Kontroversi
Buku Teks (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Jika di Indonesia hampir selalu terjadi kecerobohan menyangkut buku teks sekolah dengan isinya yang tidak pantas dari sudut moral atau agama, bagaimana di negara-negara lain? Bagaimana kebijakan negara lain menangani buku teks sekolah untuk memastikan tidak ada isi yang bermasalah bagi peserta didik, orang tua murid, dan publik umumnya?
Satu hal sudah pasti. Jika orang mencoba mem-browsing di internet kebijakan, panduan (guidance), ketentuan atau persyaratan buku teks sekolah Indonesia, orang pasti menemui banyak kesulitan. Hampir tidak ada panduan yang tersedia online, yang ada kebanyakannya adalah Permendikbud tentang penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran. Tidak ada penjelasan sedikit pun tentang buku teks yang diloloskan dan ditetapkan sah dipakai murid.
Hal ini berbeda dengan banyak negara lain, sejak dari Amerika Serikat, Jepang, Kanada sampai Singapura. Negara-negara ini dengan secara terbuka lewat online, misalnya, memaparkan berbagai ketentuan, panduan, dan persyaratan bagi buku teks sekolah.
Sesuai dengan desentralisasi pendidikan di AS, penetapan buku teks di Negara Bagian Virginia, misalnya, dilakukan Badan Pendidikan. Badan ini memberikan tanggung jawab pada penerbit untuk menjamin akurasi buku dari segi isi, bahasa, dan tipografi. Dewan sekolah lokal juga berfungsi sama dengan melibatkan orang tua murid untuk me-review dummy buku teks yang diusulkan.
Hal hampir sama juga diterapkan di Negara Bagian Ontario, Kanada. Menteri Pendidikan Ontario menetapkan buku teks sekolah setelah memenuhi berbagai persyaratan dan proses rumit. Selain harus sesuai dengan kurikulum, buku teks yang diusulkan penerbit harus berdasarkan kesarjanaan dan keilmuan yang solid serta memiliki relevansi kontemporer.
Isinya juga harus bebas dari berbagai bias dan prasangka serta mesti memiliki orientasi ke Kanada —bukan ke negara lain. Pembahasan harus tidak hanya menampilkan satu sudut pandang, bebas dari bahasa diskriminatif, eksklusif, dan penuh muatan ideologis.
Seleksi dan penetapan buku teks sekolah jauh lebih ketat lagi di Jepang. Di negara matahari terbit ini penetapan buku dilakukan Kementerian Pendidikan setelah melalui sejumlah proses. Pertama, penerbit membentuk tim akademik dan guru-guru yang setelah melalui perencanaan matang menulis buku teks.
Kedua, naskah buku dalam bentuk dummy diserahkan kepada Kemendik untuk diuji Dewan Riset Persetujuan Buku Teks yang memiliki otoritas meminta revisi substansi yang tidak sesuai. Ketiga, buku yang telah disetujui dewan dan kemendik kemudian diletakkan pada displai sekolah dan komunitas untuk diuji publik lokal —apakah diterima pihak sekolah atau tidak sebagai keputusan final.
Selain harus sesuai dengan kurikulum, kandungan buku teks sekolah di Jepang harus selaras dengan perkembangan mental dan psikologis peserta didik. Dalam hal terkait politik dan agama, pembahasan harus imparsial, tidak ada bagian buku yang mengkritik parpol atau agama dan aliran/mazhab serta ideologi atau kepercayaan tertentu. Pada saat yang sama, juga tidak menampilkan pendapat satu sisi saja atau bias terhadap subjek yang dibahas.
Tanpa berprasangka, penetapan buku teks sekolah di Indonesia tampaknya tidak pernah seketat yang terjadi di negara-negara tersebut. Karena itu, sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, penetapan buku teks hampir selalu mengandung kekacauan dan kehebohan.
Pada zaman Orde Baru, penetapan buku teks sekolah terlihat lebih sebagai ‘kesepakatan’ di antara para pejabat Kemendikbud dengan pihak penerbit. Penerbitan buku teks sekolah lebih merupakan ‘proyek’ kedua belah pihak ini. Hanya otoritarianisme rezim Orde Baru yang membuat kekisruhan menyangkut buku teks tidak muncul ke depan publik.
Pada zaman Reformasi pasca-Soeharto sampai sekarang yang penuh euforia kebebasan, penetapan buku teks sekolah dalam hal tertentu agaknya mengalami perubahan. Semangat pemberantasan korupsi cukup gencar membuat ‘proyek’ buku teks agaknya tidak lagi mudah dilakukan —walaupun bukan tidak ada sama sekali.
Meski ada kemauan menyediakan buku teks lebih baik dengan memberikan mandat kepada BSNP dan Puskurbuk, jelas seleksi ketat dan cermat tidak berjalan. Akibatnya, tetap ada bagian isi atau substansi buku teks yang tidak patut disajikan kepada murid, baik dari segi moral, akhlak, maupun agama.
Selain itu, standar keilmuan dan orientasi nilai para penulis tidak pernah dipersoalkan. Keadaan ini kian mempersulit sekolah dan peserta didik. Telah banyak penelitian yang, misalnya, mengindikasikan orientasi paham keagamaan transnasional radikal dalam mata pelajaran PAI. Juga hampir tidak ada penjelasan tentang keislaman-keindonesiaan; orientasi keindonesiaan yang kontekstual nyaris absen.
Sudah waktunya memperbaiki buku teks sekolah secara lebih komprehensif. Memperbaiki keadaan tidak cukup hanya dengan penarikan buku terkait. Ini hanya menimbulkan kerugian besar pada peserta didik, orang tua murid, masyarakat, dan penerbit. Tak kurang pentingnya, buku teks yang baik dan berkualitas merupakan bagian sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan. []
REPUBLIKA,
09 April 2015
Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan Council on Faith, World Economic Forum,
Davos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar