Kamis, 30 April 2015

(Do'a of the Day) 11 Rajab 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Zawwadakal lahaut taqwaa, wa ghafara dzanbaka, wa yassara lakal khaira haitsumaa kunta.

Semoga Allah membekalimu dengan taqwa, semoga Dia mengampuni dosamu, dan semoga Dia memudahkan kebaikan kepadamu di mana saja kamu berada.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 4.

Balsem Poldur


(Hikmah of the Day) Masuk Neraka Gara-gara Air Wudhu?



Masuk Neraka Gara-gara Air Wudhu?

Berikut ini adalah cerita tentang dua orang dengan kondisi yang kontras: seorang laki-laki kaya raya dan perempuan papa. Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu berbeda. Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara wanita yang miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah.

Kesungguhan dan kerja keras lelaki tersebut membawanya pada kemapanan ekonomi yang diidamkan. Kekayaannya tak ia nikmati sendiri. Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya merasakan dampak ketercukupan karena jerih payahnya. Lelaki ini memang sedang berkerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.

Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu di dalamnya. Ya, bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukanah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?

Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah mengisahkan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati, “Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sembahyang sunnah nanti malam?”

Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya. Diceritakan, setelah meniggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda. Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan papa yang taat beribadah itu justru masuk neraka. Apa pasal?

Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridla Allah.

Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan. Hidupnya yang serba kekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan. Buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidakikhlasannya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.

Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya.

Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi. []

(Mahbib)

Gus Dur: Islamku, Islam Anda, Islam Kita



Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirĆ¢kiyyah al-’arĆ¢biyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarĆ®’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

***

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

***

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan? []

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Quraish Shihab: Islam dan Seni



Islam dan Seni
Oleh: M. Quraish Shihab

Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair, nyanyian, tarian dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni, selama terpenuhi  unsur keindahan.

Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati nalar meletakkan syarat dan ukuran, tetapi bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran dan syarat itu bersumber dari dalam diri manusia atau masyarakat.  Allah swt. menganugerahkan manusia  rasa bagaikan reciever yang peka, sehingga dengan mudah seseorang menangkap, merasakan dan menyambutnya.    Itulah  salah satu  fithrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Seni adalah keindahan. Ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apapun bentuk dan caranya, selama  arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur, maka ia adalah seni Islami. Karena itu Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan  selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf yakni nilai-nilai universisal yang diajarkan Islam serta nilai lokal dan temporal yang sejalan  dengan budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan  al-Khair tersebut. “Allah Maha Indah menyukai  keindahan,” Sabda Rasul saw. Dia menganugerahi manusia fithrah menyenangi keindahan, karena itu mustahil seni dilarang-Nya, kecuali jika ada unsur luar yang menyertai seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka fithrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati. Demikian kata Al-Gazaly.

Dari sini setiap karya, karsa dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja diizinkan-Nya tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera rendah dibenci dan dikutuk-Nya.

Siapapun yang mempertemukan secara indah wujud ini dengan Tuhan, maka upayanya itu adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya bukanlah seni Islami. “Art for Art” tidak dikenal oleh kamus ajaran Islam, karena bagi seorang muslim seluruh gerak dan diamnya harus diarahkan kepada-Nya, “Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah swt. (Q.S. 6 : 162).

Setiap seniman, bahkan siapapun yang jujur dengan profesinya pasti memiliki pandangan hidup menyangkut manusia, alam dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas dan langgeng, bisa juga terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman untuk memandang alam ini tidak terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan sekarang, tetapi jauh ke sana, bersama  “ruh kehidupan” yang menyertainya -kendati sesuatu itu tidak bernyawa-, lalu pada akhirnya bergerak mengarah dan bertemu dengan Sang Pencipta. Langit dan bumi serta segala isinya dalam pandangan Kitab suci Al-Qur’an amat indah, seimbang dan serasi serta    hidup bahkan bertasbih memuji dan mengarah kepada-Nya (Q.S. 17: 44). Bukit  Uhud, dilukiskan oleh Nabi saw. sebagai mencintai kita dan kitapun mencintainya.

Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak mempersempit ruang lingkup yang dibenarkan agama ini. Padahal ruang lingkupnya amat luas. Bermula dalam bentuk mengekspresikan keindahan lahiriah manusia – pakaian, penampilan, cara dan susunan tuturnya- hingga keindahan batin melalui kepekaan rasa yang melahirkan budi pekerti dan interaksi harmonis. Setiap agama mempunyai keindahan dan keindahan Islam adalah pada budi pekertinya. Keindahan yang diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan adalah yang lahir dari rasa yang suci, jiwa yang bersih serta  akal yang cerdas  guna  menonjolkan keindahan ciptaan Allah atau kebesaran Kuasa-Nya.

Puluhan ayat-ayat Al-Qur’an yang menggugah manusia memandang keindahan yang terhampar di bumi seperti keindahan  terbitnya matahari hingga terbenamnya, atau  kebun-kebun yang melahirkan pandangan indah, demikian juga keindahan yang terbentang di langit dari curahan airnya yang menumbuhkan aneka bunga dan kembang sampai dengan taburan bintang-bintangnya yang memesona. Kitab suci Al-Qur’an menggunakan keindahan bahasa dan ketelitian makna untuk mengekspresikan keindahan-keindahan itu.

Keindahan bahasanya, saat dibaca, melahirkan apa yang dinamai oleh sementara pakar dengan “Musik Al-Qur’an” yakni nada dan langgam yang menyentuh pendengarnya, baik dipahami makna ayatnya maupun tidak. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad saw. pun membenarkan nyanyian-nyanyian yang menggugah hati  atau yang menimbulkan semangat. Jangan duga bahwa nyanyian Islami harus berbahasa Al-Qur’an. Lagu-lagu Barat pun dapat merupakan eskpresi keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya tidak  jarang  lagu-lagu berirama  Timur Tengah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam syair atau penampilan penyanyinya.

Memang sebagian diantara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum terjamah pada masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang akibat kondisi-kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu  “seni” ini secara tegas terlarang, karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Tapi jika pahatan itu tidak mengarah kepada penyembahan selain Allah tetapi merupakan ekspresi keindahan, maka ia boleh-boleh saja. Bukankah – kata ulama- Nabi Sulaiman pun memerintahkan untuk membuat antara lain patung-patung (Q.S. 34:13) yang tentunya bukan untuk disembah tetapi antara lain untuk dinikmati keindahannya.

Ketika sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. menduduki Mesir, di sana mereka menemukan aneka patung, -peninggalan dinasti-dinasti Fir’aun. Mereka tidak menghancurkannya, karena ketika itu, ia tidak disembah tidak juga dikultuskan, bahkan kini peninggalan-peninggalan tersebut dipelihara dengan amat baik antara lain untuk menjadi pelajaran dan renungan bagi yang memandangnya.

Benar bahwa  ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk ke satu rumah bila di dalamnya terdapat patung “, tetapi itu bila patung tersebut disembah, atau  melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah fithrah manusia secara universal sedang Islam adalah agama universal yang bertujuan  membangun peradaban.  Kebenaran, kebaikan dan keindahan adalah tiga-unsur mutlak bagi satu  peradaban. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan mencerminkan moral dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun ketiganya tidak berarti jika tidak ada yang menggali, menampilkan dan mengeksperesikannya.

Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban tidak dapat dibangun dengan mengabaikan hasil positif yang telah dicapai oleh siapapun pada masa lalu, karena itu dari manapun sumber kebenaran  maka Islam menerimanya. “Hikmah adalah milik orang mukmin; di manapun ia temukan, maka ia lebih berhak mengambinlya”. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada pencetusnya,” Demikian beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip di atas berlaku juga menyangkut  keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapapun yang mencetuskan atau mengeksperesikannya, selama sejalan/ tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama, bangsa atau   ras pencetusnya.

Seni Islami, tidak harus berbicara tentang Islam, atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekedar nasehat langsung atau anjuran mengikuti kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan keindahan dengan hak/ kebenaran.   Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan Nabi Muhammad saw, tetapi  dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau   terlepas dari bantuan Allah, karya itu bila dilukiskan demikian  tidak dapat dinilai sebagai seni Islami. Sebaliknya mengekspresikan keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke kandang dan ketika melepaskannya ke tempat penggembalaan – sebagaimana diungkapkan oleh   Q.S. 16:6- dapat merupakan seni Islami selama mengundang keagungan Allah.   Boleh jadi ada yang menduga bahwa Islam tidak merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui  seni yang terlepas dari nilai-nilai Islami  atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan mengundang tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian Wa Allah A’lam. []