Kamis, 10 Oktober 2013

(Ngaji of the Day) Pemuda Tak Boleh Lelah Mengawal Bangsa


Pemuda Tak Boleh Lelah Mengawal Bangsa

 

“Orde Reformasi" --begitu sejarah menulis-- yang lahir tahun 1998 lalu,memiliki urutan panjang dalam memulai persemaian kesadaran tentang perlu dan pentingya perubahan dus melawan rezim otoriter. Kerja dan pengorbananya dilakukan oleh ratusan kaum muda-mahasiswa yang berada di kota-kota seantero nusantara, tanpa kenal pamrih dan tidak mengindahkan resiko berhadapan dengan kuatnya rezim saat itu.

 

Tidak hanya pengorbanna waktu (berlama-lama di kampus) tetapi juga pikiran, air mata serta nyawa. Tidak sedikit teman-teman yang hilang dan gila demi mengawal yang disebut “bayi perubahan” ini. Mereka mampu memberi perbedaan yang sangat signifikan dalam mewujudkan semangat Proklamasi ke arah yang didambakannya. Yakni cita-cita Indonesia adil dan makmur tanpa penindasan.

 

Oktober ini, gelora kepemudaan masih terlihat, namun terasa sepi dari suprime kesadran untuk berbenah yang sesungguh-sungguhnya. Mayoritas kita digerus oleh zaman yang serba transaksi, serta praktis dan mengkhawatirkan menuju hedonis. Pertanyaan nya adalah benarkah Orde Reformasi terekam lebih baik dibanding dengan Orde sebelum nya? Inilah sebetul nya esensi utama yang harus dijadikan percik permenungan kita bersama, khusus nya kaum muda yang tumbuh di era Reformasi.

 

Hal ini patut dicatat, karena sekalipun Reformasi telah berusia sekitar 15 tahun, ternyata "penyakit" Orde Baru masih belum dapat disembuhkan keseluruhanya. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme masih marak berlangsung. Gaya hidup bangsa yang "sofistikasi", tampak masih mewarnai perilaku sebagian besar warga bangsa. Begitu pula dengan budaya hedonisme yang terlihat semakin menjadi-jadi dalam kehidupan nyata di lapangan. Padahal, kita telah sepakat bahwa Orde Reformasi mestilah jauh harus lebih baik dari Orde sebelum nya.

 

Beban berat kita saat ini adalah menjinakkan paham-paham seperti hedonisme, materialisme, kapitalisme, radikalisme atau bahkan teologisme(?), Tidak semata sebagai diskursus tetapi sebagai kritik oto kritik dalam menjangkar gendang peradaban ke depan. Paham-paham tersebut hari ini tidak saja menjadi wacana namun telah menjadi laku dari masing-masing individu baik yang paham maupun yang mengkritisi bahkan anti terhadapnya. Namun samar tersirat dan tampak pelan-pelan digandrugi bahkan di jalaninya sendiri.

 

Kita nyaris tidak berjarak dengan pikiran dan rasionale yang dulu kita kedepankan kan sebagai bagian dari mencerna keadaan. Jika dulu musuh kita adalah sesuatu yang nyata, terlihat jelas secara kasat mata, sekarang musuh kita bentuknya abstrak, tidak jelas tetapi ia ada. Sosio drama ‘waton kritis atau waton bedho’ tumbuh secara alamiah dalam tubuh masyarakat generasi muda. Tanpa memahi untuk apa dan kemana arah sikap kritis diwujudkan.Musuh yang harus dilawan itulah yang agaknya membuat para pemuda sekarang terpecah-pecah tanpa orientasi yang jelas dan manunggal.

 

Di satu sisi teman-teman muda ingin idealis, namun di sisi lain ternyata menjadi apatis bahkan banyak yang pragmatis, alih-alih merasa sudah lelah dan ingin segera menangkuk buah perjuangan. Sisi lain, kalau bukan sisi gelap? Banyak anak muda karna tak sanggup mendialektikakan kedaan, mereka maujud -mengubah diri mereka menjadi model pemuda baru yang dikenal dengan istilah “alay”. Pemuda yang merasa dirinya bukan pemuda jika tidak bergaya ala boyband/girlband. Pemuda yang merasa dirinya bukan pemuda jika tidak memiliki iPad. Atau pemuda yang merasa dirinya bukan pemuda jika tidak adu kekuatan dengan tawuran dan narkoba. Dan ini nyaris terjangkit di mayoritas genarasi yang masih berada di bangku SMU/SMA.


Saat ini sepertinya, pemuda memerlukan figur-figur yang dapat menjadi teladan, bisa dari sesamanya atau dari generasi pendahulunya. Tidak semua pemuda sadar dan mampu untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Ada pemuda yang butuh contoh dan dorongan. Disorientasi pemuda harus segera diarahkan agar masa depan bangsa ini dapat lebih terarah pula, sebab merekalah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, berdasar statistik kependudukan, pemuda kita menempati prosentase terbesar dalam populasi kita. Bisa dibayangkan, betapa buruk nasib bangsa ini ke depan, jika kesadaran pikir, kesadaran social dan kesadaran beragama mereka tidak benar.

 

Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah.

 

Pemuda adalah calon pemimpin bangsa, pemimpin peradaban! pemimpin bangsa tak boleh mengeluh, tak elok berputus asa dan menyerah, walaupun lelah, letih melanda, badan tetap harus ditegakkan. Menatap lurus ke depan, dengan semangat baja, jangan hiraukan tipu daya kemalasan. Pikiran harus jernih, hatipun kudu suci. Dengan petunjuk Tuhan yang Maha Pengasih, kuyakin pemuda sampai di sana-tetap mampu mengawal bangsa!

 

* Penulis adalah mantan aktifis 98, kini aktif di pengurus harian DPP PD sebagai Sekretaris Pusat Pengembangan Strategy dan Kebijakan Partai dan Wakil Bendahara Umum PP Pagar Nusa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar