Selasa, 29 Oktober 2013

(Ngaji of the Day) Ketegaran Sang Kesatria Iman


Ketegaran Sang Kesatria Iman

Oleh: Veri Muhlis A*

 

Dapatkah kita bayangkan bagaimana perasaan Ibrahim tatkala mendapat titah Tuhan untuk menyembelih anaknya? Anak satu-satunya yang ia damba belasan tahun, bersimpuh siang dan malam penuh harap? Dan, ketika kabar gembira itu datang, lalu tumbuh sebagai anak santun dan penyabar, tiba-tiba ia harus menghunusnya dengan pedang. Sanggupkah kita rasakan kegetirannya?


Saat menerima perintah itu, Ibrahim belum tahu skenario Tuhan. Di benaknya hanya ada satu hal: ia harus patuh padaTuhan dan itu berarti anaknya (Ismail) akan mati di tangan sendiri. Betapa bergejolak jiwa Ibrahim. Begitu dahsyatnya sehingga tak akan sanggup dijalani orang biasa seperti kita. Ya, orang biasa dengan kadar keimanan yang masih dangkal.


Ibrahim adalah “kesatria iman”, begitu pandangan Kierkegaard sebagaimana digambarkan Goenawan Muhammad (Caping 26 Oktober 2012). Ia bersedia melaksanakan titah itu betapa pun besar taruhan dan pengorbanannya. Ia benar-benar menaruh kepercayaan pada Tuhan (iman) serta bersikap rela atas kehendak dan keputusan-Nya (radliyatan mardliyyah).


Namun benarkah kesatria iman bisa melenggang tanpa beban saat mendengar jawaban anaknya yang lirih dan santun? Ismail berkata: “...Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaAllah engkau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” (QS. al-Shaffat: 102). Bagaimana perasaan Ibrahim ketika mendengar jawaban itu? Masih tegakah ia?


Ibrahim tetap Ibrahim, ia bukan yang lain. Bisa jadi, ia getir tapi tak gentar, gementar tapi tetap tegar. Demikian pula Ismail, sabar menerima dan menjalani perintah Tuhan meski sebenarnya, menurut pertimbangan akal sehat, sulit diterima. Adakah seorang anak yang rela disembelih orang tuanya saat sudah tahu rasa sakit, mulai mengerti manis dan pahit dunia, memahami kodrat dirinya sebagai mahluk hidup? Sungguh Ismail anak yang amat sabar (ghulamun halim).


Setelah keduanya berdamai dengan hati masing-masing, Ibrahim kemudian membaringkan Ismail di satu tempat yang kokoh. Masih belum terbayang oleh kita perasaan Ibrahim ketika menatap wajah anaknya sembari melihat pedang di tangannya. Pergulatan sunyi penuh sayatan kasih sayang (telah) akan dilaksanakan tanpa seorang pun yang melihat, kecuali Tuhan.


Saat itulah Tuhan kemudian memanggil: “...Wahai Ibrahim! Sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (al-muhsnin). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar,” (QS. al-Shaffat: 104-107).


Rupanya Ibrahim dan Ismail sedang diuji. Tuhan ingin melihat kesabaran dan kesunggguhan iman keduanya. Setelah hal itu nyata, maka Tuhan segera melarang Ibrahim untuk menyembelih atau membunuh. Tuhan mengganti Ismail dengan sembelihan (kambing) sebagai qurban (pengorbanan harta yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri pada Allah). Peristiwa inilah yang diabadikan umat Islam dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban.


Hingga kini Ibrahim tetap dikenang. Bahkan tiap salat umat Islam mengucapkan shalawat, minimal sembilan kali dalam salat lima waktu. Tuhan pun memberikan kesejahteraan pada Ibrahim karena lolos melewati ujian. Tuhan menegaskan, ”Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia (Ibrahim) termasuk hamba-hamba Kami yang beriman,” (QS. al-Shaffat: 110-111).


Banyak hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa tersebut. Salah satunya ialah keteguhan, kesabaran, dan ketegaran Ibrahim dalam menghadapi ujian. Meski ujian itu luar biasa berat, tapi ia sama sekali tak berpaling. Ia senantiasa yakin, Tuhan menghendaki yang terbaik buat dirinya. Tak ada kehendak yang lebih baik daripada kehendak Tuhan. Dan, berkat prinsip itulah Ibrahim memperoleh balasan kebaikan (halawah al-iman).


Artinya, untuk memperoleh kebahagiaan tak mungkin dijalani dengan senang-senang tanpa pengorbanan. Selalu ada rintangan yang membentang yang menuntut kita untuk tekun, sabar, tegar dan tak mudah menyerah. Kita harus hadapi rintangan itu hingga titik nol kemampuan. Lagi pula Tuhan tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya.


Jika kita sudah yakin apa yang kita lakukan adalah benar dan merupakan jalan yang terbaik buat kita, maka jalani dengan sungguh-sungguh. Tak usah mengeluh apalagi berburuk sangka. Tuhan pasti menebus keringat kita dengan kebaikan. Sebab pada hakikatnya, Tuhan hanya ingin melihat kesungguhan dan kesabaran kita dalam berusaha, sebagai wujud pengabdian pada-Nya. Semoga kita termasuk golongan muhsnin, pengikut keteladanan Ibrahim.


* Veri Muhlis Arifuzzaman adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar