Selasa, 08 Oktober 2013

(Ngaji of the Day) Peran NU Ketika Negara Tak Bernyali


Peran NU Ketika Negara Tak Bernyali

Oleh: Didik Fitrianto

 

Pasca meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, Gus Dur, intoleransi semakin meningkat dan semangat kebhinnekaan menjadi barang yang semakin langkah di negeri ini. Monopoli keyakinan dengan ancaman kekerasan menjadi menu sehari-hari. Kelompok-kelompok pengusung panji-panji kekerasan semakin mendapatkan tempat di negeri ini akibat penguasa tidak bernyali dan lembek.

 

Yang lebih memprihatinkan simpul-simpul kekerasan yang mengancam kebhinnekaan justru muncul di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan Yogyakarta. Kekerasan yang dilakukan mulai dari pembakaran tempat ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan, perusakan makam-makam leluhur, dan pengusiran warga yang berbeda keyakinan, semua aksi tersebut dilakukan atas nama agama dengan klaim Tuhan merestui aksi keji tersebut.

 

Selain aksi kekerasan yang dilakukan mereka juga mengkampanyekan penggantian ideologi negara secara terbuka dan massif melalui berbagai media, rapat terbuka, dan penggalangan massa. Semua aksi-aksi tersebut dilakukan secara bebas karena mereka tahu para penguasa tidak punya nyali.

 

Konsensus para pendiri bangsa ini adalah Demokrasi Pancasila yang di dalamnya ada kebhinnekaan tanpa membedakan warna kulit, keyakinan, suku dan agama dalam bingkai kesatuan. Di negeri ini semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut karena konstitusi menjamin hak tersebut.

 

Sayangnya penghianatan mulai dilakukan oleh anak bangsa sendiri, mereka mengatasnamakan kebebasan berpendapat, dan berlindung dengan topeng demokrasi yang mereka haramkan sendiri. Pengkhianatan tersebut dilakukan dengan cara merusak keanekaragaman, memaksakan kehendak dan kekerasan, dampak pengkhianatan tersebut mulai terasa pada kehidupan berbangsa yang mulai rapuh dan keropos, saling curiga, pertumpahan darah dan disintegrasi, rakyat hidup tidak aman lagi di negerinya sendiri.

 

Indonesia selama ini dikagumi dan menjadi contoh dalam menjaga kebhinnekaan oleh dunia. Jangan sampai kita sebelah mata dan dihujat karena membiarkan kelompok-kelompok sektarian menghancurkan kebhinnekaan, yang lebih menyedihkan hukum menjadi tumpul ketika berhadapan dengan kelompok tersebut.

 

Di tengah pesimisme dan keputusasaan akibat alat negara tidak berfungsi menghadapi kelompok-kelompok radikal, kita masih bisa berharap kepada NU sebagai benteng terakhir untuk menjaga kebhinnekaan yang sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata.

 

Kenapa NU? Inilah satu-satunya ormas yang memiliki keberanian untuk melawan kelompok-kelompok radikal yang akan mencoba mengganggu kebersamaan dan kesatuan Indonesia. NU berdiri paling depan di saat ormas Islam lain diam dan takut mengambil tindakan untuk melawan kelompok radikal tersebut, ormas Islam lain biasanya hanya sebatas mengeluarkan keprihatinan di saat terjadi kekerasan.

 

NU tidak hanya siap melawan secara fisik, perlawanan di mimbar-mimbar diskusi dan seminar baik di dunia maya maupun secara lansung juga dilakukan untuk melawan pemikiran yang akan mencoba memonopoli kebenaran untuk merusak kebhinnekaan dan kebangsaan.

 

Tidak hanya kaum intelektual NU dan para ulama kharismatik yang melakukan perlawanan, para kiai kampung di pelosok desa pun tanpa lelah membentengi umat dari racun pemikiran kelompok radikal melalui majelis-majelis taklim dan pengajian.

 

Faktanya NU lah yang bergerak cepat untuk mengambil tindakan di saat kelompok radikal melakukan tindakan kekerasan, kasus terakhir adalah perusakan makam cucu Sultan HB VI di Yogyakarta dimana organ NU, Banser akan bertindak tegas dengan memburu para pelakunya apabila aparat negara melakukan pembiaran terus-menerus terhadap aksi intoleransi.

 

Indonesia tanpa NU akan menjadi negara yang penuh konflik sektarian, kelompok-kelompok intoleran akan semakin membabi buta memaksakan kehendaknya. Pembiaran terhadap aksi-aksi mereka tidak menutup kemungkinan akan menjadikan negeri ini dalam jurang perpecahan.

 

Tanpa melebih-lebihkan, Indonesia tanpa NU adalah negeri tanpa benteng yang bisa diserang dari segala penjuru. Kita patut bersyukur benteng tersebut masih kokoh berdiri dan tanpa lelah melindungi Indonesia yang penuh kebhinnekaan. NU tidak bisa kita biarkan bekerja sendiri, kita ikut bertanggung jawab untuk menjaga republik yang kita cintai ini untuk tetap kokoh dan penuh warna.

 

Tanpa mengecilkan peran alat negara, NU menjadi contoh positif bagi penguasa untuk segera mengambil tindakan tegas ketika ancaman akan kesatuan terancam. Negara dengan alat kelengkapannya harus berani dan tanpa kompromi ketika ada kelompok-kelompok yang mencoba memaksakan keyakinannya untuk memecah belah NKRI. Indonesia adalah rumah besar dengan berbagai ragam keyakinannya dari sabang sampai Merauke, kita tidak akan membiarkan rumah besar ini keropos dan ambruk dari serangan badai kelompok intoleransi, karena kita yakin Pancasila dan NKRI adalah harga mati. []

 

*Penulis adalah Gusdurian, bekerja di Wetlands International Indonesia Programme, tinggal di Maumere – Flores-NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar