalan-jalan muter Monas. Saya lihat kok ada sekelompok orang menari-nari di dekat patung Ikada. Saya ingat suasana di Tiongkok: banyak orang senam di taman-taman kota. Di kelompok inilah saya (dan istri) terdampar. Sampai hari ini. Waktu itu pesertanya sekitar 40 orang. Sekarang sudah 120 orang.

 

Selama dua tahun menjadi menteri saya juga “terperosok” ke dunia Twitter. Ini gara-gara Najwa Sihab, anchor terkemuka Metro TV itu. Dialah yang merayu saya untuk memasuki dunia Twitter. Dia juga membuatkan account-nya.

 

Sayangnya, dua bulan terakhir ini saya tidak aktif. Awalnya gara-gara HP saya rusak. Lama-lama merasa enak juga sesekali libur panjang dari Twitter. Bisa mengistirahatkan batin. Agar tidak ketularan penyakit pesimistis, sinis, dan negative thinking yang belakangan mewabah di Twitter. Kini saya lagi menunggu kangen untuk Twitter-an lagi.

 

Dua tahun menjadi menteri rasanya sudah sangat lama. Bayangkan kalau harus lima tahun.

 

Minggu ini, tepatnya lima hari lagi, saya menyaksikan hal baru: kembalinya PT Inalum ke pangkuan ibu pertiwi. Baru kali ini terjadi, kontrak kerja sama jangka panjang dengan perusahaan asing tidak diperpanjang. Baru oleh pemerintahan sekarang ini hal itu terjadi. Jepang memang ngotot minta perpanjangan. Tapi, pemerintah tegas: tidak bisa.

 

Kita menaruh hormat kepada Jepang. Dan, kita harus memuji sikap Jepang ini. Kita juga harus salut pada tim pemerintah yang dibentuk Presiden SBY untuk menegosiasikan proses penyerahan PT Inalum ke bangsa sendiri. Tim itu diketuai Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. Menkeu dan Menteri BUMN sebagai anggota.

 

Yang jelas, Jepang tetap menjadi sahabat terbaik Indonesia. Masih banyak kerja sama lain sedang dan akan berlangsung.

 

Hari ini pun saya meninjau proyek kerja sama Jepang-Indonesia di Kalbar. Yakni, pembangunan pabrik chemical alumina yang sangat besar di Kabupaten Sanggau. Yakni, antara BUMN PT Antam Tbk (80%) dan Swadenko Jepang (20%).

 

Kita juga lagi siap-siap membangun pabrik smelter grade alumina yang besar. Juga di Kalbar. Jepang tertarik untuk ikut. Kita lagi pilih-pilih partner terbaik. “Peminatnya banyak,” ujar Dirut Antam Tato Miraza. Misalnya, Mitsui dari Jepang, tiga perusahaan dari Tiongkok, dan satu perusahaan aluminium dari Dubai.

Perusahaan Norwegia juga berminat. Dan, yang paling ngotot dari Rusia. Saya serahkan kepada direksi PT Antam untuk memilih yang terbaik bagi negara.

 

Kita doakan penyerahan PT Inalum ke Indonesia itu berjalan lancar. Komisi VI DPR sudah sangat mendukung dan memberikan persetujuannya. Tinggal persetujuan Komisi XI DPR yang masih dalam proses.

 

Penyerahan PT Inalum ke pangkuan Indonesia itu sebaiknya kita syukuri. (*)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber:

(Ngaji of the Day) Haji dan Qurban Setiap Saat


Haji dan Qurban Setiap Saat

Oleh: Muhammad Roby Ulfi ZT*

 

Disadari atau tidak, setiap kali kita menutup shalat, pasti kita menyematkan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam tasyahud akhir. Kenapa tidak nabi yang lain? Dan saat kita tengah menutup tahun ini, setidaknya ada dua ibadah teristimewa; ibadah haji dan ibadah qurban (udhiyyah).

 

Dua ibadah penutup tahun ini dikatakan istimewa karena hanya dilaksanakan setahun sekali, di penghujung tahun pula. Dan semakin istimewa sebab hanya bisa dilaksanakan bagi yang mampu (the have). Pertanyaannya lagi, kepada siapakah Tuhan kali pertama mensyariatkan dua ibadah ini?

 

Dari sini, tampak jelas kita memang butuh cermin tahunan agar kehidupan ke depan semakin "kinclong". Semakin yakin firmah Allah, "Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya."

 

Ayat enam surat al Mumtahanah tersebut memantapkan kita untuk menjadikan Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai cermin kehidupan. Minimal, kita bercermin sekali setiap penghujung tahun seperti inilah.

 

Mari kita refleksikan setiap langkah hidup kita dengan cermin Ibrahim sekeluarga, yang pertama kali mengumandangkan haji dan merelakan putranya, Ismail, disembelih sebagai bentuk pengorbanan cinta kepada Allah Subhanahu Wata'ala.

 

Dalam berbagai tinjauan, sebenarnya ibadah haji dan kurban mengandung tiga dimensi filosofis: spiritual-transendental, psikologis-simbolis, dan sosiologis-humanis.

 

Arti spiritual-transendental, bahwa kita melaksanakan kedua ibadah ini sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Yang Maha Kuasa. Tanpa landasan iman, tentu kita takkan rela mengorbankan segala yang kita miliki, mulai dari harta, waktu, bahkan hingga nyawa, demi tercapainya haji yang mabrur dan pahala kurban.

 

Sudah berapa nyawa yang syahid selama ibadah haji berjalan? Berapa hewan kurban yang disembelih selama hari raya Idul Adha hingga akhir hari tasyrik? Sangat disayangkan bila semua itu dikorbankan demi popularitas, tanpa dasar spiritual-trasenden.

 

Bila kita renungi, ibadah haji dan kurban hingga sekarang masih eksis, bahkan begitu memikat banyak kalangan, adalah buah dari kekuatan spiritual-transenden Nabi Ibrahim dan keluarganya: keyakinan total mereka pada Allah. Tanpa kekuatan ini, mana mungkin Nabi Ibrahim menyerukan setiap orang yang ia temui untuk "singgah" ke Baitullah, yang saat itu masih sebidang tanah kerontang. Tanpa dasar spiritual-transenden, Bunda Hajar bersama bayi mungilnya takkan sudi hijrah dari "tanah terpilih", Kana’an menuju perjalanan jauh padang pasir yang sangat amat melelahkan. Tanpa spiritual-transenden ini juga, Nabi Ismail, yang baru saja belia, takkan rela disembelih sebagai pemenuhan mimpi sang ayah, yang akhirnya Allah ganti dengan kambing biri-biri dari surga.

 

Maka, bila berkeinginan banyak keberkahan dan kesuksesan hidup melalui berbagai ibadah, atau bahkan setiap aktivitas yang dilakukan, sudah semestinya semua itu kita landasi dengan dimensi spiritual-transendental: Kita menjalankan semua ini semata-mata demi Allah Subhanallah Wata'alaa.

 

Dan secara psikologis-simbolis, ibadah kurban melambangkan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperti tak berakal, malas, kejam, serakah, dan egois, yang perlu dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya pemenuhan panggilan dan perintah Allah. Sehingga darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat kita insyaf, bahwa hewan tak berakal saja rela berkorban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka, sewajarnyalah jika kita manusia yang berakal semestinya mau berkorban di jalan Allah, yang kekuasaan-Nya jelas lebih besar dibanding kekuasaan manusia.

 

Dimensi psikologis-simbolis juga sangat kental dalam ibadah haji. Ihram, misalnya, merupakan simbol ritual yang mendidik manusia agar meninggalkan seluruh 'pakaian' yang pantas ditanggalkan, yang hina di mata Tuhan; kesombongan, hedonisme, dll, serta menggantinya dengan pakaian' putih dan suci; kerendahan hati, kesederhanaan, dll.

 

Dengan menyadari dimensi psikologis-simbolis dalam kurban dan haji, syukur-syukur saat beribadah apa pun, mental dan karakter kita akan mampu meneladani Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail dalam kehidupan sehari-hari kita. Peka terhadap sekitar, rela mengorbankan apa saja demi kesejahteraan sosial, tidak memandang rendah pada kaum tak punya, berkehidupan sangat sederhana, dan masih banyak sifat-sifat terpuji lainnya, yang lahir sebagai buah dari penghayatan dimensi psikologis-simbolis ini.

 

Terakhir, ibadah haji dan kurban sangat erat dengan dimensi sisiologis-humanis. Maksudnya kedua ibadah ini "menciptakan" kita lebih sosialis, peduli sekitar, dan makin humanis, memanusiakan manusia.

 

Letak sosialis-humanis dalam kurban ada pada prinsip distribusi daging hewan pada manusia-manusia sekitar kita. Wajah mereka yang hampir bersedih di hari raya Idul Adha -karena kurang memiliki apa-apa- langsung berubah ceria setelah mendapat daging kurban. Prinsip disribusi kurban ini –begitu juga kaffarah haji- merupakan bukti konkrit kepedulian demi terjalin solidaritas sosial dan kesejahtraan.

 

Larangan memburu, "menumpahkan" darah, mencabut pepohonan, dan sekian peraturan saat ihram haji juga banyak mengandung sisi-sisi sosial-humanis. Larangan ini menyadarkan kita sebagai khalifah bumi, yang diberi amanah agar berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberi kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya.

 

Makna tersirat atau bisa kita sebut filosofi semacam ini perlu dihayati agar ketiga dimensi diatas mampu menghidupkan jiwa kita, yang telah lama suram. Tanpa memaknai yang tersirat dan filosofinya, ibadah apapun dan sebanyak berapapun akan menjebak pelakunya di jurang formalitas belaka tanpa subtansi, bagai tubuh tanpa ruh. Jadi, ukurannya bukan kuantitas, tapi seberapa kualitas ibadah yang kita hayati.

 

Dengan demikian, momentum lebaran Idul Adha di setiap penghujung tahun ini nampaknya memang menuntut kita untuk benar-benar merefleksikan diri dengan selalu berhaji dan berkurban. Artinya beribadah apa pun, bukan sekedar memenuhi panggilan Syariat, melainkan karena memang kondisi riil umat Islam kita yang kini dihadapkan pada berbagai cobaan yang cukup memprihatinkan.

 

Atau, jangankan kondisi umat Islam, cobalah sesekali tengok kondisi diri kita sendiri bersama waktu-waktu yang telah kita sembelih. Sudah berapa tahun kita habiskan hidup ini? Sudah berapa kebaikan sekaligus keburukan yang kita kobarkan? Dan, hai. tahun depan tinggal berapa hari lagi, ya?

 

Oleh karena itu, sebelum menginjak lembaran tahun baru yang masih putih-suci, mari kita tak bosan bercermin, meneladani Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail demi masa depan kita yang lebih jernih, sejernih air Zamzam.

 

Dengan cermin plus ketiga dimensi ini, mari kita ber-"haji" dan ber-"qurban" setiap saat. Semoga!

 

*) Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Yaman periode 2012-2013.

Selasa, 29 Oktober 2013

(Do'a of the Day) 24 Dzulhijjah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma innii dhalamtu nafsii dhulman katsiira, wa innahuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfirlii  maghfiratan min 'indika warhamnii, innaka antal ghafuurur rahiimu.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan aniaya yang banyak, sedangkan tidak ada yang mengampuni dosaku kecuali Engkau, oleh karena itu, ampunilah aku dengan maghfirah yangada di sisi-Mu, dan berilah rahmat kepadaku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kesepuluh.

Sendiri Tetap Sendiri

Beliaunya hanya sendirian, maunya hanya sendirian, dan kesenangannya memang dalam kesendirian.

BamSoet: Bunda Putri dan Perppu MK

Bunda Putri dan Perppu MK

Oleh Bambang Soesatyo

“Publik sulit memercayai bahwa alat-alat kelengkapan negara tak mampu menghadirkan sosok Bunda Putri”

PEMERINTAH saat ini tak kredibel untuk menerbitkan perp­pu atas nama ke­penting­an apa pun selama be­lum bisa mengha­dir­kan Bun­da Putri un­tuk memberi klarifikasi tentang ke­mam­puan mengintervensi kabinet. Di tengah pertanyaan publik tentang peran Bunda Putri, pe­merintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Penerbitan perpu itu merespons guncangan di MK setelah penahanan Akil Mochtar atas dugaan suap menangani gugatan pilkada. Adakah jaminan perppu itu bebas dari kepentingan sekelompok orang? Ketidakyakinan itu mengacu sepak terjang Bunda Putri yang tergambarkan dari rekaman pembicaraan telepon di Pengadilan Tipikor Jakarta, saat menyidangkan perkara suap impor daging sapi.

Kisah peran Bunda Putri itu diperkuat kesaksian Luthfi Hasan Ishaaq. Presiden SBY  telah mem­­bantah kesaksian itu, dan berjanji menghadirkan perempuan itu dalam 2-3 hari, termasuk dengan mengerahkan intelijen dan Polri. Namun ketidakmampuan para pembantu Presiden menghadirkan Bunda Putri hingga batas waktu dijanjikan mereduksi kualitas bantahan presiden.

Publik sulit memercayai bahwa alat-alat ke­leng­kapan negara tak mampu menghadirkan sosok Bun­da Putri. Publik akhirnya pun yakin ada yang me­lindungi perempuan ini. Tentu saja sang pelindung sangat berkuasa, sehingga para pembantu Presiden sekali pun tak berani atau enggan ''menyentuh'' sosok perempuan tersebut.

Publik telanjur yakin Bunda Putri adalah salah satu pentolan kartel daging impor, karena dia mampu mengondisikan para perumus kebijakan impor daging sapi pada tingkat kabinet. Bila untuk urusan daging sapi saja pemerintah lebih mendengar aspirasi kartel dan tidak peduli kepentingan rakyat, bagaimana mungkin patut menerbitkan perppu pembenahan MK?

Maka, kendati sudah diterbitkan, Perppu No.1/2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang ñundang (UU) No.24/2003 tentang MK itu sama sekali tidak kredibel, karena penerbitnya sendiri sudah tidak kredibel lagi.

Sangat Dipaksakan

Selain tidak kredibel, penerbitan perppu itu amat sangat dipaksakan. Tujuannya menciptakan kegaduhan baru politik untuk mengalihkan perhatian publik dari sejumlah persoalan hukum yang diduga melibatkan unsur-unsur kekuasaan atau istana kepresidenan.  Selain persoalan Bunda Putri, masih ada penanganan beberapa kasus yang belum membuahkan kemajuan.

Sebut saja suap yang melibatkan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Diyakini Rudi tidak bermain sendiri. Itu sebabnya, penyidik KPK bisa menemukan uang 200 ribu dolar AS di ruang Sekjen Kementerian ESDM. Penyeli­dikan kasus Rudi seharusnya diarahkan ke atas, karena deal-nya dimulai dari sana.

Bila sudah terjadi kebisingan politik, publik bisa saja tak akan mempergunjingkan lagi sepak terjang Bunda Putri, atau mempertanyakan kelanjutan penanganan kasus Rudi. Sudah bisa diantisipasi bahwa mayoritas anggota DPR menolak perppu dan ada gejolak. Perhatian publik pun tentu mengarah ke parlemen sehingga lambat laun orang melupakan isu Bunda Putri dan masalah lain.

Sejak awal, niat membenahi MK lewat penerbitan perppu dinilai tidak logis. Alasan utamanya,  semua lembaga tinggi negara itu setara. Karena itu, pembuatan instrumen hukum dan perundang-undangan untuk membenahi MK harus dalam kerangka kesetaraan itu. Pemerintah tak boleh bertindak semaunya, tanpa mengindahkan wewenang legislatif dan yudikatif.

Untuk memulihkan wewenang dan citra MK, semua pihak telah diimbau mengacu dulu pada UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pemaksaan penerbitan perppu  tentang perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi, sama artinya menghilangkan independensi MK. Perppu itu menempatkan MK di bawah kontrol dan pengendalian pemerintah.

Bagi masyarakat awam pun, kontruksi itu terlihat tidak logis karena pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan konstitusi justru ikut mengontrol dan mengendalikan MK sebagai pengawas dan penguji konstitusi. Dengan begitu, perppu pembenahan MK bukanlah solusi bijak.

Pemerintah seharusnya menahan diri untuk tidak ikut-ikutan mengebiri MK. Begitu diterbitkan, Perppu dimaksud langsung terlihat kelemahannya. Misalnya, Perppu itu memberi kekuasaan kepada Komisi Yudisial (KY) membentuk panel ahli untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi.

Belum lagi soal penetapan standar etika bagi hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi sudah berinisiatif membentuk dewan etik untuk mengawasi hakim konstitusi. Perppu pembenahan MK pun menetapkan pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi (MKHK), untuk peran yang sama.

Terlihat sangat jelas bahwa di sela-sela proses membenahi MK, ada kemungkinan terjadi kega­duh­an politik yang bisa berlarut-larut. Realitas itu seperti direkayasa mengingat ada yang ingin me­nunggangi kemarahan publik atas kasus di mahkamah tersebut. Kegaduhan itulah yang dimanfaatkan se­demikian rupa untuk mengalihkan perhatian publik dari sejumlah isu panas yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi penguasa. (10)

Harian Suara Merdeka – Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR, Presidium Nasional KAHMI



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

(Ngaji of the Day) Ketegaran Sang Kesatria Iman


Ketegaran Sang Kesatria Iman

Oleh: Veri Muhlis A*

 

Dapatkah kita bayangkan bagaimana perasaan Ibrahim tatkala mendapat titah Tuhan untuk menyembelih anaknya? Anak satu-satunya yang ia damba belasan tahun, bersimpuh siang dan malam penuh harap? Dan, ketika kabar gembira itu datang, lalu tumbuh sebagai anak santun dan penyabar, tiba-tiba ia harus menghunusnya dengan pedang. Sanggupkah kita rasakan kegetirannya?


Saat menerima perintah itu, Ibrahim belum tahu skenario Tuhan. Di benaknya hanya ada satu hal: ia harus patuh padaTuhan dan itu berarti anaknya (Ismail) akan mati di tangan sendiri. Betapa bergejolak jiwa Ibrahim. Begitu dahsyatnya sehingga tak akan sanggup dijalani orang biasa seperti kita. Ya, orang biasa dengan kadar keimanan yang masih dangkal.


Ibrahim adalah “kesatria iman”, begitu pandangan Kierkegaard sebagaimana digambarkan Goenawan Muhammad (Caping 26 Oktober 2012). Ia bersedia melaksanakan titah itu betapa pun besar taruhan dan pengorbanannya. Ia benar-benar menaruh kepercayaan pada Tuhan (iman) serta bersikap rela atas kehendak dan keputusan-Nya (radliyatan mardliyyah).


Namun benarkah kesatria iman bisa melenggang tanpa beban saat mendengar jawaban anaknya yang lirih dan santun? Ismail berkata: “...Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaAllah engkau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” (QS. al-Shaffat: 102). Bagaimana perasaan Ibrahim ketika mendengar jawaban itu? Masih tegakah ia?


Ibrahim tetap Ibrahim, ia bukan yang lain. Bisa jadi, ia getir tapi tak gentar, gementar tapi tetap tegar. Demikian pula Ismail, sabar menerima dan menjalani perintah Tuhan meski sebenarnya, menurut pertimbangan akal sehat, sulit diterima. Adakah seorang anak yang rela disembelih orang tuanya saat sudah tahu rasa sakit, mulai mengerti manis dan pahit dunia, memahami kodrat dirinya sebagai mahluk hidup? Sungguh Ismail anak yang amat sabar (ghulamun halim).


Setelah keduanya berdamai dengan hati masing-masing, Ibrahim kemudian membaringkan Ismail di satu tempat yang kokoh. Masih belum terbayang oleh kita perasaan Ibrahim ketika menatap wajah anaknya sembari melihat pedang di tangannya. Pergulatan sunyi penuh sayatan kasih sayang (telah) akan dilaksanakan tanpa seorang pun yang melihat, kecuali Tuhan.


Saat itulah Tuhan kemudian memanggil: “...Wahai Ibrahim! Sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (al-muhsnin). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” (QS. al-Shaffat: 104-107).


Rupanya Ibrahim dan Ismail sedang diuji. Tuhan ingin melihat kesabaran dan kesunggguhan iman keduanya. Setelah hal itu nyata, maka Tuhan segera melarang Ibrahim untuk menyembelih atau membunuh. Tuhan mengganti Ismail dengan sembelihan (kambing) sebagai qurban (pengorbanan harta yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri pada Allah). Peristiwa inilah yang diabadikan umat Islam dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban.


Hingga kini Ibrahim tetap dikenang. Bahkan tiap salat umat Islam mengucapkan shalawat, minimal sembilan kali dalam salat lima waktu. Tuhan pun memberikan kesejahteraan pada Ibrahim karena lolos melewati ujian. Tuhan menegaskan, ”Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia (Ibrahim) termasuk hamba-hamba Kami yang beriman,” (QS. al-Shaffat: 110-111).


Banyak hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa tersebut. Salah satunya ialah keteguhan, kesabaran, dan ketegaran Ibrahim dalam menghadapi ujian. Meski ujian itu luar biasa berat, tapi ia sama sekali tak berpaling. Ia senantiasa yakin, Tuhan menghendaki yang terbaik buat dirinya. Tak ada kehendak yang lebih baik daripada kehendak Tuhan. Dan, berkat prinsip itulah Ibrahim memperoleh balasan kebaikan (halawah al-iman).


Artinya, untuk memperoleh kebahagiaan tak mungkin dijalani dengan senang-senang tanpa pengorbanan. Selalu ada rintangan yang membentang yang menuntut kita untuk tekun, sabar, tegar dan tak mudah menyerah. Kita harus hadapi rintangan itu hingga titik nol kemampuan. Lagi pula Tuhan tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya.


Jika kita sudah yakin apa yang kita lakukan adalah benar dan merupakan jalan yang terbaik buat kita, maka jalani dengan sungguh-sungguh. Tak usah mengeluh apalagi berburuk sangka. Tuhan pasti menebus keringat kita dengan kebaikan. Sebab pada hakikatnya, Tuhan hanya ingin melihat kesungguhan dan kesabaran kita dalam berusaha, sebagai wujud pengabdian pada-Nya. Semoga kita termasuk golongan muhsnin, pengikut keteladanan Ibrahim.


* Veri Muhlis Arifuzzaman adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam

Senin, 28 Oktober 2013

(Do'a of the Day) 23 Dzulhijjah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabil qabri, wa waswasati shadri wa syataatil amri.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, perasaan ragu di hati, dan dari urusan yang berantakan.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kesepuluh.

(Buku of the Day) Ulumul Qur’an


Jalan Memahami Al-Qur’an dengan Benar

 



 

Judul Buku        : Ulumul Qur’an

Penulis             : Dr. Muhammad Sayid Thanthawi

Penerbit            : IRCiSoD

Cetakan            : I, Agustus 2013

ISBN                 : 978-602-255-027-3

Peresensi          : Moh. Romadlon, penulis lepas, aktif di kepengurusan TBM Sumber Ilmu Rantewringin, Kebumen. Tinggal di Kebumen

 

Hidup selamat dan bahagia di dunia dan akherat jelas merupakan impian ideal setiap insan beriman. Untuk mewujudkan impian tersebut tersebut hanya ada satu jalan yaitu dengan memahami kandungan Al-Qur’an.


Dewasa ini banyak orang yang semangat untuk memahami Al-Qur’an, namun masih banyak yang melakukan secara sembarangan. Akhirnya, bukanmya dapat petunjuk malah terjerumus pada pemahaman yang keliru, sempit, dan kaku. Esensi ajaran Al-Qur’an malah sering terabaikan. Salah satu sebabnya karena semangat mereka tidak disertai oleh penguasaan yang cukup akan ilmu yang mengupas tentang seluk-beluk dan segala aspek yang terdapat dalam Al-Qur’an, yakni kurang menguasai disiplin ilmu Ulumul Qur’an.


Ulumul Qur’an itu sendiri adalah ilmu yang tersusun atas berbagai macam pokok pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dalam berbagai aspek, diantaranya nuzulul qur’an, asbabul nuzul, makiyyah dan madaniyah, rasm, ijaz, dll. Melihat dari itu, yang menjadi tema sentral pembahasan ilmu ini adalah Al-Qur’an itu sendiri.(hal.11-12).


Dengan mengusai ilmu ini kita akan menemukan gambaran lengkap dan sempurna Al-Qur’an dengan segala aspek yang terkait. Dan ketika gambaran itu sudah kita peroleh, maka bertambalah nilai kesucian dan kesakralan Al-Qur’an dalam jiwa kita. Selain itu dengan mengusai ilmu ini juga kita kian menghargai jasa para ulama terdahulu yang sudah mencurahkan segala kemampuan dan hidupnya untuk Al-Qur’an.


Dari masa ke masa tak terhitung para ulama yang telah menyumbangkan kemampuan mereka untuk menghasilkan kitab-kitab ulumul qur’an. Dimulai sejak abad ke-2 Hijriyah kitab-kitab itu mulai disusun. Diantara mereka ada yang menulis tafsir, asbabul nuzul, nasikh mansukh, dan qiroat, dll. Pada periode awal, kitab-kitab tersebut hanya berisi bagian-bagian tertentu dari ulumul qur’an. Baru pada periode berikutnya, kitab-kitab itu disusun secara komprehensif, diantaranya Al-Burhan fi ‘Ulumil al-Qur’an karya Al-Imam Badru ad-Din az-Zarkasyi, dan Al-Itqan fi ‘Ulumil al-Qur’an karya Al-Imam Jalal ad-Din as-Suyuthi. Di masa kontemporer masih banyak juga kitab ulumul qur’an yang diterbitkan. Sebut saja I’jas Al-Qur’an karya Musthafa Shadiq, Manhaj al-Furqon fi ‘Ulumil Qur’an karya Syeh Abdul Wahab bin Abdul Majid Ghazlan, dll.(hal.15-21).


Penulis yang merupakan seorang syeh di Universitas Al-Azhar, Kairo ini pada bab selanjutnya mengurai secara singkat tentang aspek-aspek Al-Qur’an. Misalnya dalam bab-3 diterangkan tentang definisi, nama, dan tujuan diturunkan Al-Qur’an. Secara terminologi Al-Qur’an adalah firman Allah yang mu’jiz (dapat melemahkan orang-orang yang menentangnya), diturunkan kepada Rasulullah, tertulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya dinilai ibadah. (hal.24).


Firman Allah ini selain terkenal dengan nama Al-Qur’an, juga sering disebut al-Furqon, al-Kitab, adz-Dikr, at-Tanzil, dll. Tujuan utama diturunkanya Al-Qur’an sendiri adalah untuk memberi petunjuk pada manusia tentang jalan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. (hal.31-34).


Sedang pada bab-5 menjelaskan tentang manfaat mengetahui urut-urutan turunnya ayat. Manfaat itu adalah untuk membedakan antara ayat yang nasikh dan mansukh. Selain itu adalah untuk mengetahui sejarah penetapan hukum Islam dan tahapan dalam memberi pelajaran pada manusia dengan cara yang lembut. (hal.49-50).


Masih banyak bab-bab lain yang kesemuaanya akan membantu kita menggali dan memahami isi Al-Qur’an. Sebut saja, bab-6 yang mengurai perbedaan antara ayat makkiyah dan madaniyyah (hal.53-57), bab-7 yang mengungkapkan hikmah dibalik diturunkannya Al-Quran secara berangsur. (hal.59-86), hingga bab terakhir yang menjelaskan aspek-aspek penetapan hukum dalam Al-Qur’an. (hal.147-160).


Membedah Al-Qur’an selaksa menyelam dalam samudera tak berdasar. Bila kita sudah siap dengan beragam alat penyelaman, niscaya akan menemukan segala macam yang menakjubkan, tapi bila tidak siap, maka kita akan hilang ditelan kedalamannya.***

Kang Sobary: Ambisi dan Keserakahan


Ambisi dan Keserakahan

Oleh: Mohamad Sobary

 

Dalam sastra pedalangan ada peristiwa ketika Dasamuka merampas umur panjang, yang oleh Dewa sudah ditakdirkan menjadi milik Batara Rama. Umur bukan benda seperti baju antisenjata tajam, atau pedang sakti, tapi simbol berkah dan perkenan Dewa.

 

Berkah dan perkenan ini yang dijarah Dasamuka dengan menggunakan kekerasan. Dewa diancam dan Khayangan bakal diporak-porandakan jika Dasamuka dikecewakan. “Umur panjang itu untukku dan Khayangan aman, atau untuk Rama dan Khayangan kubikin hancur lebur?” teriak Dasamuka.

 

Dewa pun mengalah; dan kita tahu, di sana ada tanda seolah watak angkara yang dilindungi. Beberapa saat kemudian, sesudah urusan Dasamuka selesai, Rama menghadap Dewa dan menagih janji tentang umur panjang, untuk mendukung perjuangannya memelihara kehidupan dan menegakkan keadilan di bumi. Sejenak Dewa bingung.

 

Tapi, Dewa mahakuasa maka kepada Rama, Dewa berkata bahwa meskipun sudah diberikan pada Dasamuka, Rama diberi jalan dan dilindungi, untuk merebut kembali berkah Dewa itu.

 

Di tengah jalan, Rama menyamar menjadi kakek pikun, tua renta. Tampilannya mengenaskan. Kulitnya keriput. Ingatannya sudah rusak parah. Sudah lama dia tuli dan matanya tak lagi mampu melihat dengan jelas. Pendeknya, ingatan, pendengaran dan penglihatannya hampir tak berfungsi lagi.

 

Ketika Dasamuka lewat di depannya, dia tak melihat, tak mendengar, dan tak merasakan kehadirannya.

 

Ketika ditanya - dengan suara keras - di mana anak-anak dan para cucu serta cicitnya, dia hanya ingat samar-samar bahwa dulu anaknya banyak, cucunya banyak, cicitnya tak terhitung. Tapi di mana mereka, dia tak ingat. Dasamuka ngeri membayangkan dirinya, seorang Raja Agung, menjadi pikun, tuli, dan buta. Betapa tak enaknya.

 

Dasamuka pun memberikan umur itu kepada si kakek pikun. Mulanya si kakek menolak. Dia bilang, dalam usianya itu saja dia sudah cukup menderita. Jadi, janganlah penderitaan itu ditambah lagi. Tapi, Dasamuka memaksa dan akhirnya kakek menerimanya.

 

Ketika Dasamuka melangkah pergi, Rama beralih rupa menjadi dirinya kembali. Dasamuka yang menengok ke arahnya, marah besar. Dia tak rela menjadi korban tipu muslihat licik itu. Pertempuran untuk saling membunuh hampir saja terjadi. Tapi, Dewa turun melerai.

 

“Kamu salah, Dasamuka. Kakek pikun tadi tidak meminta, bahkan menolak kau beri umur itu. Tapi kau memaksanya. Dewa menyaksikan semua kejadian tadi. Kamu yang salah. Ketahuilah, Dasamuka, sesakti apa pun kamu, tak mungkin kau melawan suratan takdir. Apa yang ditakdirkan bukan milikmu, dia bukan milikmu,” kata Dewa.

 

Dasamuka bungkam. Perasaannya hampa. Dunia seperti gelap gulita. Perkara “hak” dan “batil”, “benar”dan “salah”, dalam hidup sering tercampur aduk. Banyak orang yang tak peduli bahwa langkah-langkah hidupnya mencampuradukkan apa yang benar dan apa yang salah. Desakan ambisi dan keserakahan dijadikan panglima kehidupannya.

 

Di dalam birokrasi, orang ambisius dan serakah berusaha mati-matian—termasuk memfitnah—demi meraih cita-cita. Ambisi dan keserakahan dimanjakan. Apa yang bukan haknya direbut dengan menggunakan mekanisme birokrasi sehingga seolah-olah tindakannya sah, seolah-olah langkahnya benar.

 

Orang macam itu siap menabrak apa saja dan siapa saja. Matanya memang melek, tapi mata hatinya sudah buta. Dia tak pernah mendengar bisikan hati nuraninya sendiri; dan itu punya akibat mengerikan. Orang bijak tahu, tiap tindakan buruk membakar dan menghancurkan dirinya dari dalam. Tapi, orang serakah dan ambisius tak diberi hak untuk memiliki ilmu hikmah macam itu.

 

Dasamuka merupakan contoh terbaik bagi semua jenis keburukan; dan Dewa seolah membiarkannya? Tidak. Saat itu Dewa berbicara dalam bahasa manusia, khususnya bahasa Dasamuka, untuk pertama, memberi tahu seluruh dunia bahwa orang tak bisa menguasai apa yang bukan hak dan bukan miliknya.

 

Kedua, Dasamuka dibiarkan merebut apa yang bukan miliknya, untuk mengingatkan bahwa dia tak bakal kuat memanggul watak angkara murkanya sendiri yang kelewat batas. Tapi, ambisi manusia sering tak mengenal batas.

 

Orang yang kelihatannya lemah lembut dan hidup cukup seadanya, di dalam dirinya bergolak keserakahan yang tak terlihat; dan gejolak di “dalam” macam itu sering tak terkendali. Orang banyak bisa dikecoh.

 

Tapi dia tahu, dia tak bisa mengecoh dirinya sendiri. Orang yang tampil dalam bahasa rohaniwan, dan menggunakan idiom-idiom para kiai, jangan buru-buru dianggap kiai. Soalnya, apa mau dikata bila dia ternyata korup? Orang bijak—orang zaman dulu—berkata: bahasa menunjukkan bangsa. Maksudnya orang yang berbahasa baik, dijamin orang baik.

 

Sebenarnya sudah lama hal itu salah. Sejak dulu orang bijak juga sudah berbicara tentang “serigala berbulu domba”. Jadi, kita tak boleh ditipu oleh penampilan yang tertata, oleh sikap yang lemah lembut, dan kehalusan berbahasa, yang menggambarkan keluhuran budi.

 

Serigala berbulu domba bukan hanya mengecoh kesadaran kita, tapi dia berbahaya. Dia musuh dalam selimut yang bisa membunuh kita semua, tanpa diduga-duga. Keserakahan singa gurun—yang ganas luar biasa itu—dapat diukur. Tapi, keserakahan manusia—selembut apa pun tampilan luarnya—siapa yang tahu di mana batasnya?

 

Sumber : Sinar Harapan