Senin, 21 Oktober 2013

Kang Said: Awas Hakim!


Awas Hakim!

Oleh: Said Aqil Siradj

Harian Kompas, Jumat, 18 Oktober 2013

 

 

HAKIM itu identik dengan pemutus perkara. Ada kredo menyatakan judge made law, hukum timbul karena putusan hakim. Profesi hakim merupakan pekerjaan yang mulia, tetapi sekaligus rentan godaan.


Dengan ungkapan lain, hakim merupakan profesi yang dipuja sekaligus dicela. Eksistensi keadilan memerlukan hakim dalam penerapannya. Kalau hakimnya tidak lagi taat hukum, hukum akan rusak dan justru menimbulkan keresahan khalayak.

 

Sejumlah kasus penyelewengan profesi hakim di negeri kita tampaknya makin banyak terjadi. Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus yang muncul masih menyimpan banyak kasus lain yang belum terkuak. Dari keputusan hakim yang dipandang tidak adil, seperti kasus vonis hukum terhadap pencuri sandal dan pencuri buah cokelat, hingga suap-menyuap kelas kakap. Yang terbaru dan mengagetkan: tertangkapnya ketua MK oleh KPK. Ini membuktikan betapa ringkih mentalitas dan karakter hakim.

 

Profesi rawan


Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sematan profesi qadhi al-qudhot yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Ada juga qadhi al-madzalim, hakim yang mengurusi segala bentuk penyelewengan. Kedudukan badan ini lebih tinggi daripada hakim biasa karena menangani perkara yang tak dapat diputuskan hakim biasa, meninjau kembali beberapa keputusan yang ada, atau menyelesaikan perkara banding.

 

Para ulama menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk menjadi hakim, qadhi. Tak sembarang mereka yang ahli hukum mudah menduduki posisi sebagai hakim. Di antara persyaratan itu adalah berkemampuan tinggi, berkemampuan melaksanakan putusan, memiliki wibawa dan pengaruh besar, bersih dan lurus, tidak serakah, dan menjaga diri atau sikap hati-hati dari perbuatan syubhat dan meninggalkan yang haram.

 

Persyaratan ketat itu sesungguhnya berdasar pada hadis yang mengingatkan, "Hakim itu ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk surga dan dua golongan lagi masuk neraka. Pertama, hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui hak (kebenaran) dan ia menghukum dengan kebenaran itu. Kedua, hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. Ketiga, hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui kebenaran dalam perkara itu dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk neraka" (HR Abu Dawud). Ada hadis lagi yang mengingatkan, "Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim, sesungguhnya ia telah disembelih tanpa pisau".

 

Hadis itu merupakan peringatan betapa profesi hakim penuh risiko sehingga membutuhkan ketahanan karakter diri yang kukuh. Dalam rekam sejarah Islam, banyak ulama yang menyadari dan kemudian enggan menduduki jabatan sebagai hakim. Ibnu Umar menolak ketika diminta Khalifah Usman bin Affan menjadi hakim. Abu Hanifah menolak menjadi hakim, ketika diminta Khalifah al-Mansyur. Semua ini didasari sikap karena saking takutnya terjungkal dalam ketidakadilan dan kezaliman. Dalam pandangan ulama fikih sendiri, profesi hakim dihukumi fardhu kifayah.

 

Pembenahan mental


Ada kisah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi. Rumi dulunya adalah seorang hakim yang sangat ahli dan kesohor pada masanya. Rumi dilahirkan di lingkungan terpelajar. Bapaknya adalah seorang ahli hukum dalam mazhab Hanafi. Keilmuannya tentang hukum yang luas membuat Rumi dipercaya jadi hakim dan mengajar di madrasah-madrasah. Muridnya banyak dan masyarakat berduyun-duyun menimba ilmu dari Rumi. Rumi juga dikenal sebagai pembicara yang piawai dalam diskusi ilmiah yang menghadirkan banyak ilmuwan. Perjalanan profesinya ini ia lakoni hingga usia 40 tahun.

 

Perubahan besar dalam hidupnya ketika Rumi bertemu dengan Syam Tabriz, seorang pengelana spiritual yang berpenampilan nyeleneh atau eksentrik. Perjumpaan yang diwarnai dengan dialog sekilas dengan Syam Tabriz itulah yang membelokkan orientasi spiritual Rumi. Singkat kata, Rumi memilih meninggalkan segala kebesarannya, kesohorannya, keprofesorannya, dan profesi hakimnya. Dia menekuni kesufian demi mereformasi kediriannya yang dia sadari banyak tergoda gemerlap duniawi.

 

Cerita "pergumulan batin" ini tak berarti menghardik profesi hakim secara sewenang-wenang. Cerita ini menyimpan hikmah betapa materi, kemasyhuran, dan kecakapan ilmiah tidaklah cukup membuat seseorang baik dan menggapai kearifan. Masih dibutuhkan kendali batin yang menyimpan pelajaran berharga demi membentuk karakter pribadi yang tahan uji.

 

Nah, di sinilah yang hendak ditegaskan bahwa hakim perlu membenahi diri sebagai bagian dari upaya memperbaiki kualitas lembaga peradilan. Hakim yang setiap hari bergumul dalam pencarian keadilan seyogianya memiliki tiga aspek dasar yang baik: insting, moral, dan nurani.

 

Pemimpin dan pengambil keputusan yang sudah mendayagunakan aspek itu akan menjadi penegak hukum yang bermartabat, memiliki moral, dan integritas sehingga setiap keputusannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan negara. Tiga aspek dasar itu harus senantiasa dibenahi dan diasah agar tetap tajam dan bisa digunakan dengan baik.

 

Hakim yang memiliki insting bagus secara instingtif mampu mengetahui hal baik dan buruk. Namun, itu belum menjamin moralnya otomatis menjadi baik. Mungkin selama ini bashirah atau instingnya sudah baik, tapi karena tertutupi oleh hawa nafsu, maka dlamir atau moralnya dikorbankan. Karenanya, kedua-duanya haruslah dibenahi.

 

Insting dan moral (pada diri seorang hakim) yang baik akan menghasilkan nurani yang memiliki daya deteksi sangat tajam dan peka. Nurani itu akan memberi keputusan yang sangat jujur dan tak pernah bohong. Sekecil apa pun kesalahan dan kebenaran akan dilihat dan dirasakan sehingga keputusan yang diberikan menjadi apa adanya.

 

Selanjutnya, lebih lengkap lagi jika seorang hakim memiliki asrar atau kemampuan menembus misteri dan lathifah atau kelembutan. Dengan memiliki asrar, seorang hakim mampu melihat implikasi dari keputusan yang diambilnya. Dengan lathifah, seorang hakim akan mampu menyadarkan dan menggerakkan masyarakat agar mengarah pada jalan yang benar.

 

Kita optimistis pembenahan akhlak, terkhusus di lingkungan penegak hukum, akan mampu diwujudkan dengan semangat dan kerja yang didukung pendidikan lahir dan batin serta mekanisme pengawasan lebih baik. []

 

Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU

 

Sumber: Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar