Rabu, 23 Oktober 2013

Ilmu Nahwu sebagai Alat Berdebat


Ilmu Nahwu sebagai Alat Berdebat

 

Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu membahu dalam melawan Belanda.

 

Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok modernis Islam. Beberapa tokoh Islam modernis dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah, khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan.

 

Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek beragama ulama dan masyarakat Muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali tidak tinggal diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima jika faham ahlussunnah wal jama'ah yang selama ini diwariskan oleh para ulama mereka dituduh menyimpang, bahkan dianggap mengajarkan ajaran yang sesat. Oleh sebab itu, beberapa kali tokoh-tokoh modernis diusir karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan di kalangan masyarakat.

 

Namun setelah diusir, ada saja utusan baru yang dikirimkan dan mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga suatu ketika, salah seorang tokoh modernis yang merasa ingin membuktikan kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk membuktikan ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan dengan kekuatan massa tetapi dengan kekuatan nalar.

 

Mendengar berita ini, KH Sayyid Ali Bafaqih yang terkenal sangat tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh modernis itu. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh berseberangan faham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat luas adu argumen pun segera dimulai. Sebagai bentuk penghormatan, tokoh modernis pun dipersilahkan untuk terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya.

 

Setelah mengucapkan salam dan hamdalah tokoh modernis tersebut mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia berkata; "Rasulullah bersabda: "Man kana…"

 

“Behenti dulu… Berhenti dulu!!" teriak Sayyid Ali Bafaqih memotong pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya mengangkat tangan kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.

 

Ketika merasa semua orang mulai tenang, Sayyid Ali Bafaqih pun kemudian berkata: “Sebelum tuan meneruskan sabda Rasulullah tersebut saya hendak bertanya, ‘man’ itu huruf apa dan dalam gramatika Arab kedudukan sebagai apa?”

 

Mendengar pertanyaan yang tidak pernah disangkanya, tokoh modernis tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak namun Sayyid Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban. Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh modernis pun mengaku tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan jawaban di luar masalah huruf ‘man’.

 

Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu, Sayyid Ali langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur'an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”

 

Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid Ali berhasil memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara rivalnya sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar